SORONG, jurnalpapua.id – Luasan tutupan hutan tropis di wilayah Indonesia Timur yang terus menyusut, menjadi benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklam di Indonesia. Untuk menjaga paru-paru dunia ini, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak termasuk kalangan jurnalis.
“Sesuai dengan peran dan tugas jurnalis, wartawan bisa ikut menjaga hutan Papua ini melalui tulisan atau pemberitaan di media. Menjaga hutan itu tidak harus dengan memegang senjata api,” kata Rochimawati, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), saat membuka Journalist Workshop and Fellowship di Kota Sorong, Jumat 1/10/2021).
SIEJ adalah lembaga nirlaba beranggotakan para jurnalis yang memiliki konsen terhadap isu-isu lingkungan. Selama dua hari, SIEJ bersama Yayasan EcoNusa dan Ekuatorial menyelenggarakan workshop bertajuk Hutan Papua Kunci Mitigasi dan Perubahan Iklim bekerjasama dengan Yayasan EcoNusa dan Ekuatorial. Sebanyak 20 jurnalis di Sorong Raya dari berbagai platform media, mengikuti kegiatan ini.
Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa menyebut, hampir 40 persen tutupan hutan yang saat ini tersisa ada di wilayah Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Sebagai benteng terakhir pertahanan dalam menghadapi krisis iklim, Papua memiliki luasan hutan 24,8 juta hektare (28 %), dan Papua Barat seluas 8,8 juta hektare (10%), Maluku 2,9 juta hektare (3%) serta Maluku Utara 1,9 juat hektare (2 %).
Dari luasan tutupan hutan itu, pemerintah pusat telah memploting untuk pembukaan konsesi baik untuk perkebunan kelapa sawit, pengolahan kayu dan konsesi tambang. Jika penyelenggaraan konsesi itu tidak mematuhi aturan yang benar, dapat dipastikan tutupan hutan semakin tergerus.
“Karena status perkebunan itu tidak bisa menggantikan kondisi hutan, meskipun sama-sama tumbuh pohon di areal tersebut. Sangat berbeda. Jadi jangan dianggap krisis iklim tidak akan terjadi ketika tanaman hutan diganti dengan tanaman perkebunan,” urai Bustar Maitar, yang pernah bergabung di Greenpeace selama 11 tahun ini.
Apalagi dari fakta yang terungkap, tidak seluruh pemodal perkebunan sawit di Papua dan Maluku telah memenuhi komitmennya untuk menanam sawit, setelah mereka menghabiskan kayu di areal konsesinya. Dari 650 ribu hektare lahan yang telah diijinkan untuk konsesi perkebunan kelapa sawit, saat ini baru 70 ribu lahan yang tertanami kelapa sawit.
“Terus yang lainnya untuk apa? Ya itu tadi. Ada yang cuma incar kayunya, ada yang cuma pakai ijin konsesi untuk pinjam bank, tidak tahu uangnya dipake bangun di mana? Bahkan dari laporan KPK yang say abaca, dari lahan yang sudah berijin itu, pajak yang terbayar hanya 17 ribu. Jadi dari ijin 650 ribu hektare itu tidak ada konstribusi yang signifikan terhadap daerah,” tandas Bustar.
Dengan fakta-fakta itu, sebagai yayasan yang memiliki konsen terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, Bustar mengajak insan pers untuk bersama-sama menjaga hutan, melalui tulisan-tulisan yang mengkritisi berbagai kebijakan yang berpotensi merusak hutan.
“Karena menjaga dan menyelamatkan hutan di Tanah Papua dan Maluku, bukan hanya tanggungjawab masyarakat lokal pemilik ulayat, tapi tugas tapi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia, bahkan seluruh dunia,” pungkasnya. JP01