Melacak Jejak Belanda, Sekutu dan Jepang dalam Perang Dunia II di Babo (1941-1945)

0
689
Jejak peninggalan Perang Dunia II di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Foto: Ist
Spread the love

Catatan Perjalanan Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan** (Bag. 2)

“Two jetties were located to the east of the airstrip, on the Kasira River. The area around the airfield and vicinity included troop, dump and airfield support areas. Attacked by Allied aircraft until early November 1944 and neutralized. Occupied by the Japanese until the official surrender of Japan in September 1945.” – PacifikWrecks.com

(Dua dermaga terletak di sebelah timur lapangan terbang, di Sungai Kasira. Area di sekitar lapangan terbang dan sekitarnya termasuk area dukungan pasukan, tempat pembuangan dan lapangan terbang. Diserang oleh pesawat Sekutu hingga awal November 1944 dan dinetralkan. Diduduki oleh Jepang hingga penyerahan resmi Jepang pada bulan September 1945)

EKSPLORASI minyak dan gas bumi yang dikelola oleh Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) di Wasian, Kasim, Klamono dan Jeflio sedang menunjukkan titik terang. Bahkan, untuk di Klamono, sejak tahun 1935 itu tiap hari dapat menghasilkan 15.000 hingga 25.000 barel. Tidak heran, bila kemudian Sorong identik dengan Kota Minyak. Bahkan nama Sorong seolah berasal dari singkatan Seismic Ondersub Oil Niew Guinea.

Baca Juga : Semaraknya Perayaan 40 Tahun Pemerintahan Ratu Wilhemina di Babo, Kota Modern di Belantara Papua

Sejak adanya pengeboran minyak itu, lokasi di sekitar juga semakin ramai. Bukan hanya para pengelola dan pegawai NNGPM, melainkan juga keluarga mereka mulai didatangkan ke lokasi itu. Klamono dan Babo semakin ramai. Wanita dan anak-anak Eropa mulai tinggal di Klamono dan Babo. Selama lima tahun itu, Klamono dan Babo berubah menjadi seperti kota di Jawa yang ramai.

Sayangnya, keramaian dan kedamaian itu hanya berlangsung sesaat saja. Sesayup terdengar bahwa Perang Pasifik akan pecah. Stasiun radio Batavia (Jakarta) memerintahkan agar Babo juga mulai bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Padahal saat itu, NNGPM sedang melakukan pengeboran di lapangan Jeflio, Salawati. Hanya tinggal sedikit lagi pengeboran itu rampung.

Malam itu, 9 Desember 1941, sumur mencapai kedalaman 6275 kaki. Para geologis Belanda memperkirakan pada kedalaman 7000 kaki akan dijumpai lapisan batu gamping Miosen yang telah terkenal produktif di daerah itu (inilah Formasi Kais). Tetapi, malam itu juga sumur diperintahkan untuk ditinggalkan sebab genderang Perang Pasifik telah bertalu dengan pemboman Pearl Harbour di Hawaii oleh Jepang. Ketakutan karyawan NNGPM di Jeflio beralasan sebab tentara Jepang telah menyerang Sorong, kota terdekat.

Maka pada 17-26 Desember 1941 mulai dilakukan evakuasi secara besar-besaran. Pesawat-pesawat yang dioperasikan oleh Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) mendarat di Babo untuk mengangkut perempuan dan anak-anak keluar dari Babo. Begitu juga barang-barang lainnya agar dievakuasi atau disembunyikan di tempat aman.

Daftar barang-barang berharga itu antara lain: mesin bermotor, dinamo, boiler, steam engine, juga alat-alat berat seperti traktor dan buldozer. Peralatan bengkel dan gudang (warehouses) juga masuk dalam daftar barang-barang siap dievakuasi atau dihancurkan. Beberapa peralatan berat disembunyikan di hutan sekitar Babo sambil berharap Jepang tak akan menemukannya. Stasiun radio pun mulai dihancurkan satu per satu, kecuali satu yang terbesar dipertahankan untuk berhubungan dengan Batavia atau Ambon.

Sementara itu, 200 tentara dari Batavia, terdiri atas orang-orang Indonesia, dipimpin Kapten van Muyen dan dua sersan Belanda mendarat di Babo pada Januari 1942. Pasukan ini membawa banyak ranjau. Ranjau itu untuk ditanam di bawah mesin-mesin berat yang tidak akan dievakuasi, juga ditanam di beberapa tempat yang diperkirakan akan dilalui tentara Jepang saat mendarat di Babo.

Penguasaan Militer Jepang di Babo

Ketika pekerja NNGPM sedang mempersiapkan penghancuran barang-barang yang tidak akan dievakuasi, sembilan pesawat pembom Jepang pun tiba-tiba muncul dari arah utara Babo. 30 Desember 1941, pesawat H6K Emily mengebom pesawat beaver yang mengangkut perempuan dan anak-anak. Akibatnya, tiga orang meninggal dan 14 terluka, termasuk beberapa anak kecil.

Pada 25 Januari 1942, pesawat Hudson milik Royal Army Air Force (RAAF) yang siaga di Babo mengevakuasi semua pekerja NNGPM ke Darwin, Australia. Landasan Babo dibiarkan kosong dari penjagaan sampai akhirnya Jepang dapat menguasainya pada 2 April 1942. Japanese Army Air Force (JAAF) Detasemen II kemudian memperbaiki landasan pesawat itu menjadi lebih padat.

Setahun kemudian, JAAF Divisi VII dan Imperial Japanese Navy (IJN) membuat landasan pacu (airfield) baru lagi yang menghadap ke timur dan selatan. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mendatangkan pasukan dari pangkalan utama di Rabaul, Papua Nieuw Guinea dan Pulau Kei dan Kepulauan Aru, Maluku. Oleh sebab itu, landasan tersebut seolah mirip huruf “L”.

Selain memperbaiki landasan pacu peninggalan Belanda dan membuat dua landasan pacu baru lagi, Jepang juga melengkapi dengan senjata anti-aircraft dan pillbox yang ditempatkan di beberapa lokasi tersembunyi. Kelak, dalam pertempuran menghadapi Sekutu, senjata anti serangan udara Jepang itu berhasil menembak jatuh beberapa pesawat sekutu. Oleh sebab itu, Sekutu pun kemudian melacak posisi senjata anti-aircraft Jepang itu dan menghancurkannya melalui serangan udara.

Imperial Japanese Navy (IJN) menggunakan pesawat: 202 Kokutai (A6M Zero), 153 Kokutai, 311th Hikotai (A6M3 Zero/A6M5 Zero), 732 Kokutai (G4M1 Betty), 753 Kokutai (G4M1 Betty). Sedangkan Japanese Army Air Force (JAAF) Divisi VII menggunakan pesawat: 59th Sentai (Ki-43), 61st Sentai (Ki-49 Helen), 24th Hiko Sentai (24th Flying Regiment), 1st Chutai (Ki-43-II Oscar), 34th Sentai (Ki-48), 59th Sentai (Ki-43-II Oscar detachment), 70th Dokuritsu Chutai (Ki-46 Dinah), 73rd Dokuritsu Chutai (Ki-51 Sonia), 45th Sentai (Ki-45 Nick), 75th Sentai (Ki-48 Lily), 25th Special Base Unit (G4M Betty and Ki-57 Topsy transports).

Pesawat tempur (fighter), pesawat pembom (bomber) dan pesawat angkut (transporter) itu ada yang khusus didatangkan dari Sumatra, ada juga yang dari Malang. Selain disiagakan di Babo, pesawat itu juga ada yang kemudian dikirim ke lokasi lain seperti Wakde, Biak dan Hollandia (Jayapura). Bisa dibayangkan, pada saat itu Babo dipenuhi dengan pesawat-pesawat Jepang.

Sekutu Bombardir Babo dan Sekitarnya (1943-1944)

Dengan strategi “lompat katak” (leapfrog strategy), Jenderal MacDouglas kemudian merencanakan penyerangan terhadap pertahanan Jepang di Babo. Tentu saja, penyerangan itu bukan semata fokus ke Babo, melainkan juga pertahanan Jepang di tempat lainnya. Artinya, serangan pesawat Sekutu itu menyasar Manokwari, Ransiki, Moemi dan terakhir Babo.

Sekutu menggunakan pesawat A-20, A-26, B-24, B-25, P-40, P-47 dan P-47N Kittyhawks. Jumlah pesawat yang dikerahkan untuk menggempur Biak, Ransiki, Moemi dan Babo secara serentak diperkirakan mencapai ratusan pesawat. Sebab, dalam sekali serangan ke target sasaran, pesawat yang dikerahkan ada yang berjumlah satu, sembilan, 19, 20 bahkan sekaligus 170 buah pesawat.

Bila dicermati, sejak 7 Februari 1943 hingga 5 November 1944 itu ada sebanyak 65 kali serangan udara. Sasarannya, selain landasan pacu (airstrips) juga menyasar perkampungan, gudang persenjataan, penyimpanan bahan bakar (avtur), hanggar, dermaga (jetty) serta fasilitas pendukung pertahanan Jepang lainnya. Selama 22 bulan serangan itu, ribuan ton bom pesawat (aircraft boms) dijatuhkan dari udara.

Tiga buah pesawat Sekutu pun jatuh ditembak senjata otomatis anti serangan udara (anti-aircraft) milik Jepang. Ketiga pesawat itu adalah P-38J 42-104359, P-40 Kittyhawks A-29568 dan P-38J 43-28516. Lokasi jatuhnya ketiga pesawat itu berada di sekitar landasan pacu Babo. Di kutip dari laman www.pacificwrecks.com, Randy Ogg, seorang pilot sipil pun memberikan gambaran mengenai bekas-bekas pesawat tersebut.

“I spent most of 1976 in the area near Babo. I was flying for an Indonesian company. We were contracted to Sun Oil Company to support their drilling rig and geophysical exploration in the area, and operated from the tiny island of Tugumawa in Arguni Bay. Sun Oil drilled three dry holes there and abandoned their lease. I would like to visit the area again. We had a base camp at the Kaimana Airstrip.

I was able to spend a half day visiting Babo Airfield. I still have 32 color prints and negatives that I took during my visit to Babo late in 1976. Some of the aircraft were still sitting up on their wheels. Those are probably the ones that have been removed by collectors. I can remember that there was an extensive grassy area to the west of Babo that was not rain forest. From the air we could distinctly see the outlines of 2 or 3 other airfields out there. I don’t remember seeing any aircraft or other equipment on those airfields.

The area was a fascinating place to work, but was infamous for its virulent malaria. The airstrip had recently been repaved. The only WWII junk we found around there was an artillery piece on the shoreline. I examined it and saw that it was of American manufacture, so the airfield probably changed hands later in the war.”

(“Saya menghabiskan sebagian besar tahun 1976 di daerah dekat Babo. Saya terbang untuk sebuah perusahaan Indonesia. Kami dikontrak oleh Sun Oil Company untuk mendukung anjungan pengeboran dan eksplorasi geofisika mereka di daerah tersebut, dan beroperasi dari pulau kecil Tuguwa di Teluk Arguni. .Sun Oil mengebor tiga lubang kering di sana dan meninggalkan sewa mereka.Saya ingin mengunjungi daerah itu lagi.Kami memiliki base camp di Kaimana Airstrip.

Saya bisa menghabiskan setengah hari mengunjungi Babo Airfield. Saya masih memiliki 32 cetakan berwarna dan negatif yang saya ambil selama kunjungan saya ke Babo akhir tahun 1976. Beberapa pesawat masih duduk di atas roda mereka. Itu mungkin yang telah dihapus oleh kolektor. Saya ingat ada daerah berumput luas di sebelah barat Babo yang bukan hutan hujan. Dari udara kita bisa melihat dengan jelas garis besar 2 atau 3 lapangan terbang lain di luar sana. Saya tidak ingat pernah melihat pesawat atau peralatan lain di lapangan terbang itu.

Daerah itu adalah tempat yang menarik untuk bekerja, tetapi terkenal karena malaria yang mematikan. Landasan terbang baru-baru ini telah diaspal ulang. Satu-satunya rongsokan Perang Dunia II yang kami temukan di sekitar sana adalah senjata artileri di garis pantai. Saya memeriksanya dan melihat bahwa itu buatan Amerika, jadi lapangan terbang itu mungkin berpindah tangan nanti dalam perang.”)

Kepanikan di Babo pada Perang Pasifik (1942-1944)

Seorang yang lahir pada 1946 dan kini memiliki marga Alkatiri menceritakan, bahwa kepanikan hebat melanda penduduk Babo. Di Babo seolah terjadi kiamat, baik saat dibombardir Jepang, apalagi oleh Sekutu. Penduduk berlarian kesana-kemari menyelamatkan diri. Bahkan, ada yang bersembunyi di rawa-rawa atau mangi-mangi. Mereka menjadi sasaran gigitan nyamuk juga incaran buaya.

“Saat itu Jepang begitu kejamnya. Kematian terjadi dimana-mana. Orang-orang bahkan hampir tidak berpakaian lagi. Benar-benar suasana yang sangat sulit dan mencekam. Bahkan, ada seorang perempuan yang menawarkan diri agar dijadikan istri saja supaya ada yang melindunginya,” kata warga Babo berinisial AA yang kini berusia sekitar 76 tahun tersebut. Kini, dia berjualan di Bandara Babo.

H.W. Minekus, seorang karyawan NNGPM menulis dalam sebuah laporan, “Kebanyakan dari kami lari dan menjatuhkan diri di parit-parit pinggir jalan. Kemudian pesawat-pesawat Jepang datang kembali. Kami makin melekatkan diri dengan tanah parit sambil gemetaran. Tetapi saat itu tak ada bunyi bom, mungkin mereka sudah kehabisan amunisi. Bomber-bomber itu pergi ke arah mereka datang.”

Sejumlah pesawat peninggalan Perang Pasifik di Babo, ada yang berhasil diselamatkan dengan dipindahkan ke tempat lain dan diperbaiki, ada juga yang hilang karena ulah tangan-tangan jahil. Pesawat yang hilang, biasanya karena dipotong-potong untuk dijadikan besi tua dan dijual kepada penadah. Sedangkan pesawat yang selamat, karena dipindahkan dan disimpan di museum.

Beberapa pesawat yang hilang, di antaranya:

A6M3 Zero. Pesawat ini tetap di lapangan terbang Babo hingga setidaknya tahun 1991.

A6M5 Model 52 Zeto. Pesawat ini etap di lapangan terbang Babo sampai setidaknya tahun 1991.

Ki-48 Lily. Pesawat ini tetap di lapangan terbang Babo sampai setidaknya tahun 1976.

Ki-21 Sally. Pesawat ini tetap di lapangan terbang Babo sampai setidaknya tahun 1976.

Sedangkan Pesawat Jepang yang diselamatkan dari Babo, di antaranya:

Ki-48-II Lily. Pesawat ini dipindahkan ke Biak oleh militer Indonesia, kemudian disimpan di Museum Angkatan Udara Indonesia (AURI).

A6M5 Model 52 Zero. Pesawat ini diperbaiki pada tahun 1980-an, ditempatkan di dalam hanggar di Indonesia.

Ki-43-II Oscar. Pesawat ini diperbaiki dan disimpan di Museum Angkatan Udara Indonesia (AURI).

Ki-51 Sonia. Pesawat ini diperbaiki dan disimpan di salah satu hanggar di Indonesia.

A6M2 Model 21 Zero Tail 33. Pesawat ini diperbaiki pada tahun 1990, digunakan dalam restorasi di Rusia.

A6M3 Model 22 Zero 3869. Puing-puing pesawat ini dulu masih ada di Babo, diselamatkan pada tahun 1991.

Ki-61 Tony Nomor Pabrik 7?? Setengah depan di tempat sampah.  Dipindahkan pada tahun 1991 ke California kemudian ke Rusia.

G4M1 Betty Nomor Pabrik 1280. Pesawat ini diperbaiki pada tahun 1991 dan kini ditampilkan di Planes of Fame Museum.

D4Y1 Judy Nomor Pabrik ??83 Pesawat ini diperbaiki dan dipindahkan dari Babo, kini ditampilkan di Planes of Fame, Arizona.

Cagar Budaya di Babo

Tinggalan Perang Dunia II atau Perang Pasifik (Theatre of Pacific) di Papua, tersebar di berbagai lokus. Mulai dari Fak Fak, Raja Ampat, Sorong, Tambrauw, Manokwari, Manokwari Selatan, Babo (Bintuni), Wondama, Nabire, Serui, Sarmi, Jayapura hingga Biak dan pulau-pulau sekitarnya.

Sebagaimana Pulau Doom di Sorong yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu, Babo juga sejak lama menjadi pusat pemerintahan. Silih berganti hoofd van platselijk bestuur ditugaskan disana. Sarana-prasarana di Babo pun dilengkapi dengan begitu baiknya. Padahal, pada tahun-tahun itu, di daerah lainnya, masih belum dapat menikmatinya.

Setelah Jepang menguasai Babo hampir dua tahun lamanya, pasukan Sekutu di bawah Amerika Serikat pun mulai dapat menguasai Babo minimal menjadikannya sebagai tempat yang tidak dapat dijadikan sebagai pertahanan Jepang. Melalui Pulau Biak, Morotai di Halmahera pun dapat dikuasi kembali oleh Sekutu, dan terakhir Filipina pun dapat diambil alih.

Kini, 80 tahun telah berlalu, Babo mulai ditata kembali menjadi kota yang maju. Bekas tinggalan Perang Dunia II hanya sedikit saja yang mendapat sentuhan pemeliharaan. Bahkan, beberapa tinggalan lain menjadi terbengkalai dan seolah tidak terawat. Pillbox peninggalan Jepang, pesawat Jepang dan Sekutu, misalnya.

Secara cagar budaya, keberadaan tinggalan Perang Pasifik itu dapat didaftarkan ke Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pemeliharaan dan dapat dijadikan sebagai obyek cagar budaya. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2022.

Bila semua ini dilakukan, maka masyarakat setempat akan dapat memahami sejarah Perang Pasifik di aras lokal mereka. Ini selain akan meningkatkan literasi, juga akan dapat menjadi arah pembangunan Babo ke depannya. Pembangunan berlandaskan sejarah Babo yang panjang. **

**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan yang juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI). Domisili di Manokwari, Papua Barat

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here