Liputan Sidang Victor Yeimo, Seorang Wartawati di Jayapura Hendak Diperkosa

0
235
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Dok. Liputan6.com
Spread the love

JAYAPURA, jurnalpapua.id – Elfira Halifa, seorang wartawati dari media Cenderawasih Pos mengalami pelecehan seksual di Pengadilan Negeri Jayapura, saat liputan sidang perkara Victor Yeimo (VY), juru bicara Komine Nasional Papua Barat (KNPB) pada Senin (21/2/2022).

Saat melintas di pintu masuk pengadilan, Elfira yang mendapat tugas dari kantornya untuk meliput sidang dengan agenda pembacaan dakwaan VY ini, diteriaki oleh salah seorang laki-laki yang bergerombol di depan kantor pengadilan.

“Sini, sa perkosa ko (Sini, saya perkosa kamu),” ucap Elfira, menirukan suara teriakan seorang laki-laki yang tak dikenalnya.

Dilansir dari Paraparatv.id, laki-laki yang teriak akan memerkosa Elfira ini diduga pendukung Victor Yeimo.

Sambil menoleh ke arah laki-laki yang meneriakinya, Elfira terus berjalan dengan perasaan kesal atas perkataan yang dilontarkan kepadanya itu.

“Saya kaget, trauma, marah dan kesal, semua campur aduk. Padahal, saya tidak berbuat apapun kepada dia,” kata Elfira.

Meski tidak kenal, Elfira mengaku mengetahui pelaku yang meneriakinya, dengan ciri-ciri memakai topi. Dirinya saat datang ke PN Jayapura karena ditugaskan oleh kantornya untuk meliput sidang perdana VY.

“Saya ingin melaporkan kasus ini sampai ke proses hukum, supaya ada efek jera bagi pelaku pelecehan verbal. Semoga polisi bisa mengusut tuntas hal ini,” kata Elfira.

Sementara itu,  salah satu kuasa hukum VY, Anum Siregar menyayangkan kejadian tersebut. Menurutnya, tindakan tersebut tentu saja itu tidak dibenarkan.

“Saya sudah teruskan ke teman-teman PH yang komunikasi langsung dengan VY terkait kejadian tersebut,” kata Anum.

Forum Jurnalis Papua Indonesia (FJPI) Provinsi Papua mengecam pelecehan verbal yang menimpa Elfira Halifa ini.

Ketua FJPI Papua, Cornelia Mudumi mengatakan apa yang dialami Elfira adalah pelecahan verbal harassment atau pelecehan seksual yaitu ucapan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk melecehkan perempuan dan pelecehan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan.

Untuk itu, pihaknya mendesak untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga mengutuk perbuatan yang melecehkan jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya.

“Pelaku diproses hukum untuk efek jera dan edukasi bagi semua pihak untuk menghormati jurnalis perempuan,” kata Cornelia dalam rilisnya yang disebar ke beberapa kalangan wartawan/jurnalis di Kota Jayapura.

Tindakan Kriminal

Koalisi Anti Kekerasan Seksual mengecam tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang diduga pendukung VY tersebut. Menurutnya, peleehan seksual secara verbal itu adalah salah satu bentuk tindakan kriminal.

Nourish, nara hubung koalisi melalui siaran pers yang diterima media ini menyatakan dukungannya terhadap Elfira untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

“Sebagaimana yang tersebar di berbagai media, korban yang dalam pernyataan ini kami sebut sebagai penyintas, karena sudah berani mengungkapkan kasus kekerasan yang dialami. Mengalami kekerasan verbal di pintu masuk ruang Pengadilan Negeri Jayapura,” kata Nourish.

Menyikapi hal ini, Koalisi Anti Kekerasan Seksual menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan berbasis gender dan secara khusus kekerasan seksual. Apa yang dialami oleh penyintas adalah bentuk kekerasan seksual dan tindakan ini tidak boleh dibiarkan terjadi.
  2. Mendukung sikap penyintas untuk menindaklanjuti masalah ini hingga penyintas merasa diperlakukan secara adil di hadapan hukum.
  3. Mendesak individu maupun kelompok yang tertuduh untuk melakukan pemeriksaan di internal dan memastikan kasus-kasus serupa tidak akan terjadi lagi di masa mendatang.
  4. Mendesak semua pihak untuk menggalakkan pendidikan anti kekerasan terhadap perempuan dan anti kekerasan seksual untuk mencegah maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan seksual di Papua.

“Kekerasan seksual merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender yang mayoritas korbannya perempuan, anak, dan kelompok non biner,” tandasnya.

Kekerasan berbasis gender merupakan segala bentuk tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada seorang individu atau lebih karena ia berjenis kelamin perempuan, masih berusia anak-anak, dan atau tidak sesuai dengan norma-norma heteronormativitas atau norma-norma sosial yang berlaku umum di lingkungan masyarakat.

Kekerasan terhadap perempuan, anak, dan kelompok non biner telah mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik,mental, seksual, ekonomi, dan sosial.

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik terhadap korban,” urainya.

Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Dasar hukum penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak ada dalam Instrumen hukum Internasional dan Nasional. Instrument internasional antara lain Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68; Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata, Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993 dan Deklarasi Wina Tahun 1993.

Sementara itu, instrument nasional Indonesia antara lain Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291; UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48; UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7); UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88 (Komnas Perempuan). JP03

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here