“Sa macam stress kah lihat kayu-kayu itu. Sedih sekali. Banyak yang su ditebang, ada yang masih utuh, ada yang su di iris-iris,” kata Eka Kambuaya Kalami.
JURNALPAPUA.ID – TOKOH perempuan di Kampung Klatomok, Distrik Klayili Kabupaten Sorong, Papua Barat ini baru berani menginjakkan kembali kakinya di tanah adat Dusun Gilulus, setelah sumpah adat di atas tanah itu satu tahun berlalu.
Pada Minggu, 14 November 2021, Eka Kambuaya Kalami seperti melepas kerinduan di tanah ulayat yang masuk wilayah administratif Kampung Klatomok ini. Ia datang bersama Silas Ongge Kalami, suaminya, yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi.
Perasaan sedih menyeruak saat Eka menyaksikan batang-batang pohon kayu Merbau tumbang, tergeletak begitu saja di antara semak-semak. Ada yang masih berwujud gelondongan, ada pula yang sudah di gergaji menjadi potongan balok. Eka menyebut proses pengolahan ini dengan istilah di iris-iris.
Kayu-kayu itu adalah sisa peninggalan Edison Salamala, warga Kampung Asbaken Distrik Klayili. Jarak dari Kampung Klatomok ke Asbaken, sekitar 2,5 kilometer. Di Gilulus, Edison mengolah kayu bersama keluarga besarnya, seperti Maklon Salamala, Nahum Salamala dan Samuel Salamala.
Perhitungan kasar Silas O. Kalami, tidak kurang dari 15 hektare luas di area hutan adat Klatomok yang sudah rusak akibat pembalakan. Angka yang dicatat Yayasan Auriga Nusantara, sebuah CSO Lingkungan, lebih besar lagi. Total luas deforestasi di Klatomok hingga tahun 2020, mencapai 24 hektare, yang meliputi 19 hektare terjadi di tahun 2016, dan ada penambahan 5 hektare di tahun 2017.
Yustinus, staf Direktorat Informasi dan Data Yayasan Auriga menyebut, data deforestasi di Klatomok ini didapatkan melalui kombinasi dataset Global Forest Change dari Global Land Analisys and Discovery (GLAD) University of Maryland, dan peta penutupan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Deforestasi tahunan dilakukan berdasar year of gross forest cover loss event (tree cover loss) 2000-2019 dalam tutupan hutan alam KLHK tahun 2000.
“Artinya, deforestasi pada tabel ini hanya mencakup tree cover loss pada tutupan hutan alam KLHK 2000, tapi tidak semua tree cover loss pada GLAD,” kata Yustinus, Selasa 16 November 2021.
Dari hasil tabulasi data yang diterima Jurnalpapua.id, total luas deforestasi di Distrik Klayili hingga tahun 2020 mencapai 12,30 hektare, yang terletak di Kampung Klasowoh 18 hektare dari total luas Tutupan Hutan dan Bukan Tutupan Hutan 3.534,54 hektare. Klatomok (24 hektare/3.113,95), Klawuluh (1,98 hektara/3.159,68), Kwakeik (1,26 hektare/2.767,51), Malakobutu (31 hektare / 3.010,20), Malalilis (7,53 hektare / 3.904,44) dan di Kampung Mlawer mencapai 0,81 hektare / 3.159,89 hektare.
Kampung Klatomok Distrik Klayili, dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 53 Tahun 2013, tentang Pembentukan 112 Kampung dalam Wilayah Pemerintah Kabupaten Sorong. Obed Kalami diangkat sebagai Kepala Kampung melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor 141/KEP.370-ADPEM/XII/TAHUN 2015 tertanggal 11 Desember 2015, tentang Penunjukkan/Pengangkatan Kepala Kampung pada 11 Distrik dalam Wilayah Kabupaten Sorong.
Kampung Klatomok yang berbatasan dengan Kampung Asbaken, Distrik Makbon ini, dihuni oleh keluarga besar marga (gelek) Kalami Malasili, seperti gelek Gifelem, Magablo, Ulala, Mambrasar dan Kalasibin. Tetapi menurut Silas Ongge Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi Sorong, pemegang Eges Pemun (hak milik) tanah adat itu adalah Gelek Kalami Malasili.
Edison Salamala, generasi dari marga Salamala Kalabili bukanlah pemilik hak ulayat di Dusun Gilulus, Kampung Klatomok. Berdasarkan keputusan sidang Peradilan Adat oleh Dewan Adat Suku Moi di Aimas, Kabupaten Sorong pada 5 November 2020, Dusun Gilulus dan sekitarnya yang ada di Jl. Sorong – Tambrauw, adalah hak milik Gelek Kalami Malasili, secara turun temurun dengan status Eges Bebemun.
Keputusan bernomor 10/DAS-MOI/AMS/KAB.SRG/XI/2020 ini ditandatangani tujuh Nedinbulu (hakim) Sidang Adat dari sembilan orang Neninbulu; Tukang Matius Osok, Masanwom Yohanis Bisi, Untelem Yesaya Bisi, Unlas David Filis, Tilimai Berthus Osok, Sipai Esau Kalawen dan Matius Yempolo. Hanya satu Nedinbulu, Tiliwi David Ulimpa yang tidak membubuhkan tandatangan.
Sebelumnya, dalam Sidang Peradilan Adat yang digelar di Distrik Makbon pada Sabtu, 9 Maret 2013, Gelek Salamala Kalabili menyatakan bahwa hutan adat di Gilulus adalah miliknya, hasil pemberian dari Gelek Gahlala. Selain di Gilulus, yang diklaim sebagai hak adat Salamala Kalabili adalah Gunung Malaeges Em dan Kali Kalami.
Perjalanan Gelek Kalami Malasili untuk menjaga dan meraih kembali hak ulayatnya itu, cukup panjang dan menumpahkan darah. Gesekan fisik dampak sengketa lahan oleh kedua marga ini beberapa kali pecah.
Silas Ongge Kalami pernah memenjarakan Edison Salama satu tahun tiga bulan, akibat pembalakan hutan itu. Selain vonis penjara, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong yang diketuai Hanifzar, mengganjar Edison denda uang Rp 500 juta, yang apabila tidak dibayar, diganti kurungan badan selama 3 bulan.
Edison dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai dan memiliki hasil penebangan kayu di kawasan hutan tanpa izin. Perbuatan ini melanggar Pasal 83 Ayat (1) juncto Undang Undang RI nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kutipan amar putusan bernomor 110.Pid.Sus/2017/PN Son yang dibacakan pada Senin, 4 September 2017 ini, juga menetapkan 146 batang kayu Merbau dengan berbagai ukuran, dirampas untuk Negara.
“Kami tidak mau hutan adat yang diwariskan para orangtua kami, dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Secara turun temurun kami menjaganya, tapi ada orang lain yang tiba-tiba mengaku sebagai pemilik ulayat, dan merusaknya,” kata Silas, ditemui di Sekretariat LMA Malamoi dan di rumahnya, Selasa, 16 November 2021.
Proses hukum ini berawal dari Laporan Polisi yang disampaikan Silas ke Polres Sorong pada 8 Maret 2017. Silas melaporkan Edison, karena membabat hutan di wilayah hak ulayat marga Kalami, tanpa hak dan tidak dilengkapi ijin.
Perbuatan Edison ini diketahui Silas sejak Senin, 14 September 2015, ketika masih dalam proses pembangunan base camp. Silas diberitahu oleh Kori Kalami dan Sem Paa, saudara iparnya. Esoknya, Silas menyuruh Yosepus Kalami, Petrus Kalami, Yordan Kalami dan Anton Kalami, untuk mengecek kebenaran informasi itu.
Di lokasi yang disebutkan, Yosepus mendapati Edison bersaudara sedang menebang kayu, dan menegurnya agar aktivitas itu dihentikan. Merasa tak digubris, pada 28 September 2015 Silas melaporkan penebangan kayu itu ke Polres Sorong dan Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong.
Sehari kemudian, tim dari Dinas Kehutanan turun ke lokasi, menanyakan surat ijin penebangan kayu itu dan meminta Edison menghentikan aktivitasnya. Perintah ini ternyata juga tak digubris, sehingga pada 1 Oktober 2015, anggota Polsek Makbon yang turun dan mem-police line kayu yang sudah diolah.
Saat itu, polisi juga menyita 3 unit chain saw dari Edison Cs. Namun tindakan hukum dari polisi ini ternyata hanya bertahan menghentikan kegiatan Edison selama 1 tahun. Edison kembali beraksi membabat hutan, dan menjual kayu olahan yang sebelumnya di police line.
Atas tindakan itu, pada 6 Maret 2017 Silas kembali melapor kembali ke Polres, dan resmi membuat Laporan Polisi (LP) pada 8 Maret 2017. Polisi menangkap dan memproses Edison secara hukum.
Tetapi tinggal di hotel prodeo selama 1,5 tahun, tidak membuat Edison jera. Beberapa hari setelah menghirup udara bebas, pada 12 Agustus 2018 Edison kembali mengancam Obeth Kalami, Kepala Kampung Klatomok dengan sebilah parang dan cangkul.
Padahal, ketika Edison masih meringkuk di bui menjalani hukuman, keluarga besar Salamala Kalabili sudah membuat surat pernyataan kepada keluarga besar Marga Kalami Malasili. Isinya, keluarga Salamala Kalabili tidak akan mengganggu tanah adat dan keluarga Kalami Malasili yang ada di kampung Klatomok.
Pernyataan yang disaksikan Kepala Kampung Asbaken dan Kepala Kampung Klatomok ini, juga terkait dengan pengeroyokan yang dilakukan keluarga Salamala terhadap Yulianus Ulala, pada 31 Desember 2017 di Kampung Asbaken.
Selain mengancam Obeth Kalami, sepulang dari penjara, Edison Salamala kembali mengolah kayu di Gilulus. Aktivitas itu dipergoki keluarga Kalami. Bahkan, saat di base camp operator yang ada di dalam hutan, juga didapati Frengky Baransano, oknum bintara anggota Polsek Sorong Kepulauan, Polres Sorong Kota, Polda Papua Barat.
Atas temuan ini, pada 22 November 2018 Silas Ongge Kalami kembali melapor ke Polres Sorong. Selain mengadukan Edison bersaudara, Silas juga menyeret nama Frengky Baransano, yang diduga terlibat dalam illegal loging itu.
Satu minggu sejak Silas mengadu ke Polres Sorong, seluruh operator yang ada di lokasi itu ditarik keluar. Tidak ada lagi aktivitas penebangan kayu. Frengky Baransano melaporkan balik Silas ke Polres Sorong Kota, dengan pasal pencemaran nama baik.
“Saya tidak ada sangkut paut dengan mereka (Edison Cs). Hubungan saya sebatas mobil saya dipakai untuk keperluan turun ke kota atau naik ke lokasi,” kata Frengky, mengklarifikasi tuduhan Silas.
Mobil Toyota Hilux double cabin miliknya, sering dicarter keluarga Edison yang dia kenal sejak 2018, dengan tarif Rp 1 juta sekali jalan. Karena mobil itu dia bawa sendiri, makanya dia sering terlihat berada di lokasi pengolahan kayu yang dilakukan Edison.
Meski tahu Edison mengolah kayu, sebagai aparat penegak hukum, Frengky tidak pernah menanyakan apakah aktivitas yang mereka lakukan itu berijin, atau illegal.
“Saya tidak ada sampai kesitu, menanyakan apakah ada surat-surat resminya. Karena posisi saya sebatas pemilik kendaraan yang mereka gunakan. Jadi sama sekali tidak ada hubungan kerja terkait kayu, Makanya ketika saya dilaporkan ke polisi, saya diarahkan Kasi Propam untuk melaporkan balik,” urai Frengky.
Aksi nekat Edison bersaudara membabat kayu di hutan Gilulus, diduga untuk memenuhi kontrak jual beli kayu yang sudah dijalin dengan Suhaelly Herwanto, bos kayu asal Depok, Jawa Barat.
Dalam transaksinya, Suhaelly membeli kayu dari Edison sebanyak 50 m3 seharga Rp 5 juta/m3. Secara bertahap, Edison sudah menerima uang pembayaran kayu itu. Pertama senilai Rp 30 juta, dibayarkan di sebuah warung makan di Aimas, Kabupaten Sorong.
Terakhir, Edison terlihat menerima uang pelunasan sebesar Rp 10 juta, pada 10 Oktober 2018, sesuai tanggal yang tertulis di kwitansi pembayaran. Pelunasan ini terekam di base camp pengolahan kayu, yang juga disaksikan oleh Aipda Frengky Baransano, seorang Babhinkamtibmas Kampung Soop, Distrik Sorong Kepulauan, Kota Sorong.
Dari kontrak volume kayu itu, Suhaelly baru menerima 20 m3. Sisanya, dia mempercayakan kepada Alfred Tenmury, warga Aimas, Kabupaten Sorong, untuk mengurus.
Melalui surat kuasa yang ditanda tangani Suhaelly di atas materai Rp 6000 pada 5 Februari 2020, Alfred berkuasa menyeret Edison ke jalur hukum, jika sisa kayu yang telah dibeli, tidak dipenuhi. Pasalnya, dari total volume transaksi senilai Rp 250 juta, menurut Suhaelly, telah terbayar lunas.
Misi yang emban Alfred adalah menyelesaikan kontrak pembelian kayu pengusaha yang tinggal di Perumahan Lembah Hijau Blok C21 No 02, RT 003 RW 013 Mekarsari, Cimanggis, Depok, Jawa Barat dengan Edison Salamala, warga RT 1 RW 1 Kampung Asbaken Distrik Makbon Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Alfred Tenmury mengaku sangat kecewa dan menyesalkan transaksi dengan Edison ini. Dia menyalahkan bosnya, yang gegabah menyerahkan duitnya ke Edison untuk membeli kayu, tanpa melakukan uji rekam jejak Edison. Kata Alfred, setiap orang bisa saja mengaku memiliki lahan dan kayu yang bisa diolah.
“Tapi apakah itu bisa dibuktikan dengan dokumen kepemilikan yang sah dari negara ,” kata Alfred, dalam perbincangan dengan media ini, Selasa 19 Oktober 2021.
Apalagi, kata Alfred, sebelum menjalin kongsi bisnis dengan juragannya, Edison baru saja meringkuk di bui karena divonis bersalah melakukan pembalakan liar. Dengan fakta persidangan ini, seharusnya Suhaelly tanggap, bahwa kayu yang diolah Edison adalah illegal.
“Tapi barang sudah terjadi Bang, mau bagaimana lagi. Saya rencana akan membuat Laporan Polisi, agar masalah ini diselesaikan secara hukum. Tidak ada opsi lain,” tandas Alfred.
Sejatinya, dalam membabat kayu, Edison Salamala sudah mengantongi surat Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK-ALAM) pada hutan produksi yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua Barat, bernomor 570/1199/PSTP-I/x/2018.
Pada beleid yang ditandatangani Bungaran Sitanggang pada 12 Oktober 2018, mengizinkan Edison mengolah kayu di areal seluas 5 hektare pada kawasan Hutan Produksi Konservasi (HPK), yang ada di arah 3,25 kilometer Barat Daya Kampung Malagubtuk. Jarak lokasi antara Kampung Malagubtuk dengan Klatomok, sekira 2,5 kilometer.
Volume dan jenis kayu yang diperbolehkan diolah, sebanyak 50 meter kubik dengan rincian 20 meter kubik jenis Merbau, 25 meter kubik kayu Meranti dan 5 meter kubik Kayu Indah.
Dalam permohonannya ke DPMPTSP tertanggal 28 Agustus 2018, Edison merinci volume dan jenis kayu yang akan diolah adalah Merbau sebanyak 20 meter kubik, Meranti 10 meter kubik dan kayu rimba campuran sebanyak 20 meter kubik. Yang tertulis pada permohonan IPHHK ini, lokasi pengolahan kayu yang disebut Edison berada di Kampung Malagubtuk, seluas 3 hektare. Durasi masa berlaku IPHHK yang diajukan, selama 1 tahun terhitung sejak dikeluarkan oleh DPMPTSP.
“Izin ini diberikan untuk memfasilitasi kebutuhan kayu masyarakat umum pada pembangunan daerah di Kabupaten Sorong,” begitu bunyi kutipan surat DPMPTSP.
Kewajiban Edison juga dibeberkan dalam surat itu, diantaranya; Membayar iuran kehutanan (Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH), dan kompensasi kepada pemilik hak ulayat berdasarkan jenis dan jumlah kubikasi yang dipungut.
Larangannya; Edison tidak boleh memasukkan kayu olahan hasil produksi IPHHK sebagai bahan baku industri pengolahan kayu; memindahtangankan izin kepada pihak lain; serta memungut hasil hutan melebihi target izin yang diberikan.
Selain itu, Edison juga dilarang menebang kayu di dalam kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi, dan memperdagangkan kayu produksi IPHHK di luar keperluan sesuai izin yang diberikan.
IPHHK-ALAM yang dikantongi Edison ini, dikeluarkan DPMPTSP Papua Barat berdasarkan Rekomendasi bernomor 522/217/VIII/CDK-IX/2018, yang dikeluarkan Cabang Dinas Kehutanan Wilayah IX Sorong tertanggal 29 Agustus 2018.
Rekomendasi terbit sebagai dokumen yang harus dilampirkan Edison dalam permohonan IPHHK-ALAM, bersamaan dengan rekomendasi dari Petrus Malak, Kepala Kampung Malagubtuk dan Surat Pelepasan Hak Ulayat Hasil Hutan.
Dari data yang ada di Cabang Dinas Kehutanan Wilayah IX Sorong, areal yang di ijinkan ditebang oleh Edison menjadi bagian dari 309.741,17 hektare area Hutan Produksi Konversi (HPK) yang ada di Kabupaten Sorong. HPK memiliki porsi sebesar 38,4 persen dari total hutan yang ada di Kabupaten Sorong, seluas 807,131.99 hektare.
Yang menjadi problem, dalam memenuhi pesanan kayu dari Suhaely, Edison diduga menebang Merbau di luar area yang tertera dalam ijin. Edison merambah kawasan hutan ulayat milik Gelek Kalami Malasili di Dusun Gilulus, Kampung Klatomok. Tindakan ini yang berakibat Edison Salamala di bui.
Awal tahun 2020, keluarga Edison Salamala kembali berselisih dengan keluarga besar Kalami Malasili di Kampung Klatomok, Distrik Klayili, Kabupaten Sorong.
Edison Salamala melaporkan Hengki Gifelem, Yosepus Kalami, Yeheskel Kalami, Yusak Kostantinus Magablo, Yulianus Ulala, Melkianus Ulala, Daud Kalami, Yordan Kalami, Niko Kalami, Anthon Kalami, Eliaser Mambrasar dan Hendrik E.Kalasibin ke Polres Sorong.
Perkaranya, pada 28 Maret 2020, Edison dan saudaranya, Maklon Salamala dikeroyok Hengki Gifelem Cs. Laporan Polisi (LP) Edison dibuat pada 30 Maret 2020, bernomor LP/K/107/IV/2020/SPKT-II.
Atas perkara ini, Hengki Cs memenuhi panggilan penyidik Satreskrim Polres Sorong pada Selasa, 2 Juni 2020. Hengki Gifelem berdalih, adu fisik itu terjadi karena Edison Salamala sudah tidak mempan diperingatkan secara lisan, agar tidak menebang kayu Merbau di wilayah adat Klatomok.
Edison menolak tuduhan itu. Ia menyatakan mengolah kayu di lahan ulayatnya sendiri, dan itu sudah dilakukan bertahun-tahun.
Keributan di tengah hutan ini berawal saat warga Klatomok mendatangi base camp penebangan kayu di Kampung Gilulus, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Kampung Klatomok. Para orangtua, pemuda dan ibu-ibu yang membawa serta anaknya, bertemu Edison, Maklon, Nahum dan Samuel Salamala di lokasi.
Rombongan warga Klatomok ini melarang Edison bersaudara mengolah kayu di lahan adat yang bukan menjadi hak ulayatnya.
“Tapi kedatangan kami yang ingin bicara baik-baik, disambut dengan parang oleh keluarga Edison. Perut saudara kami, Anthon Kalami ditebas parang oleh Maklon. Beruntung masih bisa menghindar, dan hanya kena kausnya,” kata Hengki.
Mendapat serangan tiba-tiba, warga Klatomok yang sudah tersulut emosi, dengan sigap menyerang balik ke arah Edison bersaudara. Keributan pun pecah. Karena warga Klatomok menang jumlah, Edison tersungkur dan babak belur.
Empat unit gergaji mesin (chain saw) yang diduga digunakan untuk menebang kayu merbau di lahan ulayat warga Klatomok, berhasil direbut dan diserahkan warga ke Polsek Makbon sebagai Barang Bukti. Iptu Riklof Tutupary, Kapolsek Makbon saat itu, menerima penyerahan barang bukti ini pada 29 Maret 2020.
Maklon Salamala, Nahum dan Samuel Salamala melarikan diri masuk hutan. Dalam laporannya ke polisi, Edison mengaku mengalami luka sobek di kepala bagian belakang dan pelipis, akibat hantaman benda tumpul.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi Sorong, Silas Ongge Kalami menyebut, keluarga Salamala Kalabili bukanlah pemilik asli hak ulayat di wilayah di Dusun Gilulus Kampung Klatomok. Wilayah ini menjadi kawasan ulayat Marga Kalami Malasili secara turun temurun.
“Angka pasti luasnya berapa, kami belum mengukur. Tapi kami tahu batas-batas wilayah tanah adat kami,” kata Silas.
Batas wilayah adat milik Kalami Malasili itu juga diakui oleh marga Gelek Salamala Warsatun, Gelek Paa Kami, Gelek Kalami Tiloke, Gelek Kalami Malagufuk serta Gelek Kalami Kiningpilik. Kelima marga ini memiliki tanah adat yang berbatasan langsung dengan tanah adat Marga Kalami Malasili di Gilulus.
Dalam dokumen pernyataan pengakuan hak adat yang ditandatangani pada 10 April 2013, batas wilayah tanah adat marga Kalami Malasili di Gilulus adalah; sebelah Timur berbatasan dengan tanah adat Gelek Salamala Warsatun, sebelah Utara berbatasan dengan tanah adat Gelek Paa Kami dan Gelek Kalami Tiloke, di sisi Selatan berbatasan dengan tanah adat Gelek Kalami Malagutuk, serta di sebelah Barat berbatasan dengan tanah adat Gelek Kalami Kiningpilik.
Diantara nama yang tertulis dalam pengakuan tanah adat itu, ada Yunus Salamala dan Matius Salamala (perwakilan gelek Salamala Warsatun), Sem Pa dan Wenan Pa (gelek Pa Kami), Niklas Kalami dan Maikel Kalami (gelek Kalami Tiloke), Yorven Kalami dan Amos Kalami (gelek Kalami Malagufuk) serta Evert Kalami dan Metusala Kalami yang mewakili gelek Kalami Kiningpilik.
Keluarga Salamala Kalabili bisa menempati tanah adat itu, karena peristiwa perang hongi (perang adat) di masa lampau. Leluhur Edison Salamala yang masuk trah Salamala Kalabili, kata Silas, memiliki tanah adat di Kampung Klabili, Distrik Selemkai, Kabupaten Tambrauw, jauh dari Klatomok.
Namun Silas tidak mengetahui persis berapa luas tanah adat Salamala Kalabili itu. Yang menjadi fokus selama kepemimpinannya, adalah mengupayakan pemetaan dan identifikasi tanah adat masing-masing marga, khususnya dari Suku Malamoi.
“Identifikasi hutan adat masing-masing marga ini penting, tapi sampai sekarang kami belum memiliki angka-angka luasan itu,” kata Silas.
Peristiwa hongi yang sudah berlalu empat generasi itu, berawal dari pelanggaran adat oleh leluhur Gelek Salamala Kalabili. Seorang laki-laki marga Salamala Kalabili yang menikah dengan perempuan gelek Salamala Lagampefek, suatu ketika melakukan hubungan intim di Kofok Kalabili, tempat yang dikeramatkan.
Perbuatan itu baru terungkap ketika pasangan suami istri ini bertengkar. Sang istri pulang ke rumah orangtua, lalu bercerita kalau dirinya pernah berhubungan badan di Kofok Kalabili. Bagi suku Moi, hubungan seks di tempat keramat adalah larangan, sangat bertentangan dengan hukum adat.
Keluarga Salamala Lagampefek marah. Hongi dengan keluarga Salamala Kalabili tak terhindarkan. Banyak warga Salamala Kalabili yang tewas. Saat hongi berlangsung, ada warga Salamala Kalabili yang berhasil dilarikan oleh marga Kalami Kiningpilik dari peperangan. Gelek Salamala Lagampefek mengejar mereka hingga masuk wilayah Asbaken, Kabupaten Sorong.
Untuk menyelamatkan pelarian Salamala Kalabili, keluarga Kalami Malasili memberikan perlindungan. Setelah hongi reda, gelek Kalami Malasili menyuruh mereka tinggal di gunung Malaeges Em, yang masuk wilayah tanah adat Kalami Malasili.
Gelek Kalami juga sempat menjadi mediator perdamaian Salamala Kalabili dengan Lagampefek, agar Kalabili bisa kembali ke tanah leluhurnya. Namun upaya itu gagal, dan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Penyelamatan oleh gelek Kalami Kiningpilik ketika terjadi hongi, berbuah penyerahan atribut sakral milik Salamala Kalabili ke Kalami Kiningpilik. Sebagai penolong dan pemberi perlindungan, Gelek Kalami Malasili mengangkat pelarian perang hongi Salamala Kalabili ini menjadi Daman (pesuruh).
“Gelek Salamala Kalabili itu hanya menerima hak eges woti atau hak perlindungan. Kami tidak pernah memberikan tanah adat yang status hak eges pumun atau hak milik, kepada pihak manapun,” kata Silas Ongge.
Dampak dari pembalakan hutan itu, melalui sidang peradilan adat pada 29 Agustus 2020, marga Kalami Malasili mencabut hak perlindungan (woti) yang pernah diberikan kepada marga Salamala Kalabili. Terdapat lima poin alasan yang menjadi dasarnya;
Pertama; Ancaman kehilangan hak atas sebagian besar tanah adat Kalami Malasili di kawasan dusun Gilulus dan sekitarnya, akibat klaim hak oleh Edison Salamala dan Gelek Salamala Kalabili. Klaim tersebut mulai muncul sejak sidang adat di Makbon pada Sabtu, 2 Maret 2013, serta keterangan kesaksian Edison Salamala, Maklon Salamala dan istri Edison Salamala di Polres dan Pengadilan Negeri Sorong.
Kedua: Kerugian akibat penebangan dan pengolahan kayu oleh Edison Salamala Cs, diatas tanah adat Kalami Malasili sejak tahun 2015.
Ketiga: Terjadinya kerusakan hutan alam sekitar 15 hektare di Dusun Gilulus dan sekitarnya.
Keempat: Sejak tahun 2013 hingga tahun 2020, sering terjadi konflik fisik / perkelahian antara keluarga Kalami Malasili dengan Edison Salamala di Gilulus.
Kelima: Akibat dari aktivitas Edison Cs di Dusun Gilulus, maka masyarakat adat Kalami Malasili secara langsung maupun tidak langsung, tidak lagi dapat menokok sagu di Dusun Gilulus.
“Berdasarkan alasan itu, dengan ini kami mencabut perlindungan dan menolak keberadaan Gelek Salamala Kalabili atau Edison Cs diatas tanah adat kami,” kata Findoi Yosepus Kalami, Ketua Gelek Kalami Malasili dalam suratnya.
Marga ini juga menuntut Edison Cs membayar seluruh kerugian atas pembalakan yang ia lakukan di Gilulus. Jika tidak, marga Kalami akan memproses hukum lewat jalur pidana maupun perdata.
Keluarga besar Edison Salamala kini sudah berpindah ke Kampung Asbaken. Dalam sumpah adat yang diucapkan Yosepus di Gilulus, keluarga Edison tidak boleh lagi memungut apapun hasil hutan yang ada di Gilulus.
“Bahkan mendengar suara burung yang ada di Gilulus, dia tidak boleh. Kalau itu dilanggar, dia akan termakan sumpah adat. Bambu tui yang kami tancapkan di tanah adat Gililus, akan menikam dia,” tukas Silas Ongge Kalami.
Selama tiga kali digelar sidang adat, Edison Salamala selalu diundang oleh Dewan Adat Suku Moi di Aimas. Tapi hingga sidang ketiga yang berlangsung di tanah adat Gilulus, Edison tidak tampak.
Isack Yable, Orang Asli Papua (OAP) yang duduk di lembaga DPRD Kabupaten Sorong menilai, gesekan masyarakat adat seperti ini, sejatinya tidak akan terjadi jika pemerintah daerah mampu memberdayakan masyarakat adat dan melibatkan mereka dalam menjaga hak ulayat.
Memang sudah ada regulasi berupa Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2017, tentang Perlindungan dan Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Moi yang disahkan melalui sidang Paripurna DPRD.
Namun kata Isack, urusan perut masyarakat adat, tidak cukup hanya dengan menerbitkan beleid. Harus ada tindakan riil berupa pendampingan masyarakat, agar mereka mengelola hutan sebagai sumber kehidupan secara arif.
“Kalau perut su lapar, sering membuat orang berpikir jalan pintas. Tapi kesadaran untuk menyiapkan masa depan anak cucu ini yang juga harus dipikirkan. Tidak harus menebang kayu untuk bisa mendapatkan uang. Ada yang namanya Hasil Hutan Bukan Kayu yang juga bisa dikelola,” tukasnya.
Pernyataan ini juga diamini Endra Gunawan, mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat. Menebang kayu hutan, bukan satu-satunya jalan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat. Ada banyak hasil hutan bukan kayu yang juga bisa menjadi sumber penghidupan.
Kalaupun terpaksa harus menebang kayu, harus ada pola yang ketat agar hutan Papua yang menjadi benteng terakhir menghadapi krisis iklim ini, tetap lestari. Misalnya dengan menerapkan pola tebang pilih, atau tebang tanam.
“Selain memilih pohon tertentu, masyarakat adat juga harus menanam pohon yang baru ketika menebang. Kesadaran masyarakat adat agar menjaga hutan ini tetap lestari, memang butuh waktu untuk secara terus menerus di kampanyekan,” kata Endra Gunawan.
Perkumpulan Pemuda Generasi Muda (PGM) Malaumkarta yang dipimpin Tori Kalami, memiliki strategi yang dianggap jitu dalam melestarikan hutan adat Papua, menepis iming-iming duit cukong kayu.
Secara teknis, ada tiga hal penting yang saat ini tengah ia jalankan; Mengidentifikasi dan mengorganisir kembali kelompok Tua Adat, Mengorganisir kembali kelompok muda sebagai implementator pengetahuan, dan ketiga, Menemukan metode baru, menginisiasi gerakan di Masyarakat Adat, untuk meminimalisir konflik lahan.
Jika pemetaan wilayah adat berdasarkan marga tuntas, selanjutnya adalah mengidentifikasi potensi alam yang bisa dikembangkan dan dikelola. Jika memang terdapat lahan kosong bekas konsesi di dalamnya, ini adalah tugas generasi muda untuk membangun unit usaha masyarakat adat.
“Berawal dari kesadaran yang sama dalam menjaga hutan, semua tahapan dijalankan secara simultan, dan ini juga perlu dukungan dari pemerintah dalam bentuk regulasi,” kata Tori Kalami.
Pemahaman tentang pola itu gencar di kampanyekan Papua Forest Wacth, lembaga nirlaba di Sorong yang memiliki konsen terhadap penyelamatan hutan adat. Charles Tawaru, direktur PFW mengaku, dalam setiap kesempatan bertemu dengan tokoh dan masyarakat adat, dirinya selalu menyelipkan pesan pentingnya mengelola hutan secara bijak.
“Memang mengubah mindset masyarakat adat itu tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Selama kita secara terus menerus menyampaikan pesan positif ini, kesadaran mereka untuk menolak kedatangan cukong kayu juga terbangun,” kata Charles. ** (tantowi djauhari)
—————
Artikel ini ditulis dalam rangka program fellowship jurnalistik tentang Hutan Papua Kunci Mitigasi Krisis Iklim yang diselenggarakan SIEJ – Yayasan EcoNusa dan Ekuatorial.