Dulu Ngotot 20 Persen Demi SBY, Kini Demokrat Minta Presidential Threshold 0 Persen Demi AHY

0
219
Ilustrasi pemilu
Spread the love

JURNALPAPUA.ID– Jelang tahun politik 2024, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden kembali diperbincangkan. Ramai partai politik menganggap presidential threshold sebesar 20 persen terlalu tinggi.

Hal ini membuat partai-partai yang tidak mencapai 20 persen dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 tak bisa mengusung calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) sendiri.

Partai Demokrat menjadi salah satu partai politik (parpol) yang tak bisa mencalonkan presiden maupun calon wakil presiden jika presidential threshold masih 20 persen. Oleh karena itu, Demokrat berharap ambang batas pencalonan presiden itu diturunkan atau bahkan dihapuskan.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan beranggapan, rezim presiden Joko Widodo seharusnya mengambil inisiatif untuk menghapus presidential threshold.

“Saya membaca suasana ini keinginan bersama, termasuk raja-raja Nusantara, tokoh-tokoh, anak-anak muda, tidak bisa dihentikan ini,” kata Hinca kepada wartawan di Kompleks DPR RI, dikutip dari Kompas.com, Kamis (16/12/2021).

“Saya kira berdemokrasi dan pesta demokrasi di 2024 dengan pasangan yang lebih banyak menjadi kebutuhan, harapan, keinginan semua kita. Saya kira pemerintah yang sedang berkuasa harus mendengarkan itu,” jelas dia.

Hinca menuturkan, banyak kalangan yang memiliki aspirasi serupa untuk menurunkan presidential threshold menjadi 0 persen. Hal itu diklaim sudah diperjuangkan Demokrat sejak Pilpres 2019. Perlu diketahui, presidential threshold membuat hanya partai atau gabungan partai dengan perolehan 20 persen kursi di DPR RI yang dapat mencalonkan presiden.

Di sisi lain, Hinca berpandangan bahwa presidential threshold 20 persen sudah tak lagi relevan karena Pilpres dan Pileg digelar serentak 2024 mendatang.

Keinginan Demokrat itu nampaknya menjadi perbincangan publik. Sebab, publik menilai bahwa presidential threshold 20 persen justru ada ketika masa pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa.

Pada 2009, SBY disebut menjadi pengusung agar partai-partai politik koalisi mendukung dan menyetujui kenaikan ambang batas sebesar 20 persen dari awalnya 4 persen.

Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang Muhammad Rahmad. Dia mengatakan, pada 2014, SBY juga kembali menginginkan presidential threshold berada pada angka 20 persen.

“Perubahan presidential threshold dari 4 persen ke 20 persen ini terjadi pada 2009. Perubahan menjadi 20 persen itu adalah keinginan SBY yang saat itu ingin dipilih lagi menjadi presiden periode kedua,” ungkap Rahmad dalam keterangannya, Sabtu (18/12/2021).

Ia menuding, SBY menginstruksikan kepada Partai Demokrat untuk melobi partai-partai koalisi agar mendukung dan menyetujui keinginannya. Pada 2009, ucap Rahmad, Demokrat menguasai kursi di DPR RI sebesar 21,7 persen. Menurut dia, SBY ingin kembali maju menjadi presiden periode kedua. Dia menduga, SBY ingin menghambat calon-calon lain melalui presidential threshold 20 persen. Rencana itu disebut mendapat dukungan oleh partai koalisi yang menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR.

Sementara itu, tujuh tahun sebelumnya, advokat Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden 20 persen merupakan kerjaan SBY dan Jusuf Kalla saat berkuasa pada 2009.

Dikutip Tribunnews.com, Rabu (22/1/2014), Yusril yang saat itu menjadi pemohon uji materi Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden 20 persen adalah kepentingan politik penguasa saat UU itu diterbitkan.

“Tahun 2004 Undang Undang Pilpres menekankan hanya 10 persen untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sekiranya tahun 2004 itu 20 persen, maka tidak ada dalam sejarah Indonesia presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Yusril saat berdialog dengan hakim konstitusi di MK, dikutip Tribunnews.com.

Yusril mengatakan, saat itu Demokrat hanya mendapatkan 7,4 persen suara. Kemudian, Demokrat berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang yang mendapat perolehan 3,1 persen. Dua partai itu kemudian mengusung SBY berpasangan dengan JK menjadi calon presiden dan wakil presiden 2004-2009.

“Ketika mereka sudah berkuasa mereka lupa mereka yang naikkan threshold itu menjadi 20 persen. Itu terjadi ketika Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla jadi presiden. Ada kepentingan apa mereka menaikkan itu 10 persen menjadi 20 persen,” kata Yusril yang saat itu menjabat Ketua Dewan Syuro PBB.

Menyikapi hal ini, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat bahwa ada kepentingan politik sehingga Demokrat terlihat berubah sikap terkait presidential threshold.

Menurut Ujang, saat ini Demokrat jelas memperjuangkan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk maju dalam Pilpres sebagai calon presiden. Dengan demikian, wajar apabila Demokrat berharap ambang batas itu diturunkan atau dihapuskan agar tidak terjegal dalam pencalonan presiden.

Hal ini dikarenakan, Demokrat termasuk partai-partai yang tidak mendapatkan perolehan sebesar 20 persen pada Pemilu 2019 sehingga tidak bisa mencalonkan presiden sendiri dan harus berkoalisi.

“Dulu Demokrat dukung 20 persen, mungkin karena percaya diri dengan partainya dan percaya diri dengan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai figur capres yang bisa menang,” kata Ujang saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/12/2021).

“Namun, karena saat ini kepentingannya ingin mengusung AHY, maka nol persen itu menjadi kebutuhan Demokrat,” lanjut dia.

Ujang menambahkan, Demokrat juga terlihat sulit untuk membangun koalisi jika presidential threshold tetap 20 persen. Sementara, apabila ambang batas itu dihapuskan, maka Demokrat bebas bermanuver dan bisa mengajukan AHY sebagai capres.

“Seperti itu politik. Semua berdasar pada kepentingan,” imbuh Ujang. JP03

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here