Tugu Peradaban, Pengukuhan Jati Diri dan Melestarikan Tradisi di Babo

0
452
Rel kereta peninggalan Belanda saat menguasai Babo.
Spread the love

“Hanya Islam di Tanah Papua, khususnya di Babo yang mampu merepresentasikan nilai-nilai rahmatan lil-‘aalamiin (kasih sayang untuk semesta). Disini tidak ada hujatan, tidak ada cacian, tidak ada kebencian, apalagi perseteruan antar agama. Bahkan, saling hormat-menghormati dan mempersilakan yang berbeda agama bisa hidup nyaman disini.

Catatan Perjalanan Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan di Babo** (Bag. 3)

SELAMA berkecimpung dalam penelitian sejarah, arkeologi, filologi, kodikologi dan etnografi di Maluku, Papua dan Papua Barat, saya merasakan sedikit kesulitan dalam hal identifikasi terhadap sesuatu lokus tertentu. Sebabnya, di tempat itu tidak terdapat suatu catatan tertulis atau prasasti atau tugu apapun. Padahal keberadaan sebuah tugu atau prasasti akan dapat mengungkap rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dalam dunia akademik, ilmu yang membicarakan mengenai tugu atau prasasti dikenal sebagai Epigrafi. Penulis prasasti disebut dengan nama Citralekha. Bila ditemukan inskripsi atau prasasti di tempat tertentu, artinya lokasi itu sudah memasuki masa sejarah. Sebab, sejarah selalu dihubungkan dengan tulisan. Tidak heran bila prasasti juga disebut sebagai “batu bertulis” atau “batu bersurat”.

Pengertian prasasti adalah suatu sumber sejarah yang ditulis di atas batu, logam, kayu, tanduk atau media berbahan keras atas pesanan penguasa setempat. Sedangkan media berbahan daun tal (lontar) atau kertas disebut sebagai naskah (manuskrip). Prasasti biasanya ditempatkan di lokasi yang dianggap penting. Misalnya di suatu bangunan bersejarah (tugu peresmian), perbatasan (tugu batas wilayah), atau lokus lainnya.

Di Telaga Kodok yang masuk petuanan (Datisuul) dari Kerajaan Hitu atau Hitumessing (Maluku), saya pernah meneliti sejenis tugu atau inskripsi berbentuk cangkul terbuat dari besi yang menceritakan pembangunan suatu masjid di dataran tinggi itu, lengkap dengan petunjuk arah dan ukurannya. Telaga Kodok, sejak beberapa abad yang lalu, memang merupakan hunian bagi pendatang dari Jawa.

Jejak Islam di Tanah Papua

Ketika menelusuri perkembangan Kerajaan Hitu dari naskah Hikayat Tanah Hitu, saya juga mendapati fakta, bahwa ada inang (perempuan) Papua (mace) yang berada di Kerajaan Hitu, Maluku tersebut. Bila melihat kronologisnya, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1499 atau bersamaan dengan kembalinya Sultan Zainal Abidin dan Pati Pote dari menuntut ilmu di Pesantren Sunan Giri di Tuban, Jawa Timur.

Menurut naskah yang ditulis oleh Imam Rijali dalam masa pengasingan di Makassar antara 1647-1653 itu, Pati Pote melakukan dakwah ke Tanah Papua sekembali dari mondok di Jawa. Ketika pulang kembali ke Kerajaan Hitu, dia membawa serta seorang perempuan (mace) Papua yang dalam naskah itu ditulis sebagai “inang Papua”. Perlu kajian lebih mendalam mengenai hal ini.

Namun, beberapa catatan lain mengenai masuknya Islam di Tanah Papua juga perlu disebutkan. Menurut, Dr. Toni Victor Mandawiri Wanggai, ada tujuh teori masuknya Islam di Tanah Papua. Teori itu mengandaikan Islam masuk, artinya berasal dari luar Papua dan dibawa oleh para juru dakwah (dai/mubalig). Tetapi, ada satu teori yang diungkapkan juga, bahwa sebenarnya Islam sudah ada di Tanah Papua sejak lama.

Teori Papua, demikian Dr. Toni menyebutnya. Teori ini menyatakan bahwa nenek moyang orang Papua yang berada di kawasan Gunung Nabi sudah menjadi muslim sejak lama. Bahkan, diskursus Nabi Adam dan Siti Hawa turun di Gunung Nabi, begitu juga kapal Nabi Nuh terdampar disana, menjadi perbincangan mengenai eksistensi Islam di Papua yang sudah berlangsung sejak lama. Merekalah cikal bakal leluhur Suku Irarutu, Kuri dan Mairasi.

Namun, kisah historis yang dianggap fakta, adalah datangnya para penyebar Islam –baik tujuan awalnya berdagang maupun sengaja menyebarkan Islam– di beberapa lokasi di Tanah Papua (Nuu War). Pantai barat Tanah Papua, seperti di Kaimana, Fakfak, Sorong dan Raja Ampat adalah lokasi yang biasa didatangi oleh pedagang muslim. Jazirah Onim sejak lama dikenal oleh orang diluar Papua. Naskah peninggalan Kerajaan Majapahit menyebutnya dengan nama Wwanin.

Nama-nama penyebar Islam di Tanah Papua, di antaranya Syarif Mu’adz al-Qaththan alias Syekh Jubah Biru, Siti Hawa Syarifah Farouq, Abdurrahman Rifana dan lainnya. Jejak tinggalan Islam di Tanah Papua, masih terlihat dari dua hal: living monument dan dead monument. Makanan khas, tarian khas, prosesi pernikahan termasuk ke dalam living monument. Sedangkan naskah, makam, masjid dan tiang alifnya serta benda lainnya termasuk ke dalam dead monument.

Jejak Terserak Islam di Babo

Penamaan suatu lokasi atau tempat, biasanya karena suatu peristiwa yang terjadi di tempat itu atau banyaknya tanaman endemik (flora) serta fauna. Nama Istanbul (Konstantinopel) membuktikan hal tersebut. Begitu juga nama Makkah dan Madinah serta Jeddah. Beberapa nama lokasi juga telah mengalami perubahan, baik oleh karena pelafalan atau penggantian.

Nama Babo, merupakan contohnya. Menurut bahasa lokal, Babo berasal dari kata “babo obar” yang memiliki arti berlabuh dan siap berangkat. Di dalamnya terkandung pengertian akan suatu penantian. “Penantian akan datangnya penyebar Islam kesini,” ujar Jumat Manuama, salah seorang narasumber yang dituakan dalam membahas sejarah Babo dan perkembangan agama disana.

Ini tidak mengherankan, karena Babo yang terletak di delta Sianiri Besar dan di Teluk Beraur di masa itu hanya bisa didatangi dengan kapal laut. Mereka sandar dan berlabuh di pelabuhan rakyat yang kemudian dikenal sebagai Jeti Lama. Jeti sendiri berasal dari bahasa Inggris, artinya dermaga. Di peta-peta kuno Babo, dikenal ada Jeti Lama (Old Jetty) dan Jeti Baru (New Jetty).

Jejak Islam di Babo dapat ditelusuri dari catatan berikut ini. Catatan ini merupakan hasil wawancara mendalam dengan beberapa narasumber di Babo yang dianggap berkompeten. Di antaranya Abdul Rasyid Fimbay dan Jumat Manuama. Kedua marga ini memang berhubungan dengan Islam, sebab leluhur mereka masuk Islam pada masa-masa awal di Babo, ratusan tahun lalu.

Penulis (paling kana) bersama dengan tokoh masyarakat dan aparat TNI di Babo.

a. Sultan Iskandar Muda

Diperoleh informasi bahwa beberapa kampung di Distrik Babo yang pernah diintervensi oleh pihak luar dalam penyebaran agama Islam, terdapat di Pulau Nuswarman, Kampung Modan, Kampung Sara, Kampung Warga Nusa, Kampung Aroba dan kampung Saengga. Dari beberapa kampung tersebut, kampung pertama yang didatangi pihak luar terdapat di Pulau Nuswarman.

Pulau ini pertama kali disingahi oleh Mubalig dari Ternate bernama Sultan Iskandar Muda (anak dari Sultan Nahu), namun ada yang menyebutkan dari Aceh. Sultan Iskandar Muda tiba di Babo pertama kali di Pulau Nuswarman pada tahun 1618 dari arah utara menuju ke Selatan dan ke Timur (Ternate-Misool).

Kehadiran Sultan Iskandar Muda di pulau Nuswarman dalam misi perdagangan rempah-rempah, Sultan Iskandar Muda berinteraksi dengan penduduk lokal sekitar delapan tahun dalam misi perdagangannya. Praktek ajaran Islam di Pulau Nuswarman hanya bersifat individual dan dalam beberapa kelompok terbatas.

Sementara bagi penduduk lokal belum mengetahui prosesi apa yang dilakukan oleh Sultan bersama teman-temannya. Bahkan ada yang menyebutnya bahwa apa yang dilakukan Sultan bersama teman-temannya (melaksanakan shalat) adalah tidak lain dari berbuat mawi (yang konotasinya identik dengan mantera).

Setelah delapan tahun di pulau Nuswarman tahun 1626, Sultan Iskandar Muda hijrah ke Kampung Modan (Pulau Berlabu dalam bahasa Irarutu). Dalam jangka waktu 16 tahun (1626-1642 M) penduduk lokal mulai tertarik dengan ajaran Islam, di antaranya dari marga Fimbay.

Pada 1643 sudah ada migrasi dari tempat lain di Babo dan mulai berinteraksi dengan penduduk lokal. Pada tahun 1645 dibangun tempat ibadah (langgar) pertama di Kampung Modan lama (dekat Pelabuhan Lama Babo) dengan imam pertama bernama Adam Kwamur.

Pada tahun 1647, Sultan Iskandar Muda hijrah dari pulau Modan ke Misool melewati Taroy, Mongotira dan Weriagar. Setelah tahun 1648 ajaran Islam telah berkembang di sekitar pulau tersebut yang didiami penduduk lokal, di antaranya marga Fimbay, Manuama dan Bauw.

b. Ekspansi Raja Namatota

Masuknya ajaran Islam di Teluk Beraur selain melalui jalur barat, juga melalui jalur selatan. Pada tahun 1764, Raja Namatota melakukan ekspansi ke Teluk Beraur dalam rangka negosiasi dengan para kepala suku untuk mempertahankan wilayah adat dari intervensi pihak asing.

Dalam misi tersebut, Raja Namatota membagikan 40 buah kopiah merah di Pulau Modan, Kasira, dan 2 kampung di tanah besar, masing-masing Kampung Aroba dan Kampung Onar.

c. Intervensi Raja Komisi

Selain Raja Namatota dari arah selatan, pada tahun 1761 dan 1832, Raja Komisi melakukan ekspansi ke Teluk Beraur. Ekspansi pertama (1761) kaitannya dalam mendukung nasionalisme lokal terhadap ketahanan teritorial wilayah adat dari intervensi asing (konflik antara Inggris dan Jerman di satu pihak dengan Belanda di pihak yang lain).

Dalam kunjungan pertama ini, Raja Komisi pernah melaksanakan shalat berjamaah di langgar yang dibangun di Jampung Modan.

Kedatangan Raja komisi yang kedua (1832) dalam kaitannya dengan kesepakatan bersama antara misi Katolik dan pimpinan-pimpinan adat lokal yang telah menganut ajaran Islam. Tujuannya untuk membagi kampung-kampung di wilayah Babo untuk kepentingan syiar agama.

Pembagian kampung ini difasilitasi oleh Raja Komisi. Dari pertemuan tersebut, diperoleh kesepakatan di Babo pada bulan Juni 1823, sebagai berikut :

1. Kampung-kampug yang tersebar di kawasan pantai dan pesisir merupakan wilayah komunitas Islam.

2. Kampung-kampung yang ada di pedalaman dan kaki bukit dapat diletakkan patung Bunda Maria (Katolik).

Namun dalam kenyataannya pemeluk agama di bagian pedalaman dan di Distrik Babo adalah didominasi oleh Kristen Protestan.

d. Umar Alkatiri

Salah satu keterwakilan bangsa Arab yang hijrah sampai ke Teluk Beraur adalah Umar Alkatiri pada tahun 1814, dengan kapal Pioneer (kapal putih sebutan orang Babo). Kehadirannya di Babo dalam rangka kontak dagang. Menurut sumber informasi yang diperoleh bahwa kampung-kampung yang dijelajahi meliputi : Modan, Tugurama, Sara dan Warga Nusa.

Sekitar dua tahun di Babo, pada tahun 1816 Umar Alkatiri memilih kampung Warga Nusa sebagai tempat domisilinya. Pada 1818, Umar Alkatiri menikah dengan perempuan setempat (perempuan bermarga Manuama). Hasil pernikahan tersebut diperoleh keturunan pertama bernama Abdullah Alkatiri.

Abdullah Alkatiri kemudian menikah dengan seorang perempuan di Kampung Warga Nusa dan mempunyai anak laki-laki yang salah satunya bernama Musman Alkatiri. Keturunan Alkatiri ini juga dapat dijumpai di Fak Fak, Goras dan Fior. Salah satu perempuan Alkatiri yang kawin dengan penduduk Fior bermarga Kutanggas saat ini berdomisili di Kokas, Fakfak.

Pentingnya Tugu Peradaban Islam di Babo

Penulis di lokasi Tugu Peradaban Islam di Babo

Menelusuri jejak sejarah tersebut di atas, keberadaan Tugu Peradaban Islam di Babo memang sangat penting dan tepat. Ini merupakan suatu terobosan spektakuler dan menjadi tantangan tersendiri ke depannya. Menjadi terobosan, karena ini merupakan tugu pertama dan satu-satunya di Tanah Papua. Menjadi tantangan, karena ke depannya harus menyiapkan berbagai hal terkait faktual Tugu Peradaban Islam tersebut.

Karena mencantumkan kata “Peradaban”, maka hakikat dari peradaban itu sendiri dapat digambarkan berdasarkan definisi para ahli.

Ibnu Khaldun adalah sejarawan Islam pertama yang menulis tentang peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, peradaban adalah keahlian dalam bidang kelapangan dunia, memperbarui kondisinya, serta menemukan berbagai ciptaan yang mengagumkan, seperti temuan berbagai keahlian, dalam membuat bangunan, tempat-tempat, dan lain-lain.

Sedangkan Husain Mu’nis berpendapat bahwa peradaban adalah hasil dari setiap kesungguhan yang dibangun manusia untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Hasil tersebut dapat bersifat materi maupun maknawi.

Pengertian peradaban menurut Koentjaraningrat adalah bagian dari unsur kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, dan masyarakat kota yang maju dan kompleks.

Menurut Arnold Toynbee, arti peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Arnold juga menyebut peradaban sebagai kumpulan seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun non-fisik.

Huntington menyebut peradaban adalah identitas terluas dari budaya yang teridentifikasi melalui unsur-unsur objektif umum, seperti bahasa, sejarah, kebiasaan, agama, dan institusi, maupun melalui unsur subjektif, seperti identifikasi diri.

Menurut pendapat Alfred Weber, pengertian peradaban adalah pengetahuan praktis dan intelektual, serta sekumpulan cara yang bersifat teknis yang digunakan untuk mengendalikan alam. Oswald Spengler mendefinisikan peradaban sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks.

Idealnya, pada Tugu Peradaban Islam Babo juga dapat mencantumkan atau menyediakan informasi terkait peradaban Islam yang ada di Babo. Selain itu juga, barang-barang atau foto dokumentasi peninggalan peradaban Islam itu dapat disimpan disana sebagai semacam museum, sehingga tiap orang dapat melihat faktualnya.

Hal ini penting dilakukan sehingga generasi penerus akan memahami sejarahnya. Babo pada masa permulaan, Babo pada masa Netherlands Nieuw Guinea, Babo pada masa Perang Pasifik, Babo pada masa TRIKORA dan Babo pada masa sekarang ini. Itu artinya,  harus ada kesadaran untuk dapat merawat benda-benda peninggalan sejarah atau melestarikan tradisi sebab itu menjadi jatidiri orang-orang di Babo. **

**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan yang juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI). Domisili di Manokwari, Papua Barat.

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here