BINTUNI, jurnalpapua.id – Anggaran yang digelontorkan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat untuk Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas (P2TIM) dan dikelola manajemen Petrotekno, rata-rata per tahun sebesar Rp 90 miliar.
Roy Masyewi, pemuda tujuh suku Teluk Bintuni menilai, nominal sangat fantastis yang bisa untuk anggaran dua OPD ini, terserap habis untuk membiayai pelatihan yang hanya berlangsung tiga bulan.
Jika dalam satu tahun terdapat tiga angkatan pelatihan dengan jumlah siswa setiap angkatan 100 orang, maka hingga akhir tahun jumlah siswa yang lulus dari P2TIM Petrotekno sebanyak 300 orang.
Dengan alokasi anggaran sebesar Rp 90 miliar, maka satu orang lulusan P2TIM Petrotekno menghabiskan biaya sebesar Rp 300 juta. Angka ini berasal dari Rp 90 miliar dibagi 300 anak yang dilatih P2TIM Petrotekno dalam satu tahun. Mereka mendapatkan pelatihan secara gratis, dengan segala kebutuhan selama pelatihan, dicukupi.
Dari pendidikan non formal ini, legalitas yang diterima lulusan P2TIM Petrotekno adalah sertifikat ketrampilan, tanpa ijazah dan gelar akademik lazimnya mahasiswa yang telah di wisuda dari kampus pendidikan formal. Sertifikat ini berlaku selama 3 tahun sejak dikeluarkan.
Padahal kata Roy Masyewi, jika Rp 90 miliar anggaran P2TIM Petrotekno dialokasikan untuk bantuan pendidikan generasi penerus di Teluk Bintuni menempuh pendidikan formal di kampus, maka akan terdapat 400 orang lebih lulusan Sarjana Strata 1 (S-1) dengan gelar akademik yang proses pendidikan selama 4 tahun.
Estimasi biaya untuk membantu 400 anak-anak Bintuni menjadi sarjana, juga lebih murah. Angkanya tidak lebih dari Rp 90 miliar, meski dengan perhitungan mereka mendapat bantuan pendidikan 100 persen seperti ketika pelatihan di P2TIM Petrotekno.
Dengan asumsi bantuan biaya SPP per semester Rp 2.500.000 (Rp5.000.000/tahun) dan bantuan biaya peralatan kuliah, tempat tinggal, makan dan minum serta bantuan transportasi masing-masing sebesar Rp 12.000.000/tahun, maka dalam satu tahun total bantuan yang dikeluarkan untuk mahasiswa Bintuni ini sebesar Rp 53 juta.
Roy mengilustrasikan biaya kuliah ini, dengan mengutip biaya-biaya yang berlaku di Universitas Negeri Papua (UNIPA).
Dengan masa kuliah selama 4 tahun, maka total bantuan biaya hingga mahasiswa Bintuni lulus menjadi sarjana, sebesar Rp 212 juta/anak (Rp 53 juta x 4). Jika yang dibantu adalah 400 anak seperti jumlah siswa yang dilatih di P2TIM Petrotekno, maka total bantuan untuk mencetak anak Bintuni menjadi sarjana adalah Rp 84,8 miliar.
“Tapi biaya Rp 84,8 miliar itu kan tidak dikeluarkan sekaligus dalam satu tahun anggaran. Per tahun hanya butuh Rp 21,2 miliar. Jadi puluhan miliar uang APBD yang bisa dihemat dibanding anggaran pelatihan di Petrotekno,” urai Roy Masyewi, Rabu (14/12/2022).
Dengan memiliki ijazah S-1, lapangan pekerjaan untuk mereka pun juga lebih terbuka, sesuai dasar keilmuan yang mereka pelajari di kampus. Kebutuhan tenaga guru untuk mendidik anak-anak Bintuni, perawat bahkan tenaga dokter sekalipun, kata Roy, bisa dipenuhi dari program bantuan pendidikan sarjana ini.
“Intinya, tenaga apa yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk kemajuan daerah ini, itu bisa kita cetak sendiri. Kalau memang butuh guru 200 orang dan perawat 200 orang, yang tinggal membantu kuliah anak-anak Bintuni ini untuk di jurusan tenaga pengajar dan perawat sebanyak yang dibutuhkan,” tandas Roy. JP01