BINTUNI, jurnalpapua.id – Musibah bencana alam seperti banjir yang melanda perkampungan di sejumlah distrik di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, menggerakkan kepedulian pemuda hukum adat di Kabupaten Teluk Bintuni yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Adat Tujuh Suku Bersatu (KMATSB), untuk mencarikan solusi jangka panjang.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah, melakukan perlindungan kawasan wilayah adat dari pelaksanaan pembangunan yang tidak berjalan dengan baik, melalui dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
“Kalau wilayah adat ini tidak diproteksi dari dokumen tata kelola ruang, maka pembangunan akan menghancurkan kawasan alam yang selama ini mencegah banjir. Untuk itu, perlu adanya proteksi wilayah adat melalui dokumen RTRW,” kata Ruben Frasa, Ketua Koalisi Masyarakat Adat Tujuh Suku Bersatu (KMATSB), Selasa (9/8/2022).
Perjuangan untuk mewujudkan integrasi wilayah adat kedalam dokumen RTRW yang saat ini sedang disusun Bappelitbangda Kabupaten Teluk Bintuni, KMATSB menggelar kegiatan diskusi terbatas (Focus Group Discussion/FGD) yang mengundang sejumlah nara sumber terkait.
Kegiatan yang dilaksanakan sekaligus dalam rangka memperingati Hari Adat International ini, mengambil tema ‘Percepatan Integrasi Wilayah Adat Dalam RTRW Sebagai Solusi Teluk Bintuni Bebas Banjir Di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat’.
Nara sumber yang dihadirkan dalam kegiatan di Sekretariat Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Tujuh Suku ini, adalah Benoni Tiri, Plt Kepala Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Teluk Bintuni, Farid Fimbay (Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappelitbangda), Ruben Frasa (Ketua KMATSB) serta Sandra Kawab (korban banjir Kampung Idoor).
Sebagai pemateri pertama, Sandra Kawab menyampaikan bahwa sejak tahun 2011 hingga 2022 masyarakat di Kampung Idoor Distrik Wamesa sudah menjadi langganan korban banjir saat musim hujan tiba.
Bahkan banjir pada Februari hingga Maret tahun 2022, dirasakan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ketinggian air banjir yang biasanya hanya selutut hingga sedada orang dewasa, pada banjir tahun ini ketinggian air mencapai 2 meter.
“Kitong amati dari tahun ke tahun banjir di kampung datang terus dan semakin tinggi. Bahkan tahun ini (2022) banjir lebih kencang lagi, sa sendiri menjadi korban karena rumah saya ikut tenggelam. Masyarakat sudah mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi banir ini melalui pembuatan talud, tapi hingga saat ini belum dijawab oleh pemerintah daerah,” tutur Sandra.
Atas musibah itu, disampaikan Sandra, direspon oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) Teluk Bintuni. Berbagai bahan makanan dikirim dalam waktu cepat, mulai mis instan, beras, minyak dan gula.
Namun kata Sandra, tindakan dari BPBD itu tidak menyelesaikan persoalan dalam jangka panjang. Pemberian bahan makanan hanya mengatasi masalah kebutuhan sehari-hari, dalam waktu yang sangat singkat.
“Terima kasih atas perhatian dari BPBD yang telah mengirim bahan makanan kepada kami. Tapi ini bukan solusi mengatasi banjir. Kami ingin bagaimana ada tindakan yang lebih nyata agar daerah kami tidak lagi banjir, masyarakat lebih merasa tenang dan aman saat turun hujan,” kata Sandra.
Plt Kepala BPBD Teluk Bintuni, Benoni Tiri menyampaikan, musibah banjir selama cuaca ekstrim beberapa waktu lalu, bukan hanya dialami masyarakat Kampung Idoor Distrik Wamesa. Banjir juga melanda di sejumlah kampung di Distrik Tembuni dan Yakora.
Benoni Tiri mengakui jika bantuan bahan makanan kepada korban banjir, hanya solusi sesaat dalam meringankan penderitaan korban banjir. Sebagai OPD teknik yang menangani bencana, pihaknya tengah menginventarisir titik-titik lokasi banjir sekaligus penyebabnya. Mitigasi ini dilakukan untuk menyusun program penanganan banjir secara jangka panjang.
“Dari hasil penelusuran yang kami lakukan, banjir ini terjadi karena adanya penebangan hutan oleh perusahaan di kepala air Tembuni. Temuan ini sudah kami sampaikan ke Pak Bupati, untuk mendapatkan petunjuk tindaklanjutnya. Tidak bisa kami secara terus menerus hanya sebagai pengirim mie instan di lokasi yang sama karena bencana yang sama pula,” ungkap Benoni Tiri.
Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappelitbangda Teluk Bintuni, Faridl Fimbay meminta masyarakat menyusun dokumen pemetaan wilayah adat, untuk dijadikan bahan acuan dalam penyusunan revisi RTRW yang saat ini sedang dilakukan.
“Kami terbuka untuk masyarakat yang akan memberikan masukan data kepada tim penyusun. Nanti kita bahas bersama, untuk memproteksi wilayah adat ini melalui dokumen RTRW. Kalau perlu kita petakan semua wilayah adat ini berdasarkan tujuh suku yang ada di Bintuni,” tukas Faridl.
Ketua KMATSB, Ruben Frasa dalam pemaparannya menyampaikan, dalam proses revisi ke depan diharapkan peta wilayah adat yang dimiliki oleh komunitas masyarakat hukum adat baik peta indikatif maupun peta partisipatif dapat diintegrasikan.
“KMATSB telah berhasil mengumpulkan peta peta wilayah adat seluas 146.116 hektare dengan total 19 komunitas masyarakat adat,” kata Ruben. JP01