
JURNALPAPUA – TUJUH pejabat birokrat meriung di tatanan meja dan kursi yang tersusun menyerupai huruf U. Pertemuan pada Selasa, 23 Februari 2021 di lantai dua sebuah hotel di Kelurahan Malawili Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat ini untuk memastikan pengeboran sumur minyak di Kampung Meyaup Distrik Salawati Tengah, bisa dimulai on schedule.
Klaas Osok, Asisten III Setda Kabupaten Sorong memimpin rapat, duduk di tengah diantara Christ J Tumapahu, Asisten II dan Anggraita Putra, pejabat Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi Perwakilan Wilayah Papua Maluku.
Di barisan samping ada Septer Kawab dan Suroso, dua orang staf ahli Bupati Sorong, Simon Samori Kepala Dinas PM PTSP Kabupaten Sorong, Benny F Pelle Kabag Perekonomian serta Naomi Ormak, Kepala Distrik Salawati Tengah.
Ini adalah pertemuan kesekian kali yang juga melibatkan perwakilan pekerja PT Pertamina EP Papua Field dan sejumlah staf SKK Migas Perwakilan Pamalu. Fokus rapat tidak bergeser dari keberadaan sumur minyak Salawati A9X (SLW A9X) yang ada di Kampung Meyaup Distrik Salawati Tengah Papua Barat. Ini adalah sumur pengembangan yang akan dieksploitasi PT Pertamina EP.
Dari schedule awal, pengeboran SLW A9X bisa dimulai pada April 2021, bersamaan dengan tajak pada Sumur Kembo (KMO 001), Buah Merah dan Markisa (MKS 001). Ini adalah tiga sumur eksplorasi di lokasi berbeda di Kabupaten Sorong.
Untuk mengulik empat sumur minyak ini, PT Pertamina EP Cepu Regional 4 Zona 14 Papua Field menyiapkan duit sebagai modal investasi sebesar 35 juta USD.
Kepala Departemen Humas SKK Migas Perwakilan Papua Maluku, Galih W. Agusetiawan menyebut, investasi ini adalah pertaruhan baru yang kembali dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Wilayah Kerja Kepala Burung, yang vakum sejak tahun 2013.
Selain Pertamina EP, KKKS Petrogas (Basin) dan Petrogas (Island)juga akan membenamkan modalnya dengan mengeksplorasi dua sumur (RIAM 1 dan PIARAWI 1) dan memulai produksi pada Sumur Walio 322. Total nilai investasinya 10 juta USD.

“Ini adalah investasi yang kembali dilakukan KKKS setelah sembilan tahun vakum,” kata Galih, Sabtu (14/5/2022).
Pergerakan investasi ini wujud dari implementasi arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan melalui pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-76 RI, tahun 2021 lalu. Diantara poinnya; Menggalakkan Kegiatan Eksplorasi Migas, dan Mempercepat Peningkatan Regulasi Melalui One Door Service Policy (ODSP) dan Insentif Hulu Migas.
Arahan presiden tersebut, merupakan upaya Negara dalam menjaga keberlangsungan sumber energi masa depan, untuk mewujudkan long term plan Migas 1 juta BOPD dan 12.000 BCSFD pada tahun 2030.
Dari angka proyeksi yang disampaikan Galih, konsumsi minyak nasional pada delapan tahun ke depan, akan terus merangkak naik. Konsumsi minyak yang ditahun 2020 tercatat sebesar 82,8 ribu, proyeksi tahun 2030 akan mencapai 112,9 atau 139 persen. Sedangkan konsumsi gas dari 61 di tahun 2020, akan meningkat 298 persen atau menjadi 109,1 pada tahun 2030.
Sementara pencapaian produksi minyak dalam negeri, pada tahun 2021 justru tidak melampaui target atau hanya terealisasi 660 ribu BOPD (Barrel of Oil Per Day) atau 93,7 persen dari target 705 ribu BOPD. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang menjadi penyumbang terbesar atas realisasi produksi minyak ini adalah Mobil Cepu Ltd dengan angka realisasi 219.000 BOPD.
“Belum ada satupun KKKS di Wilayah Pamalu yang masuk daftar 15 besar KKKS,” tukas Galih.
Sedangkan realisasi gas dalam negeri, pada tahun 2021 tercapai 5.501 MMSCFD atau 97,6 persen dari target 5,638 MMSCFD yang ditetapkan pada UU APBN sebagai penerimaan negara. KKKS yang menjadi kontributor terbesar dalam realisasi ini adalah BP Berau Ltd, dengan angka yang dibukukan 1.312 MMSCFD.

BP Berau Ltd yang menjadi operator LNG Tangguh dari tiga Wilayah Kerja (WK Muturi, WK Berau dan WK Weriagar) di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat menduduki peringkat pertama dalam kelompok 15 besar KKKS penghasil gas nasional, yang diikuti Conoco Philips (Grissik) Ltd.
“Pencapaian BP Berau ini yang membanggakan kami di wilayah Papua dan Maluku, di tengah terseoknya aktivitas industri hulu migas akibat masifnya Pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir,” ujar Galih.
Kendati secara volume produksi tidak mencapai target, secara valuasi penerimaan Negara di sektor Migas justru melampaui target. Dari target sebesar 7,28 miliar dolar AS, tercapai 14,03 miliar dolar AS (193 persen) atau sekitar 200 triliun. Hasil ini berkat pertolongan harga minyak dunia yang terkerek naik selama 2021.
SKK Migas Pamalu turut menanggung beban untuk menarik investor masuk ke Papua dan Maluku, mencari sumur-sumur migas yang belum terlihat. Memecah kevakuman investasi sektor hulu migas yang ada di Wilayah Kerja Kepala Burung.
Galih mengaku lega dengan survei Full Tensor Gravity Gradiometry (FTG) di WK Kepala Burung dan area Akimeugah pada Oktober 2021 lalu. Survey yang dilakukan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Jambi Merang, Sumatera ini, menggunakan pesawat Douglas DC3 (Dakota) yang dilengkapi eFTG dan telah menyasar 45,580 kilometer di area Kepala Burung dan 60,440 kilometer area punggung kepala burung di Akimeugah, Papua.
Baca Juga : Menyisir Cekungan Minyak Kepala Burung Bersama Nyonya Tua
Survey ini setidaknya turut membuka peluang investasi sektor hulu migas, dengan terbukanya informasi potensi migas yang terkandung di perut bumi Cenderawasih. Namun hasil dari survey cekungan migas itu belum bisa digunakan oleh KKKS Pamalu, karena masih menjadi hak ekslusif PHE Jambi Merang, sebelum dilelang secara terbuka oleh pemerintah.
Pecah Kongsi Menjelang Eksploitasi

SEBUAH surat pernyataan sikap dikirim ke sejumlah orang penting di Kabupaten Sorong, mulai Bupati, Ketua DPRD, Kapolres, Komandan Kodim 1802 Sorong, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Sorong, Asisten I dan II serta Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sorong.
Pihak perusahaan yang juga menerima surat itu; Kepala SKK Migas Perwakilan Papua Maluku, Manager Petrogas (Island), Pimpinan PT Pertamina EP Papua Field serta Pimpinan MontD’Or Salawati.
Entah siapa yang menulis, yang pasti surat ini diklaim sebagai suara masyarakat akar rumput dan ditandatangani sepuluh Kepala Kampung di Distrik Salawati Tengah, komplit dengan stempel basah masing-masing kampung.
Nama-nama yang membubuhkan tandatangan di Surat Pernyataan Sikap ini, ada Frits Mugule (Kepala Kampung Waliam); Yusuf Muray (Kepala Kampung Durian Kari); Encon Rouw (Kepala Kampung Sailen), serta Musa Sarim (Kepala Kampung Meyaup) dan Soleman Wehminit (Kepala Kampung Maralol).
Selain itu juga ada Nikson Katumlas (Kepala Kampung Manfanim); Yosantos Dimara (Kepala Kampung Waiman); Dolfianus Mijin (Kepala Kampung Waibin); Yance Klem (Kepala Kampung Sakapul) dan Petrus Bitapo (Kepala Kampung Batbiro).
Untuk meyakinkan bahwa Surat Pernyataan Sikap ini betul-betul suara dari bawah, ada sejumlah nama pejabat dan tokoh yang namanya tertulis sebagai saksi; diantaranya Kapten Inf Nimbrot Duwith (Komandan Ramil Seget); Iptu Herianto (Kapolsek Seget), Thidores Karakay (Sekretaris Distrik) serta Wempy Abret, salah seorang tokoh pemuda. Kepala Distrik Salawati Tengah, Naomi Ormak membubuhkan tandatangan sebagai pejabat birokrasi yang mengetahui.
“Kami 10 Kepala Kampung di Distrik Salawati Tengah Kabupaten Sorong menyatakan bahwa, kami tidak mengakui saudara Mesak Moifilit sebagai Ketua Dewan Adat Moi Maya Distrik Salawati Tengah,” begitu poin pembuka di Surat Pernyataan ini.
Ada tiga item yang menjadi poin penting dari surat tersebut. Alasan mereka tidak mengakui Mesak Moifilit, karena tidak pernah ada kesepakatan masyarakat di 10 kampung di Distrik Salawati Tengah untuk mengangkat Mesak Moifilit sebagai Dewan Adat.
Selain itu, dalam menyelesaikan masalah adat, selalu menimbulkan konflik, serta Mesak Moifilit dengan jabatan yang disandangnya itu, telah mencemarkan nama baik masyarakat adat yang ada di Distrik Salawati Tengah.
“Kami tidak mengakui dan menolak keberadaan yang mengatasnamakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ring Satu Salawati Tengah yang diketuai Saudara Semi Son,” begitu bunyi poin keduanya.
Alasan dari poin ini, karena Semi Son bukan warga Salawati Tengah, yang terbukti dari identitas diri berupa KTP dan Kartu Keluarga (KK)-nya. Selain itu, LSM yang ia pimpin, belum terdaftar di Badan Kesbangpol Kabupaten Sorong sehingga dianggap illegal.
Alamat yang digunakan LSM ini juga disoal. Alamat LSM Ring Satu berada di Jl Nangka Unit I Kelurahan Malagusa Distrik Aimas, bukan berdomisili di Distrik Salawati Tengah. Dengan fakta itu, kata para kepala kampung dalam suratnya, LSM Ring Satu selalu mengatasnamakan masyarakat kampung di Distrik Salawati Tengah tanpa sepengetahuan 10 kepala kampung. Hal ini dianggap sebagai pembohongan publik.
Adri B. Timban, Kepala Bakesbangpol dan Linmas Kabupaten Sorong mengaku masih menunggu turunnya disposisi Bupati untuk mencatatkan nama LSM Ring Satu dalam daftar organisasi di kantornya. Kelengkapan berkas legalitas LSM ini juga sudah komplit.
“Dia sudah menyampaikan surat permohonan pendaftaran ke Pak Bupati. Kalau tidak salah satu bulan lalu, dan sampai saat ini dispo dari beliau belum turun ke kami. Jadi memang belum terdaftar di Kesbang,” kata Adri, Kamis (19/5/2022).
Menyangkut domisili, kata Adri, tidak masalah jika LSM Ring Satu menggunakan alamat di Distrik Aimas dan beraktivitas di Salawati. “Kan masih dalam satu wilayah Kabupaten Sorong. Jadi persoalan alamat ini tidak ada masalah,” tukas Adri.
Semi Son, Ketua LSM Ring Satu tak menyangkal jika lembaga yang didirikan pada 2020 ini belum terdaftar di Bakesbangpol Kabupaten Sorong. Ia menduga ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kehadiran LSM Ring Satu, dan sengaja bersekongkol menghambat proses pendaftaran di Bakesbangpol.
“Kami punya identitas lengkap, surat terdaftar dari Kemenkum HAM kami ada. Tapi ada yang manuver ke bupati untuk tahan kami punya surat tanda terdaftar di Kesbangpol. Sampai detik ini bupati tidak mau keluarkan kami punya surat terdaftar di Kesbangpol, karena alasan LSM hadir untuk bicara hak masyarakat. Maka ketahuanlah kinerja pemerintah yang menyembunyikan hak-hak masyarakat itu,” ungkap Semi Son, Kamis (19/5/2022).
Namun bagi para kepala kampung di Distrrik Salawati Tengah, kehadiran LSM Ring Satu dituding telah mengganggu dan menghambat operasional perusahaan yang beroperasi di Distrik Salawati Tengah.
“Setiap program dan kegiatan yang menyangkut pelayanan masyarakat di Kampung, menjadi tanggungjawab penuh kepala kampung dan tetap berkoordinasi dengan kepala distrik. Bukan LSM atau kelompok lain yang mengatasnamakan kampung dan distrik,” kata para kepala kampung ini, dalam pernyataan sikap poin ketiga.
Untuk pembohongan publik yang selama ini dilakukan Semi Son dengan LSM-nya, para kepala kampung meminta kepada pihak berwajib dan tim audit Kabupaten Sorong, untuk segera turun tangan memeriksa. Pasalnya, LSM Ring Satu dituding telah mengambil peran dalam pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Bagi Hasil Migas untuk masyarakat.
“Karena telah menimbulkan keresahan dan mengganggu kedamaian kehidupan masyarakat yang ada di Distrik Salawati Tengah. Demikian pernyataan sikap dari 10 kepala kampung di Distrik Salawati Tengah, kiranya menjadi perhatian semua pihak,” begitu kalimat penutup dari surat pernyataan sikap tersebut.
Naomi Ormak, Kepala Distrik Salawati Tengah menilai, pernyataan sikap para anak buahnya ini menjadi puncak kekesalan atas intervensi orang luar yang telah memecah belah kerukunan masyarakat adat di kampung.
Naomi yang menjabat sebagai Kepala Distrik Salawati Tengah sejak Desember 2020 ini mencontohkan, dulunya marga Sarim dan Son yang mendiami Kampung Meyaup, bisa duduk menghadap satu meja untuk makan bersama atas kue yang dihasilkan dari sumur migas di wilayah adat tersebut.
“Tapi sejak ada provokator dari luar masuk, dua marga ini menjadi berseteru. Mereka saling gugat di pengadilan,” kata Naomi kepada media ini, Minggu (15/5/2022).

Namun Semi Son tak yakin surat pernyataan penolakan itu murni suara hati para kepala kampung yang mewakili masyarakatnya. Kata Semi Son, sejumlah kepala kampung merasa tertipu dan mengaku tidak tahu soal isi surat yang telah ditandatanganinya tersebut.
Awalnya, mereka dijemput di masing-masing kampung untuk mengikuti pertemuan di Kantor Distrik. Agendanya adalah soal rekrutmen tenaga kerja dari setiap kampung yang akan dipekerjakan pada pengeboran di Sumur SLW A9X oleh PT Pertamina EP.
Saat pertemuan, mereka disodori selembar blangko yang sudah tertulis nama dan jabatan di kampung masing-masing.
“Kita sudah dapat informasi dari para kepala kampung, mereka tidak membaca isi surat. Hanya disuruh tandatangan pada blangko yang sudah tertulis nama dan jabatan masing-masing kampung dan stempel. Tidak tahu ada lembar yang lain dan isinya apa,” kata Semi Son.
Atas isi surat Pernyatan Sikap yang menolak LSM-nya dan Dewan Adat Moi Maya itu, Semi Son mengaku sudah dipanggil penyidik Polres Sorong untuk diperiksa. Ihwal dugaan manipulasi terkait surat itu dan dugaan penipuan pun, ia sampaikan kepada polisi.
“Ini sebenarnya fatal secara hukum. Tetapi kami tidak mau melaporkan ini, karena secara pribadi dan keluarga menyadari ini akan fatal jika kami laporkan ke polisi. Karena mereka pasti akan diproses,” tukas Semi Son.
Dilanjutkan Semi Son, kehadiran LSM Ring Satu di Salawati Tengah adalah untuk mendampingi masyarakat adat pemilik ulayat mendapatkan haknya dari DBH Migas. Pembagian hak ini sesuai yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Propinsi Papua Barat nomor 3 tahun 2019, tentang Pembagian Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota.
“Dana Pendidikan dari DBH Migas sebesar 99 miliar, bupati tidak kasih keluar sampai sekarang. Padahal nilai transfer dari provinsi ke kabupaten itu jelas. Itu baru pendidikan, belum yang infrastruktur. Dari sinilah nyambung, kenapa (LSM) harus diamankan. Jadi kalau bupati menahan kami punya tanda daftar, ini kan tujuannya supaya pekerjaan kami terhambat,” kata Semi Son.
Selama Pertamina EP memproduksi minyak di atas tanah ulayat itu, Semi Son mengaku seluruh marga yang ada di wilayah itu bisa makan bersama.
Sejak pertama kehadiran PT Pertamina EP di atas tanah ulayat itu, bukan hanya Marga Sarim dan Son yang duduk makan bersama. Marga lain di sekitarnya, seperti Marga Kabera, Abet, dan marga pendatang dari Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan yang tinggal di kampung itu, ikut menikmati.
“Bahkan sampai di Seget (Distrik Seget, Red) pun Marga Son kasi. Marga Aresi, Anggololi, kami Marga Son pu orang tua kasi meski tidak banyak. Tapi menjelang kehadiran Alfa 9 ini, mereka (Marga Sarim, Red) mulai gugat kami ke pengadilan,” kata Semi Son.
Bibit perseteruan Marga Son dan Marga Sarim di Kampung Meyaup sejatinya sudah tumbuh sejak tahun 2016. Gegaranya bukan soal minyak, melainkan kayu.
Saat itu, Stepanus Son yang tinggal di Dusun Kumutup Kampung Duriankari Distrik Salawati Tengah, mengolah kayu di hutan. Tapi karena mengolah terlalu banyak, membuat Marga Sarim tidak senang. Usaha kayu Stepanus di palang, dengan alasan kayu yang diolah ada di atas tanah ulayat Marga Sarim.
Padahal, versi Semi Son, kayu yang diolah pamannya itu masih berada di wilayah ulayatnya Marga Son meski secara administratif masuk di Kampung Meyaup. Kampung Meyaup yang kini dipimpin Musa Sarim (keluarga besar Marga Sarim), adalah pemekaran dari Kampung Duriankari, bersamaan dengan Kampung Sailen.
“Kampung Meyaup itu dulu tempat keramat Marga Son. Bapa ade (paman) saya yang dulu bikin upacara adat untuk pembukaan kampung itu,” kata Semi Son.
Merasa berada di atas tanah ulayatnya sendiri, Stefanus Son membuka palang itu. Marga Sarim melapor ke polisi dengan tuduhan Stepanus Son kerja kayu di atas lahan orang. “Dari situlah mulai muncul sentimen,” tukasnya.
Pada tahun 2017, marga Sarim yang diwakili Septerianus Sarim, Marsince Sarim, Seblum Sarim dan Alfius Sarim, menggugat Stepanus Son dan Piter Seme ke Pengadilan Negeri Sorong. Dalam gugatan, nama yang mereka ajukan adalah Panus Son dan Pieter Seme.
Pada pokok perkaranya, empat orang yang didampingi advokat dari Kantor Max Mahare SH & Associates, mengklaim sebagai pewaris lahan seluas sekitar 1000 hektare yang menjadi tanah ulayat Marga Sarim di wilayah Salawati Tengah. Areanya membentang dari Tanjung Monoket Pulau Saba hingga Tanjung Monfanim atau Kali Waimuf. Di atas tanah ulayat inilah lubang minyak yang diberi nama SLW A9X berada.
Dalam putusan sidang Pengadilan Negeri Sorong bernomor 82/Pdt.G/2017/PN. Son yang diucapkan pada 26 Juni 2018, majelis hakim mengabulkan gugatan ini. Sebagai tergugat, selain harus mengembalikan tanah obyek sengketa, Stepanus dan Piter juga dihukum membayar biaya selama berperkara sebesar Rp 6.991.000.
Namun persidangan ditingkat banding, putusan Pengadilan Negeri Sorong tersebut dibatalkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura. Putusan Nomor 68/PDT/2018./PT JAP ini dibacakan dalam persidangan terbuka pada 7 November 2018, dengan majelis hakim yang diketuai Nyoman Gede Wiry. Keluarga besar Marga Son kembali menjadi pemilik tanah ulayat tersebut.
Atas kemenangan ini, keluarga Marga Son mengajak perwakilan Marga Sarim berembug, menyelesaikan sengketa itu di Lembaga Peradilan Adat. Kata Semi Son, pada 27 Januari 2019 pihaknya sudah bertemu perwakilan Marga Sarim di Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Sorong di Aimas.
Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk melakukan pertemuan ulang pada 2 Februari 2019 untuk dilakukan Sidang Adat, dengan masing-masing marga membawa bukti kepemilikan tanah ulayat.
“Tapi dalam pertemuan kedua ini mereka tidak datang. Ternyata mereka ada pergi lapor lagi ke pengadilan untuk menggugat lagi. Sebenarnya kalau waktu itu kita bisa sama-sama datang, duduk bawa peta, mana Sarim punya mana Son punya, masalahnya sudah selesai secara adat,” tukas Son.
Namun angin sejuk mulai berhembus. Kata Semi Son, beberapa waktu lalu dirinya dipanggil ke rumah Musa Sarim, Kepala Kampung Meyaup. Dalam perbincangan saat itu, keluarga besar Sarim akan mencabut gugatan di pengadilan itu, dan tidak mengakui langkah hukum yang ditempuh Septerianus Sarim, Marsince Sarim, Seblum Sarim dan Alfius Sarim.
“Karena empat orang ini mengatasnamakan Marga Sarim tanpa ada kesepakatan atau dukungan keluarga besar Sarim. Jadi Marga Sarim ini minta agar urusan di pengadilan ini bisa dicabut, kembali ke urusan secara keluarga,” kata Semi Son.
Perseteruan Sarim dan Son mengakibatkan Pertamina EP me-reschedule planning eksploitasi sumur SLW A9X yang direncanakan dimulai pada April 2021. Pertemuan demi pertemuan dilakukan para pihak terkait untuk mencari formula yang tepat dalam menyelesaikan konflik marga itu.
Sebagai ‘mama’nya masyarakat Papua di Distrik Salawati Tengah, Naomi Ormak ingin anak-anaknya itu bisa kembali akur dalam satu meja makan. Berbagai mitigasi ditempuh, untuk melokalisir antara persoalan adat dengan kegiatan industri hulu migas.
“Karena ini dua masalah yang berbeda, jadi harus dipisahkan. Jangan sampai konflik internal marga menghalangi kepentingan yang lebih besar. Persoalan adat silakan terus berjalan untuk diselesaikan, begitu juga rencana kegiatan perusahaan,” tukasnya.

Berbagai pendekatan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, mulai menuai hasil meski belum seratus persen. Pada Maret 2021, pekerja PT Pertamina EP mulai diperbolehkan masuk ke lokasi untuk land clearing. Upacara adat yang menghadirkan dua marga, dilakukan sebelum pembersihan lokasi. Namun kegiatannya baru sebatas itu. Belum ada kesepakatan untuk dimulai eksploitasi pada April 2021.
Memulai dari SLW A9X
Pertemuan terbatas di salah satu hotel itu sudah satu tahun berlalu. Klaas Osok, Asisten III Setda Kabupaten Sorong yang menjadi pemimpin rapat, juga sudah pensiun dan pergi menghadap sang penguasa jagat pada 19 Desember 2021. Begitu juga Septer Kawab, Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan yang aktif mengawal rencana eksploitasi ini, meninggal dunia pada tahun yang sama.
Jalan panjang mempersiapkan pengeboran sumur SLW A9X di Kampung Meyaup Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Sorong, Papua Barat akhirnya dimulai pada 8 April 2022 lalu. Pertamina EP Papua Field yang tergabung dalam Subholding Upsream Pertamina Regional Indonesia Timur Zona 14, menggandeng Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI) untuk menggarap sumur pengembangan ini.
Menggunakan Rig PDSI#28.2D1000-E 1000 HP, pengeboran sumur SLW A9X berlangsung selama 30 hari dengan mencapai target kedalaman 1.665 meter.

Direktur Operasi PDSI Fata Yunus mengatakan, meningkatkan safety awareness selama operasi dan kegiatan moving baik untuk perwira PDSI maupun mitra kerja, menjadi sangat penting dalam mencapai zero NPT (Non Productive Time) dan incident.
“Tidak lupa dan tidak bosan-bosannya saya mengingatkan untuk meningkatkan safety awareness kepada seluruh rekan-rekan perwira PDSI dan mitra kerja yang terlibat pada proses kegiatan pengeboran termasuk moving,” katanya, dalam siaran pers yang diterima media ini, Sabtu (14/5/2022).
Sumur SLW A9X merupakan merupakan sumur pengembangan yang akan menambah pundi-pundi minyak PEP dari WK Salawati. Selama ini, Pertamina EP hanya mengoperasikan lima sumur dari 12 lubang yang ada di WK Salawati. Karena alasan kurang produktif, sebanyak tujuh sumur di suspend.
Harianto, Communication Relation & CID PT Pertamina EP Cepu Regional 4 Zona 14 Papua Field bilang, dari ratusan sumur minyak peninggalan NNGPM di WK Kepala Burung yang diteruskan Pertamina EP, tidak seluruhnya produktif. Bukan hanya di WK Salawati, tapi juga di tempat lain. NNGPM adalah perusahaan migas jaman kolonial Belanda.
Di WK Klamono, dari 300 sumur saat ini hanya 120 sumur yang produktif. Sedangkan di WK Sele dan Linda, dari 36 sumur hanya aktif 13 sumur, dan dari WK Klamumuk hanya ada 1 sumur yang produktif dari 2 sumur.
Di sumur yang masih produktif itu, Pertamina masih mampu mengumpulkan minyak sebanyak 1.000 Barrel of Oil Per Day (BOPD), dengan rincian 438,200 BOPD dari WK Klamono; 99.532 BOPD dari WK Sele & Linda; 337.862 BOPD dari WK Salawati dan 28.340 BOPD dari WK Klamumuk. Sedangkan gas yang dihasilkan, relatif kecil; 0,770 Juta Standar Kaki Kubik per Hari (Million Standard Cubic Feet per Day/MSCFD).
Dari SLW A9X yang baru mulai eksploitasi, diyakini akan menambah produksi minyak oleh Pertamina EP sebanyak 200 BOPD (Barrel of Oil Per Day), sesuai dengan Plan of Development (POD) yang telah disetujui pemerintah.
General Manager Zona 14, Afwan Daroni, mengatakan PEP Papua Field akan terus memberikan kinerja terbaiknya dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional.
“Alhamdulillah, pengeboran sumur SLW A9X mendapatkan hasil yang menggembirakan. Saya sangat mengapresiasi kinerja semua tim yang terlibat dari Pertamina, PDSI dan semua Service Company. Semoga kontribusi penambahan produksi ini dapat menjadi semangat untuk semua tim dalam melakukan pengeboran sumur sumur berikutnya,” ujar Afwan.
Afwan juga berterima kasih kepada seluruh pemangku kepentingan di Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Sorong dan masyarakat di sekitar Kampung Meyaup di Pulau Salawati yang telah membantu menjaga keselamatan kerja pengeboran beresiko keselamatan tinggi, hingga proyek ini dapat berlangsung sukses dan membuahkan hasil mendekati target produksi yang telah ditetapkan SKK Migas.
Keberhasilan dari kegiatan perdana pengeboran Sumur Salawati A9X di Kabupaten Sorong ini, menurut Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Papua & Maluku, Subagyo, merupakan awal optimisme akan keberhasilan keberhasilan lainnya yang akan berlanjut dari rencana kampanye pengeboran oleh KKKS yang ada di Papua Barat.
Kesuksesan pengeboran tersebut, tidak terlepas dari kemampuan PEP dalam mendatangkan Rig untuk dapat melakukan rangkaian pengeboran secara berkesinambungan untuk 3 sumur lainnya di tahun 2022, sehingga bisa menghasilkan optimalisasi pembiayaan transportasi dan operasional Rig.
Pasalnya, pada saat harga minyak melambung seperti saat ini, hampir di seluruh regional di Indonesia memiliki kecenderungan kebutuhan Rig untuk pengeboran meningkat tinggi.
“Kami juga mengucap syukur atas kemudahan yang didukung oleh pemerintah daerah, utamanya pada tahapan persiapan persiapan untuk memulai kegiatan pengeboran selanjutnya. Saat ini, masih ada rencana kerja PEP untuk melakukan pengeboran lanjut di sekitar Kabupaten Sorong, untuk itu tahapan persiapan lahan menjadi penting dapat diselesaikan tepat waktu, agar dapat mengoptimalkan pendapatan negara, hingga nantinya dapat menciptakan ketahanan energi di Papua Barat,” jelas Subagyo.
SLW A9X menjadi bagian dari 790 sumur eksploitasi di seluruh Indonesia, yang akan di bor hingga akhir tahun 2022. Selain SLW A9X di Kampung Meyaup Distrik Salawati Tengah, ada tiga sumur eksplorasi yang menunggu giliran dijamah oleh Pertamina EP.
Ada Sumur Kembo (KMO 001) di Kampung Malasaum (wilayah adat Marga Usili) dan Markisa (MKS 001) di Kampung Klamesen (Marga Malagam) Distrik Aimas, serta sumur Buah Merah di area perkebunan Kelapa Sawit di Kampung Pusutelegum Distrik Klasafet.

Sumur-sumur eksplorasi yang menjadi pertaruhan investor ini, kata Harianto, Communication Relation & CID PT Pertamina EP, merupakan hasil kegiatan seismik yang dilakukan pada tahun 2017 silam. Sumur Markisa mendapat giliran pertama untuk dieksplorasi, sebelum peralatan rig bergeser ke Sumur Kembo.
“Sekarang lagi proses moving rig dari Salawati ke Markisa, diperkirakan di pertengahan Mei sudah siap untuk tajak,” katanya.
Untuk memulai kegiatan eksplorasi di tiga sumur ini, disebutkan Harianto, juga terdapat riak-riak kecil dari masyarakat pemilik ulayat. Namun persoalannya gampang di lokalisir, tidak serumit di SLW A9X.
Efek Berganda Industri Hulu Migas
SEBAGAI pejabat baru di Distrik Salawati Tengah, Naomi Ormak tak ingin warganya hanya menjadi penonton atas aktivitas perusahaan di wilayahnya.
Ia menghimpun masyarakat yang masih produktif dari 10 kampung di wilayahnya, untuk dilibatkan bekerja di Pertamina EP Papua Field. Semua marga ada perwakilan yang direkrut, tak terkecuali Marga Sarim dan Son.
Langkah ini disebutnya sebagai strategi meredam gejolak masyarakat, karena faktor kecemburuan sosial yang berpotensi muncul. Upaya itu juga salah satu cara untuk menyatukan kembali kelompok-kelompok marga yang selama ini berseteru.
“Kami paham mana pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan khusus dan tidak. Mana pekerjaan yang bisa dikerjakan masyarakat kami dengan pekerjaan yang membutuhkan skill. Karena industri migas ini kegiatan yang penuh dengan resiko tinggi,” tukas Naomi.
Harianto mengamini pernyataan Ibu Distrik ini. Katanya, untuk pekerjaan non-skill, lebih banyak diserahkan ke tenaga kerja lokal. Tapi kalaupun ada Orang Asli Papua (OAP) yang memiliki skill khusus di industri hulu migas, pihaknya tidak menampik untuk mempekerjakannya.
“Prinsipnya, untuk pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan khusus, kami cari dulu tenaga kerja lokal atau OAP. Kalau memang sudah tidak ada, baru kami rekrut tenaga skill dari luar,” kata Harianto.
Penyerapan tenaga kerja lokal ini, disebut Harianto, sebagai salah satu dampak positif hadirnya industri hulu migas di Papua. Masyarakat di daerah sekitar operasi pengeboran juga akan merasakan dampak langsung berupa infrastruktur yang dibangun KKKS. Akses jalan yang tadinya kecil dan sulit dilalui karena terbuat dari material yang tidak dapat menahan berat tonase peralatan rig pengeboran, akan diperbaki dan diperkuat.
“Sehingga masyarakat sekitar operasional nantinya dapat turut menikmati peningkatan kualitas infrastruktur tersebut,” ungkapnya.
Sedangkan Galih W. Agusetiawan, Kepala Departemen Humas SKK Migas Perwakilan Papua Maluku menyebut, sedikitnya ada 12 dampak positif bagi daerah dengan hadirnya investasi hulu migas.

Dampak yang bisa dirasakan secara langsung adalah; Dana Bagi Hasil Migas; Program Pengembangan Masyarakat (PPM) sebagai Tanggungjawab Sosial; Corporate Social Responsibility (CSR); Participating Interest (PI) 10 Persen; Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD); PBB Migas serta Tenaga Kerja Lokal.
Sedangkan dampak yang tidak langsung, meliputi bisnis penyedia barang dan jasa lokal, BUMD dan Badan Usaha (BU) lokal; Penggunaan fasilitas penunjang operasi oleh masyarakat; Pasokan minyak bumi untuk BBM; Pasokan gas untuk bahan bakar kelistrikan di Daerah; serta Industri Turunan Penunjang.
Di Papua Barat, pendapatan daerah dari sektor migas mencapai angka 92 persen atau Rp2,1 triliun dari total pendapatan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam, disusul sektor kehutanan 6 persen (Rp 144 miliar) dan minerba 1 persen (Rp 28,8 miliar). Dengan dominasi manfaat itu, kata Galih, penting menjaga ekosistem industri hulu migas di Papua Barat.
“Investasi harus terjadi. Kalau tidak, kegiatan multiplier effect ini tidak mungkin bisa dirasakan langsung. Untuk mencapai ini, seluruhnya harus berkolaborasi. Investor, SKK Migas, Pemerintah Daerah dan masyarakat, perlu di dorong secara terus-menerus untuk bersinergi agar investasi terjadi dan bisa memanfaatkan dampak lokalnya,” urai Galih. (tantowi djauhari)