“Buka! Lihat apa itu isinya,” bentak Mbah Gimbal, sembari menempelkan ujung pistol ke leher sang gembong.
“Saya ini lebih bajingan daripada kamu. Tatap mataku,” katanya lagi.
Mbah Gimbal melirik selangkangan orang yang ia todong mulai basah. Bos preman ini ngompol. Dengan tangan gemetar, ia membuka tas hasil rampasan anak buahnya. Mengetahui apa yang tersimpan di dalam tas, gembong ini minta ampun.
NAMA lengkapnya Eko Tugas Kusno Setio, anak seorang tentara dari Desa Sidorejo Glongsor Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang Jawa Timur. Namun ia lebih populer dengan panggilan Mbah Gimbal. Julukan ini tak lepas dari penampilannya dengan rambut panjang dan dipintal gimbal ala-ala bob marley.
Rabu (21/9/2022) pagi, menjadi hari terakhir Mbah Gimbal menghirup udara segar di kampung halamannya sebelum ia pergi untuk selamanya.
Mbah Gimbal meninggal dunia sekitar pukul 07.00 WIB, setelah beberapa saat sebelumnya mengalami sesak nafas. Proses kepergian Mbah Gimbal terbilang begitu cepat, dan mengejutkan istri dan keluarganya di rumah.
“Mungkin hanya sekitar 15 menit sejak Mbah merasa sesak nafas. Padahal sebelumnya biasa saja, bercanda dan sempat minum teh,” kata Tia Putri, istri mendiang Mbah Gimbal.
Kondisi Mbah Gimbal yang sebelumnya sakit, juga sudah mendingan. Setelah menjalani operasi di leher dan rawat jalan untuk pemulihan, Mbah Gimbal sudah beraktifitas seperti biasa.
Dari Sorong, Mbah Gimbal pulang kampung untuk berobat ke RS Syaiful Anwar Malang sejak awal Agustus 2022. Sebelumnya, akibat komplikasi penyakit yang diderita, Mbah Gimbal menjalani pengobatan di RSUD John Piet Wanane Kabupaten Sorong.
Di Sorong, sosok Mbah Gimbal di Sorong cukup populer sebagai aktivis lingkungan dan memiliki jiwa sosial yang mumpuni. Ia memboyong keluarganya ke Tanah Papua ini sejak tahun 2015, usai merintis sebuah pesantren di Jepara, Jawa Tengah.
Memulai hidup baru Bumi Cenderawasih, Mbah Gimbal merintis usaha sebagai penjual bakso di Kota Sorong. Namun berbagai ketimpangan sosial yang ia saksikan saat itu, membuatnya tidak betah. Ia mengajak istrinya berpindah ke wilayah Kabupaten Sorong.
Di tempat yang baru, pemandangan yang ia saksikan tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Banyak anak-anak asli Papua yang tidak sekolah, ngelem (mabuk dengan menghisap aroma lem Aibon) dan jadi maling. Kondisi ini yang menggerakkan hatinya untuk mendirikan sebuah perkumpulan sosial. Namanya Komunitas Peduli Papua (Kompipa).
Bersama istri dan sejumlah sejawat yang memiliki tujuan yang sama, Mbah Gimbal dan komunitasnya membuka sekolah alam, mendatangi perkampungan penduduk masyarakat Papua untuk mendidik anak-anaknya belajar. Kompipa membuka peluang donasi, bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan buku-buku bacaan.
“Target awal kami saat itu, bagaimana anak-anak asli Papua yang sudah berusia 12 tahun ini bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung),” kata Mbah Gimbal, dalam kesempatan wawancara dengan jurnalis media ini, pertengah Juli 2022.
Ketika program sekolah alamnya sudah berjalan, Mbah Gimbal giliran membidik para orangtua Papua melalui program Bekerja Dengan Alam. Kurikulumnya adalah permakultur, mengajarkan masyarakat Papua bercocok tanam dengan tetap menjaga kelestarian alam.
Ia cukup prihatin dengan cara berkebun masyarakat Papua yang cenderung berpindah-pindah membabat hutan untuk membuka ladang. Jika pola ini tak dicegah, luas tutupan hutan tropis ini akan semakin menganga. Padahal, lahan yang sudah terbuka itu bisa tetap diolah secara terus menerus sebagai ladang sumber pangan, dengan menerapkan konsep bekerja dengan alam.
Sudah berbilang ratusan orang Papua yang mendapatkan ilmu permakultur dari Mbah Gimbal. Mereka ada yang sengaja datang berguru ke area permakultur Mbah Gimbal di jalan Makam Kampung Klaru, ada pula yang didatangi secara berkelompok ke kampung mereka.
Proyek Permakultur
Menempati lahan makam seluas hampir setengah hektar, Mbah Gimbal menerapkan model bertani yang memegang prinsip keseimbangan dan berkelanjutan. Bercocok tanam dengan menyandingkan tatanan hidup lestari.
Lahan yang menjadi obyek pertanian dengan pola permanen agrikultur (permakultur) ini berada di Jl Makam Kelurahan Klaru Distrik Mariat Kabupaten Sorong, Papua Barat. Lokasinya perbukitan, bertetangga dengan deretan batu nisan makam.
Berbagai jenis tanaman yang erat dengan kebutuhan manusia ada di lahan ini. Sawi, kangkung, kacang panjang, bayam maupun tomat dan cabai ada. Untuk buah, Mbah Gimbal menanam Semangka dan sirsak. Sedangkan tanaman jenis umbi, ada keladi, ketela pohon, ubi jalar dan porang.
Porang cukup mendominasi dari total luas lahan yang ada. Jenis tanaman ini menjadi yang pertama ia kembangkan sejak lahan permakultur ini dibuka pada 2018 silam. Sekitar 2.500 biji porang yang dijadikan benih, didatangkan Mbah Gimbal dari Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
“Dasar saya suka. (Permakultur) Ini adalah budaya nenek moyang kita yang sudah hilang, yang harus dikembangkan lagi. Yang saat ini dikatakan pertanian modern, perkebunan modern, disitu tidak pakai kaidah konservasi. Tapi di permakultur, kaidah itu nomor satu,” ucap Mbah Gimbal.
Modernisasi pertanian, baginya hanyalah omong kosong menuju kerusakan lingkungan. Secara langsung maupun tidak, petani diajarkan ketergantungan dengan berbagai bahan kimia. Semua yang dibutuhkan petani, mulai benih hingga pupuk dan obat-obatan, tidak lepas dari produksi pabrik. Ujung-ujungnya bermuara pada kepentingan bisnis kapitalis.
Namun dengan konsep permakultur, petani bekerja dengan alam untuk menjaga keseimbangan. Dengan pola ini, mikro organisme yang katanya ulat atau belalang yang akan merusak tanaman, itu tidak akan terjadi.
Tetapi petani konvensional yang menggunakan mulsa anorganik, bahan kimia, tetap akan diserang. Kata Mbah Gimbal, hal itu karena mereka tidak peduli dengan mikro organisme yang ada di sekitarnya. Di semprot pakai racun,” tukasnya.
Mulsa adalah material yang digunakan untuk menjaga kelembaban tanah dan menekan tumbuhnya gulma. Mulsa anorganik biasanya terbuat dari bahan sistetis seperti plastik, yang tidak dapat diurai oleh tanah.
Di permakultur, Mbah Gimbal memanfaatkan alang-alang dan dedaunan yang ada di sekitar lahannya sebagai mulsa organik. Untuk pupuknya, ia memulung sampah organik seperti sayuran dan buah dari masyarakat secara gratis. Bahan-bahan ini yang kemudian di fermentasi dengan mikro organisme lokal yang telah dikembangkan sendiri.
“Jadi inilah cara bagaimana kita menjadi petani yang merdeka, tidak bergantung dengan apapun dan siapapun. Semuanya dipungut dari alam dan lingkungan,” kata Mbah Gimbal.
Berawal dari Telur Asin dan Senjata
DI TEMPAT kelahirannya, Desa Sidorejo Glongsor Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang Jawa Timur, pada tahun 1997 Mbah Gimbal pernah menjadi peternak bebek yang terbilang sukses. Ia memiliki mesin penetas bebek berkapasitas 12 ribu ekor. Bebek maupun telur yang sudah diolah menjadi telur asin, selain diambil para tengkulak dari Malang, juga ada yang datang dari Jombang, Pasuruan, Probolinggo bahkan Bali.
Namun usaha peternakan ini digulung badai krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Semua aset peternakannya dijual, dan masih tidak cukup untuk membayar hutang. Bisnis jual beli mobil bekas yang dirintis sejak setahun sebelum krismon, juga tak mampu menopang.
“Padahal saat itu saya persiapan mau menikah. Akhirnya batal karena saya bangkrut. Calon mertua tidak setuju,” kata Mbah Gimbal.
Satu-satunya bisnis yang masih bertahan dan menghasilkan duit, berdagang senjata api secara illegal. Sebelum usaha ternak bebek dan jual beli mobil benar-benar ambruk, Mbah Gimbal sudah mulai terjun dalam pasar gelap perdagangan senjata.
Perkenalannya dengan dunia persenjataan, sudah mulai sejak ia mengikuti program Wajib Militer (Wamil) tahun 1988. Ini adalah kegiatan wajib yang harus diikuti oleh anak seorang tentara. Selama pendidikan, Mbah Gimbal pernah berada di peringkat pertama sebagai seorang sniper.
Kemahirannya dalam mengoperasikan senapan, menjadi modal untuk dia masuk menjadi anggota Persatuan Menembak Target dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) di Malang. Sebagai anak tentara, Mbah Gimbal juga banyak berkenalan dengan para petinggi TNI.
Koleksi senjata para koleganya ini terbilang lumayan, baik produk dalam negeri maupun buatan asing. Tanpa melibatkan orang lain, Mbah Gimbal mulai menjalankan bisnis gelap nan terlarang ini. Bahkan, Supardi, bapaknya yang seorang intel berpangkat Sersan Mayor di Kodim 0818 Malang, tidak mengendusnya.
Awalnya Mbah Gimbal membeli senapan M16, senjata semi otomatis dan pistol produk Remington dengan harga masing-masing Rp 3 juta. “Aku boleh ngga beli itu,” ucapnya, saat mengawali penawaran pada seorang kenalannya.
Senjata itu kemudian laku terjual seharga Rp 7 juta, dan ini menjadi titik awal kiprahnya sebagai mafia perdagangan senjata merajalela. Mbah Gimbal mulai pegang kendali pasar gelap senjata api di Jawa Timur.
Ketika peluru kaliber 22 hilang di pasaran, Mbah Gimbal masih menyimpan 1 kotak yang berisi seribu pack peluru. Satu pack dari harga beli Rp 90 ribu, ia jual Rp 300 ribu. Untung besar diraupnya. Dalam sepekan omset yang kantongi tak kurang dari Rp 20 juta, namun habis dalam sekejap di bawah gemerlap lampu diskotek.
Mbah Gimbal tak lagi bermain di pasar lokal Jatim. Ia mulai merambah ke pulau Sumatera dan Kalimantan. Dedengkot gerombolan preman di Rajabasa Bandarlampung, pernah dibuatnya kencing di celana.
Saat itu, Mbah Gimbal baru saja turun dari bis di terminal Rajabasa. Seorang preman terminal tiba-tiba merampas tas carrier berkapasitas 120 liter yang ia bawa. Sang preman belum tahu jika dalam tas itu berisi tiga pucuk pistol Remington, dua pucuk senapan M16 serta peluru 1300 butir.
“Disahut preman di terminal, dan dibawa ke base camp mereka,” kata Mbah Gimbal, yang saat itu rambutnya sudah gondrong, namun belum dipintal gimbal.
Tanpa rasa takut ia ikuti langkah kaki preman perampas tas itu, yang ternyata menuju base camp-nya di belakang terminal. Saat bertemu gembongnya, Mbah Gimbal langsung mendekat dan menodongkan pistol yang sebelumnya diselipkan di pinggang.
“Buka! Lihat apa itu isinya,” bentak Mbah Gimbal, sembari menempelkan ujung pistol ke leher sang gembong.
“Saya ini lebih bajingan daripada kamu. Tatap mataku,” katanya lagi.
Mbah Gimbal melirik selangkangan orang yang ia todong mulai basah. Bos preman ini ngompol. Dengan tangan gemetar, ia membuka tas hasil rampasan anak buahnya. Mengetahui apa yang tersimpan di dalam tas, gembong ini minta ampun.
“Ampun bang..! Saya tidak tahu. Ampun bang..,” ucap Mbah Gimbal menirukan ratapan gembong preman Terminal Rajabasa.
Menyaksikan sang preman sudah tak berkutik, Mbah Gimbal semakin merajalela. Uang Rp 6 juta di dompet pentolan preman itu ia rampas dan dibawa pergi.
“Kalau kamu tidak terima, ini alamatku. Silakan datang. Mau buat perhitungan lagi, silakan saya tunggu,” katanya, sembari berlalu meninggalkan alamat kepada bos preman.
Moncernya nama Mbah Gimbal di pasar gelap senjata api, terdengar sampai di telinga para cukong kayu di belantara Kalimantan. Aksi perampokan yang maraknya terjadi saat itu, menjadi alasan bos-bos ini menunjuk Mbah Gimbal sebagai pengawalnya. Mbah Gimbal tak menampik permintaan jasa pengawalan ini.
“Selama pengawalan saya bawa M16, dengan peluru 500 butir sekali bawa,” kenangnya.
Bisnis senjata di pasar gelap yang tak diketahui orangtuanya ini, mulai mereda sejak Mbah Gimbal tertangkap tim Resmob Polda Jatim di Blitar pada tahun 1999. Barangbukti yang disita, satu pucuk senapan M16 yang menjadi senjata organik TNI Angkatan Darat, dua pucuk pistol Remington dan peluru 1300 butir. Senjata ini hasil rampasan dari separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari penangkapan ini, ia baru tahu jika dirinya sudah menjadi Target Operasi (TO) polisi sejak dua tahun sebelumnya, dan membuka mata bapaknya tentang apa yang selama ini dikerjakan anaknya.
Mbah Gimbal benar-benar bertaubat, meninggalkan dunia hitam dan berhenti sebagai mafia senjata api pada tahun 2001. Selepas dari penjara yang dijalani selama satu tahun, ia memilih Sampit, Kalimantan Tengah sebagai tempat pelarian. Mbah Gimbal enggan ke Bandar Lampung, meski di tempat ini ia memiliki kebun seluas lima hektare.
Pertemuan Sampit Mengubah Haluan
DI SAMPIT, Mbah Gimbal bertemu dengan seorang guru sufi spiritual yang hingga kini menjadi pembimbing spiritualnya, hijrah dari dunia hitam beralih ke dunia putih. Selama satu tahun dirinya menjalani proses pembersihan hati, sebelum akhirnya diperintah melakoni perjalanan spiritual ke Pulau Jawa.
Selama tujuh tahun, Mbah Gimbal berjalan kaki untuk menemui tokoh-tokoh agama yang masih hidup, maupun berziarah ke makam para tokoh yang sudah meninggal. Perjalanan di mulai dari Masjid Agung Demak, Jawa Tengah ke arah Cirebon, Jawa Barat, kemudian menyusuri jalur pantai selatan hingga Banyuwangi, Jawa Timur dan kembali ke Demak. Perjalanan keliling Tanah Jawa ini dijalani dalam tiga kali putaran.
Selama berkeliling pulau Jawa, Mbah Gimbal tidak dibekali uang sepeserpun oleh sang guru. Bekal yang ia terima hanyalah pesan larangan; Tidak Boleh Meminta, Tidak Boleh Menolak dan Tidak Boleh Menyimpan.
Pernah di tengah perjalanannya di daerah Pemalang, Jawa Tengah, ia dikeroyok orang kampung yang menyangkanya maling. Sekujur tubuhnya dihujani pukulan massa, baik yang menggunakan tangan kosong maupun kayu sebagai pentungan.
Namun peristiwa menjelang subuh itu, tidak membuat tubuhnya luka-luka. Hanya pakaian yang ia kenakan, robek tak lagi berbentuk. Beruntung Kepala Desa di kampung itu mengenalinya. Sang kades sempat memberinya uang saku dan mengajaknya minum kopi, dalam pertemuan sebelumnya di area makam ulama yang ada di Pemalang.
“Waduh, kowe salah uwong. Iki musafir koncoku, duduk maling (Waduh, kalian salah orang. Ini musafir temanku, bukan maling),” kata Mbah Gimbal, menirukan ucapan sang Kades kepada warga yang membawanya ke Balai Desa.
Tujuh tahun lamanya proses Mbah Gimbal lepas dari urusan dunia kelam. Katanya, rejeki itu kalau memang sudah jatahnya, tidak akan berkurang. “Hikmah yang saya dapatkan, kita hidup itu harus banyak bersyukur, tidak perlu neko-neko,” ucap Mbah Gimbal.
Selamat Jalan Mbah Gimbal..! (Tantowi Djauhari)