BINTUNI, jurnalpapua.id – Anak cucu Soleman Fimbay dan keluarga besar marga Manseren Nasen Fimbay, meminta Bupati Teluk Bintuni agar menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa tanah adat Saido/Taroi di Distrik Taroi Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Sengketa tanah adat ini melibatkan anak cucu Soleman Fimbay dan Keluarga Besar Marga Manseren Nasen Fimbay dengan Masyarakat Adat Distrik Taroi.
Permintaan marga besar Manseren Nasen Fimbay yang disampaikan melalui surat bernomor 10.A/MBMNF/KTB/1/2023 tertanggal 07 Januari ini, menyusul pencairan uang kompensasi tanah adat Saido/Taroi tahap kedua atas beroperasinya BP Berau yang mengeksploitasi gas di blok LNG Tangguh.
Surat tersebut ditandatangani Amir Fimbay (Tua Marga Fimbay), Ningsi Fimbay dan Sadia Fimbay (keduanya anak Soleman Fimbay), Moh. Jen Fimbay (cucu Soleman Fimbay), serta Abdul Haeder Fimbay dan Wirik Fimbay selaku Ketua dan Sekretaris Marga Besar Manseren.
Dalam surat yang ditembuskan ke Kapolres Teluk Bintuni, Komandan Kodim 1806, Kepala Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni, LMA 7 Suku Teluk Bintuni dan Kapolsek Babo ini disebutkan, uang kompensasi atas tanah adat Saido/Taroi telah dicairkan pada 6 Januari 2023.
“Kami mohon kepada Bapak Bupati melalui Kapolres Teluk Bintuni agar dapat mempertemukan kedua belah pihak guna menyelesaikan persoalan yang dimaksud,” begitu bunyi kutipan surat tersebut.
Mohamad Jen Fimbay, cucu Soleman Fimbay saat dikonfirmasi membenarkan adanya permintaan melalui surat itu. Kata Jen, pihaknya berharap kedua belah pihak dapat dipertemukan pada Selasa (10/1/2023) di aula Polres.
Ditambahkan Jen, surat bernomor 10.A/MBMNF/KTB/I/2023 ini untuk mempertegas surat sebelumnya bernomor 9.A//MBMNF-KTB/11/2022 tertanggal 7 November tentang Pernyataan Proses Penyelesaian Sengketa Hak Tanah Adat Taroi/Saido.
Pertemuan para pihak yang bersengketa dengan mediator Bupati atau Kapolres ini, ditegaskan Jen penting untuk dilakukan untuk mengakhiri polemik. Menyusul pencairan uang kompensasi dengan nilai total sekitar Rp 32 miliar, masing-masing pihak merasa memiliki hak atas tanah adat yang menjadi obyek sengketa.
Jauh sebelum adanya pencairan uang kompensasi, disebutkan Jen Fimbay, kedua belah pihak sudah pernah dipertemukan dan sepakat adanya hak masing-masing pihak. Namun pengakuan hak itu belakangan berubah, dengan menyebut bahwa keluarga Fimbay tidak ada hak atas tanah adat di Taroi.
“Kalau memang berdasarkan bukti-bukti yang ada kami dinyatakan tidak memiliki hak, kami akan terima. Tapi mari kita buktikan dulu dalam pertemuan yang dimediasi oleh pihak yang netral,” kata Jen, Minggu (8/1/2023).
Sebelumnya, pada 6 Januari 2023 Lembaga Masyarakat Adat Distrk Taroi berkirim surat kepada Lembaga Masyarakat Adat Suku Besar Sebyar. Pada surat yang ditandatangani Abdul Samad Bauw ini disampaikan, sehubungan dengan pencairan (kompensasi) tahap dua, masyarakat Distrik Taroi menyatakan sikap tidak diberikan siapapun.
“Apabila dikemudian hari ketika diproses pencairan dan pengantaran serta pembagian, maka Forum Sebyar Bersatu dan LMA Suku Sebyar tidak bertanggungjawab ketika ada persoalan di kemudian hari oleh kelompok yang sudah melakukan laporan ke pihak manapun,” begitu kutipan bunyi surat LMA Distrik Taroi.
Surat tersebut juga terdapat tandatangan Muhammad Bauw, Saban Nabi, Rajab Solawat, Kurais Urbun dan Salasa Kutanggas. Mereka adanya pada tetua adat dari masing-masing marga. JP01