BINTUNI, jurnalpapua.id – Sebagai wilayah yang menjadi sumber penghasil gas terbesar di Papua dan Maluku, Kabupaten Teluk Bintuni sudah selayaknya melengkapi diri dengan bandara yang mampu menampung pesawat jenis boeing.
Fasilitas penerbangan yang menjadi pintu keluar masuk orang-orang berduit ini, mutlak dimiliki jika tak ingin Teluk Bintuni hanya menjadi penonton atas hilir mudiknya lembaran rupiah dari keberadaan British Petroleum (BP) Indonesia, investor asing bidang migas terbesar di Indonesia.
Demikian disampaikan Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Bintuni, Yayat Suyatman S.T, M.M kepada wartawan jurnalpapua.id, disela-sela peringatan Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) ke-50, Rabu (15/9/2021).
Diantara multiplier effect atas keberadaan BP Indonesia di Teluk Bintuni, hingga kini masih dominan dinikmati oleh Kota Sorong dan Kota Ambon yang memiliki fasilitas penerbangan domestik. Dalam proses pertukaran pekerja (crew change), para pekerja yang naik pesawat jenis boeing, transit di dua kota itu.
Selama transit, lazimnya mereka akan tinggal di penginapan atau hotel, belanja makan dan minum serta kebutuhan lain sebagai bekal. Dari Kota Sorong kemudian mereka baru naik pesawat kecil jenis ATR turun di Bandara Babo. Bintuni sebagai ibukota kabupaten, hanya sebagai perlintasan para pekerja BP Indonesia yang mereka lihat dari langit.
“Potensi ekonomi sebagai efek ganda dari keberadaan BP ini yang harus kita tangkap, agar Bintuni sebagai daerah penghasil migas, juga merasakan dampak positifnya,” kata Yayat Suyatman.
Dengan tersedianya bandara yang mampu menampung pesawat jenis Boeing di Teluk Bintuni, maka untuk crew change pekerja BP Indonesia, pesawat yang mengangkut mereka tidak perlu lagi transit di Ambon maupun Kota Sorong.
Kemudian untuk meneruskan perjalanan ke Babo, pesawat kecil jenis ATR cukup menjemput mereka di Bintuni. Sehingga semua proses yang memberikan ekses perputaran ekonomi itu berlangsung di Bintuni. Pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi akan terdongkrak, begitu juga para pengusaha makanan, kios dan penginapan akan ikut menikmati.
Apakah harus membangun bandara baru? Kata Yayat Suyatman, wajib. Sebab bandara Stenkool yang existing saat ini, sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Jangankan menerima pesawat jenis Boeing, untuk landing maupun take off pesawat ATR saja, sudah tidak bisa.
“Yang bisa naik turun di bandara Bintuni, maksimal pesawat jenis caravan. Makanya Susi Air begitu menjadi idola, karena satu-satunya pesawat regular yang melayani penerbangan dari dan ke Bintuni,” kata Yayat.
Saat ini, panjang landasan pacu di bandara Stenkool Bintuni yang terpakai adalah 830 meter. Beberapa tahun lalu sempat ada penambahan panjang landasan sekitar 150 meter oleh Pemda Teluk Bintuni, tapi bangunan itu tak bisa terpakai karena tidak memenuhi standar runway dari Kementerian Perhubungan.
Jika mau dikembangkan lagi dengan memperpanjang landasan pacu, ke arah Hotel Stenkool terdapat bukit. Offstakel-nya cukup dominan. Begitu juga ke arah runway, sudah padat perkampungan penduduk dan terdapat pelabuhan yang traffic aktivitas bongkar muat kapal barang menggunakan crane cukup tinggi.
Begitu juga untuk pelebaran landasan pacu, sudah tidak bisa dilakukan lagi. Padahal untuk memenuhi standar masuknya pesawat jenis ATR, hanya membutuhkan runway sepanjang 1.400 meter dengan lebar kiri kanan landasan pacu 30 meter, plus 300 meter di bahu landasan.
“Jadi untuk ditingkatkan kapasitasnya agar pesawat ATR bisa masuk, bandara Bintuni ini sudah tidak bisa, apalagi untuk memenuhi standar pesawat Boeing yang membutuhkan landasan pacu minimal 2.500 meter dengan lebar landasan 150 meter. Jadi agar pesawat Boeing bisa masuk ke Bintuni, mutlak harus membangun bandara baru,” pungkasnya. JP01