JAYAPURA, jurnalpapua.id – PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PLA) yang menjalankan usaha perkebunan sawit di Kabupaten Sorong, tidak memiliki itikad baik dalam memenuhi kewajibannya.
Fakta ini terungkap dari keterangan para saksi, dalam sidang lanjutan gugatan perdata yang diajukan dua perusahaan itu kepada Bupati Sorong, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada 9 dan 11 November 2021.
Dalam persidangan ini, kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan tujuh orang saksi. Sedangkan dari pihak penggugat, tidak bisa menghadirkan saksi, meski majelis hakim sudah membuka kesempatan untuk itu.
Benediktus Heri Wijayanto, Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat yang sekaligus menjadi Ketua Tim Evaluasi Perijinan Sawit di Provinsi Papua Barat menjelaskan, dalam Ijin Usaha Perkebunan (IUP) ada 9 kewajiban yang seharusnya dipenuhi perusahaan.
“Sembilan kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Keputusan Bupati tentang Ijin Usaha Perkebunan. Tetapi dari hasil evaluasi yang kami lakukan, sembilan kewajiban ini tidak dipenuhi semuanya oleh PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi,” kata Benediktus Her Wijayanto, yang menjadi salah satu saksi dalam perkara itu.
Kuasa Hukum Bupati Sorong juga menghadirkan Subur, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan Anggota Tim Evaluasi Ijin Sawit di Kabupaten Sorong sebagai saksi. Dalam keterangannya di ruang sidang Subur menyatakan, setelah mendapat ijin lokasi, pemegang ijin lokasi harus membuat laporan pertiga bulan terkait perkembangan perolehan hak tanah.
“Setelah kami periksa, PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi tidak pernah melaporkan perkembangan perolehan tanah di lokasi ijin,” kata Subur.
Pada sidang sebelumnya yang berlangsung Selasa 9 November 2021 di PTUN Jayapura, kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan masyarakat adat pemilik ulayat tempat ijin lokasi kedua perusahan itu.
Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru dihadirkan untuk perkara gugatan PT. SAS, dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT. PLA.
Sem Klafiu salah satu saksi dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan, sejak awal tahun 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, namun marga Klafiu menolak memberikan tanahnya.
“Kami marga Klafiu sepakat kami tolak. Kami sudah sumpah adat kami tolak. Kami tidak terima kelapa sawit dari tahun 2000 sampai sekarang. Kami tidak pernah terima, sedikit pun kami tidak pernah terima uang dari perusahaan,” ucap Sem Klafiu.
Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampug Waimon Distrik Segun mengatakan, perwakilan PT. PLA baru datang mengajak kerjasama pada Juni 2021 setelah Bupati mencabut ijin perusahaan itu.
“Setelah kami dan perusahaan bekerjasama, setelah itu baru kami tahu bahwa ijinnya sudah dicabut. Bagi kami masyarakat ini adalah tipuan. Ijinnya sudah dicabut, mengapa dia masih mau masuk,” ucap Hendrik Malalu.
Kedua perusahaan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat, Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
“Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya,” urainya.
Musyawarah itu dilakukan sebelum perusahaan mendapatkan IUP dari instansi yang berwenang. Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA, kata Hendrik, tidak melalui proses yang diatur oleh pasal 43 ayat (4) UU Otsus.
Harun, perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Lingkungan yang melakukan pemantauan sidang itu menyebut, kedua perusahaan itu mengabaikan prinsip FPIC (“Free, Prior and Informed Consent) atau Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat. Pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat.
Tindakan bupati Sorong melakukan pencabutan izin-izin perusahaan, menurutnya telah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelematan lingkungan hidup.
Sidang lanjutan perkara nomor 31/G/2021/PTUN.JPR dan nomor 32/G/2021/PTUN.JPR di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini, akan digelar pada 16 dan 18 November, dengan agenda pemeriksaan saksi atau ahli untuk empat perkara. JP04