Tahun 2021, Teluk Bintuni Terima DBH Migas Rp 328 Miliar

0
279
Kawasan industr gas BP Berau Ltd yang mengoperasikan LNG Tangguh di Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni.
Spread the love

BINTUNI, jurnalpapua.id – Sebagai daerah penghasil gas terbesar di wilayah Indonesia Timur, pada tahun 2021 Kabupaten Teluk Bintuni menerima Dana Bagi Hasil (DBH) Migas sebesar Rp 328 miliar, dari total DBH yang diterima Pemerintah Propinsi Papua Barat sebesar Rp 1,4 triliun.

Sementara daerah di Propinsi Papua Barat yang bukan penghasil migas, menerima DBH rata-rata 29,5 miliar, kecuali Kabupaten Sorong yang menerima DBH sebesar Rp 48,2 miliar.

Dari data yang dirilis Kementerian Keuangan RI, DBH yang diterima Kabupaten Teluk Bintuni sebesar Rp 4,7 miliar dari DBH Minyak dan Rp 324,2 miliar dari DBH Gas.

Besarnya DBH Migas yang diterima Kabupaten Teluk Bintuni, karena keberadaan BP Berau yang mengoperasikan LNG Tangguh dalam mengeksploitasi gas di tanah Sisar Matiti.

Baca Juga : Terima DBH Migas Terbesar di Papua Barat, Teluk Bintuni Masuk Daerah Miskin Ekstrim

Kepala Departemen Humas SKK Migas Perwakilan Papua dan Maluku, Galih W. Agusetiawan menjelaskan, DBH Migas tersebut merupakan satu diantara tujuh dampak langsung yang diterima daerah penghasil migas.

Dampak lain dari keberadaan industri huku migas adalah Program Pengembangan Masyarakat (PPM) sebagai tanggungjawab sosial perusahaan, CSR, Participating Interest (PI) 10 persen ke Pemerintah Daerah, Pajak dan Retribusi Daerah (PRD), PBB Migas serta penyerapan Tenaga Kerja Lokal.

Sedangkan dampak yang tidak langsung, adalah bisnis penyedia barang dan jasa oleh BUMD dan Badan Usaha Lokal, penggunaan fasilitas penunjang operasi oleh masyarakat, pasokan minyak bumi untuk BBM, pasokan gas untuk bahan bakar kelistrikan daerah serta hadirnya industri turunan penunjang.

Namun dari dampak positif yang telah dirasakan dan sebagai hak daerah tersebut, masih belum sebanding dengan kewajiban yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mendukung kelancaran operasi industri hulu migas.

Dikatakan Galih, sejak tahun 2013 tidak ada investor baru di sektor hulu migas yang masuk di wilayah Papua dan Maluku, karena berbagai hambatan yang melintang. Faktor perijinan dan lahan menjadi hambatan utama masuknya investor.

“Belum ada juknis yang jelas dari pemerintah daerah, yang mengatur tata cara penyelesaikan masalah di lapangan ketika investor mau masuk berinvestasi,” tukas Galih. JP01

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here