
“OM Mas salah tempat duduk itu. Seharusnya di depan sana..”
Kalimat candaan itu mengagetkan saya yang sedang menatap keluar jendela pesawat, sambil menahan kantuk di kursi 21F.
Iya. Saya menyatakan itu kalimat bercanda yang menggoda. Karena tidak mungkin saya duduk di deretan kursi depan (penumpang kelas bisnis). Apalagi di depan pesawat.
Hari masih pagi. Pukul 07 lewat sedikit, ketika para penumpang Batik Air ID 6154 dipersilakan naik pesawat yang akan terbang ke Manokwari, Papua Barat, pada Selasa, 4 Maret 2025.
Penerbangan dari Bandara DEO Sorong menuju Rendani, Manokwari, menjadi rangkaian perjalanan saya kembali ke Teluk Bintuni, setelah tiga bulan saya meninggalkan Negeri Sisar Matiti itu.
Yohanis Manibuy, Bupati Teluk Bintuni yang telah dilantik oleh Presiden RI di Istana Merdeka pada 20 Februari 2025, sosoknya muncul melalui pintu belakang pesawat, dan menyapa saya dengan panggilan ‘Om Mas’.
Bupati yang populer disapa Anisto ini duduk persis di depan saya, kursi nomor 20E. Ini adalah barisan kursi kelas ekonomi, yang sudah menjadi langganan penumpang kantong cekak seperti saya, saat naik pesawat.
Kami berbincang, basa basi seadanya, sebelum saya kembali pada posisi, melanjutkan rencana tidur di udara yang tertunda.
Baca juga: Bupati Anisto Awali Kedinasan dengan Sederhana, Tanpa Kursi Sofa Mewah dan Mobil Patwal
Pertemuan dalam satu kabin penerbangan ini, merupakan kebaikan Tuhan yang mewujudkan rencana kami sebelumnya.
Saya berangkat dari Surabaya, singgah di Ujung Pandang, transit Sorong dengan tujuan akhir Manokwari. Bupati Anisto dan rombongan, naik dari Soekarno Hatta, Cengkareng. Bandara ini ada di Tangerang, Provinsi Banten ya. Bukan di Jakarta.
Sebelumnya, kami berpisah di Bandara YIA, Kulon Progo, dan mengatur rencana bertemu di Manokwari. Karena tidak dapat tiket, saya naik KA Gajayana. Seperti rangkaian gerbong kereta api, perjalanan saya sambung menyambung merayap ke tempat tujuan.
“Kok Pak Bup tidak duduk di depan,” tanya saya, ketika terbangun dari sekilas lelap. Saya lihat Bupati Anisto sudah pindah tempat ke belakang, duduk di samping saya.
“Dimana?” jawabnya.
“Ya di depan. Kursi Bisnis,” kata saya lagi.
Dalam penerbangan domestik, selain Garuda Indonesia, Batik Air adalah maskapai yang memiliki kursi kelas bisnis, untuk melayani para bos-bos dan juga para pejabat. Namanya juga Kelas Bisnis. Harga satu tiket untuk menikmati fasilitas itu, bisa untuk beli tiket 3 sampai 4 penumpang di kelas ekonomi.
“Aduh Om Mas.. kita punya SPPD berapa sih?” sergah Bupati Anisto.
“Nanti kita tiba juga sama-sama. Lebih enak di sini,” dalihnya.
Sebagai pemimpin di daerah yang mengelola APBD Tiga T, bukannya tidak ada anggaran untuk menebus tiket Kelas Bisnis untuk seorang Kepala Daerah bernama Yohanis Manibuy.

Memang sih, sebagai penghasil gas terbesar di Indonesia Timur, anggaran daerah Teluk Bintuni tidak sebesar duit ‘yang dikelola’ para oknum petinggi perusahaan migas di Jakarta. Seratus sembilan puluh tiga koma tujuh triliun. Riuh dibilang Mega Skandal.
Tetapi jawaban agar sama-sama merasakan apa yang dirasa masyarakat kebanyakan, menjadi alasan yang sulit dibantah lagi. Bupati Anisto tidak ingin menggunakan jurus ‘Aji Mumpung’. Mumpung jadi pejabat. Mumpung dibiaya negara.
Sekitar 30 menit kami menikmati awan di angkasa. Dengan sedikit hentakan roda pesawat saat bertemu aspal landasan, Batik Air yang kami tumpangi mendarat di Bandara Rendani, Manokwari. Ini adalah ibu kota Provinsi Papua Barat.
Sejumlah petugas bandara sisi udara, terlihat sibuk mempersiapkan penjemputan. Mobil Inova Reborn warna hitam sudah terparkir tak jauh dari bodi pesawat. Ya, ini mobil khusus yang lazim digunakan menjemput penumpang VIP, dari landasan menuju ruang VIP.
“Saya naik bis aja. Biar mama yang naik mobil itu,” kata Anisto, mempersilakan perempuan bersahaja yang telah melahirkannya, menikmati mobil kelas bisnis.
Masih dengan alasan yang sama. Bupati yang baru digembleng di Komplek Akademi Militer Magelang ini, lebih memilih naik bis yang sudah udzur agar bisa bersama-sama dengan rombongan yang mendampinginya.
Saya bilang bis ini sudah dimakan usia, karena kondisinya yang memang sudah tidak mulus. Kain penutup jendela (gordin), sudah mulai terlepas. Saya pernah mendapati beberapa panel di dalam bis, sudah copot tanpa baut.
Bupati Anisto dan Wakil Bupati Joko Lingara, ikut berdesakan, bersama penumpang lain yang berdiri dalam Bis Bandara Rendani. Mungkin baru kali ini, pejabat yang kedatangannya disambut di ruang VIP Bandara, turun dari Bis Bandara. Iya, ini tamu VIP naik Bis Bandara. (Tantowi Djauhari)