SORONG, jurnalpapua.id – Investasi baru sektor hulu migas di Wilayah Kabupaten Sorong, macet sejak 8 tahun terakhir. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan investor, terakhir terjadi pada tahun 2013 silam.
Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari pelaksanaan hak dan kewajiban sektor hulu migas yang tak seimbang di tingkat daerah.
Investor hulu migas sering mendapati hambatan di lapangan, ketika memulai kegiatan usahanya. Sedangkan peran pemerintah daerah dalam mencarikan jalan keluar dari setiap kendala yang muncul di lapangan, belum terlihat secara signifikan.
“Sampai saat ini saya belum mendapati peraturan di daerah berupa Juknis atas semacamnya, yang mengatur bagaimana menyelesaikan hambatan yang sering dihadapi investor di lapangan. Misalnya soal pengadaan atau penggunaan lahan untuk kegiatan eksplorasi,” kata Galih, dalam sosialisasi kinerja Hulu Migas Tahun 2021 kepada wartawan di Sorong, Sabtu (26/3/2022).
Padahal, hak pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat pemilik lahan atas kegiatan hulu migas, selama ini sudah dinikmati melalui pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas maupun sektor lain, yang dapat dinikmati secara langsung maupun tidak langsung.
Berita Terkait : Tahun 2021, Teluk Bintuni Terima DBH Migas Rp 328 Miliar
Kabupaten Sorong menjadi daerah penerima DBH Migas terbesar kedua di Papua Barat setelah Kabupaten Teluk Bintuni. Total DBH yang diterima Kabupaten Sorong pada tahun 2021 lalu, sebesar Rp 48,2 miliar yang meliputi DBH dari sektor minyak sebesar Rp 13,3 miliar dan DBH dari gas sebesar Rp 34,9 miliar.
Dari hak yang telah dinikmati ini, pemerintah daerah memiliki kewajiban mendukung operasional hulu migas yang merupakan kegiatan Negara. Dukungan ini menjadi hak para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebagai pelaksana kegiatan di lapangan.
Dukungan dari daerah ini mutlak dibutuhkan SKK Migas dan KKKS, mengingat 30 persen dari 284 proses perijinan yang dibutuhkan oleh KKKS dalam menjalankan operasional, posisinya ada di daerah, terutama di tingkat pemerintah kabupaten/kota.
KKKS membutuhkan 69 jenis perijinan yang diterbitkan 17 instansi pemerintah, untuk menjalankan investasinya. Dari jumlah ini, sebanyak 3 ijin ada di Kanwil BPN, 31 ijin di pemerintah provinsi, 53 ijin ada di Kabupaten/kota dan 2 ijin di tangan pemilik hak ulayat.
“Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten atau Kota, berkewajiban memiliki juknis atau juklak yang mengatur kesesuaian norma masyarakat di daerah, dengan tetap mendorong dan memastikan kelancaran percepatan investasi dapat masuk ke daerah,” ungkap Galih.
Tidak adanya investasi baru selama 8 tahun terakhir di Kabupaten Sorong, berdampak pada konstribusi minyak dari Kabupaten Sorong terhadap produksi minyak secara nasional. Pada tahun 2021, kontribusi minyak dari daerah ini tidak sampai pada angka 1 persen, atau berada pada angka 0,7 persen.
Sementara rata-rata konstribusi KKKS di wilayah Papua Maluku terhadap produksi minyak nasional hanya 4 persen, dan konstribusi gasnya 20 persen. “Untuk produksi gas, yang dihasilkan Kabupaten Sorong 0,1 persen. Tulang punggung produksi gas ini ada di Teluk Bintuni, dilakukan oleh BP Berau,” tandas Galih. JP01