Semaraknya Perayaan 40 Tahun Pemerintahan Ratu Wilhemina di Babo, Kota Modern di Belantara Papua

0
435
Semarak aneka hiburan saat perayaan 40 tahun Pemerintahan Wilhelmina di Babo. Foto: Kolaso dok. Rakeeman
Spread the love

“Lomba panjat pinang, kuda lumping hingga barongsai menyemarakkan 40 tahun masa Pemerintahan Ratu Belanda di Babo Nederlandsch Nieuw Guinea   Lampu penerangan dipasang di pintu gerbang pasar malam. Dua buah bendera Belanda berkibar di kedua sisi gapura. Sebuah tulisan terlihat di atas gapura: 1898-1938. Kawat duri mengelilingi lokasi pasar malam itu. Di dalam, tampak aneka ras manusia berjejal memenuhi lapangan: ada Eropa, Papua, Jawa, Ambon, Makassar dan China.”

Catatan Perjalanan Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan** (Bag. 1)

USIA pemerintahan Ratu Wilhelmina saat itu genap 40 tahun pada 1938. Ratu Wilhelmina yang bernama asli Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau dilahirkan pada 31 Agustus 1880 alias berusia sepuluh tahun saat diangkat sebagai Ratu Belanda menggantikan Raja Willem III yang meninggal pada 23 November 1890. Selama 18 tahun, ibunya yang menjadi wali sebelum Wilhelmina ditetapkan sebagai Ratu Kerajaan Belanda.

Pada 1898 atau tahun pertama masa pemerintahannya, Ratu Wilhelmina menetapkan bentuk pemerintahan di Tanah Papua (Nederlandsch Nieuw Guinea). Awalnya, Tanah Papua (Dutch Nieuw Guinea) berada di bawah Residen Ternate, pernah juga di bawah Residen Maluku. Karena beberapa pertimbangan tertentu, akhirnya dibentuklah beberapa Afdeeling dan Onderafdeeling.

Pada tahun 1938 itu, Babo masih masuk ke dalam Afdeeling Fakfak. Berdasarkan Staatblad van Nederlandsch-Indie no. 620 tahun 1934, Afdeeling Nord & West Nieuw Guinea mencakup lima Onderafdeeling, yaitu Manokwari, Sorong, Serui, Hollandia (Jayapura) dan Fak Fak. Hubungan baik antara pemerintah dengan missi Kristen adalah salah satu alasan pembentukan atau pemekaran Afdeeling dan Onderafdeeling tersebut.

Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (paling kanan), bersama tokoh masyarakat Babo.

Seperti diketahui, sejak 1925, missi Katolik juga sudah masuk ke Babo. Missi ini kemudian berkembang hingga sepuluh tahun kemudian, saat Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) menjadikan Babo sebagai pangkalan (homebase) kegiatan eksplorasinya, selain di Wasian, Jef Lio, Klamono dan Kasim.

Selama sepuluh tahun itu, Babo –yang sebelumnya seperti kawasan tak bertuan– berubah menjadi kota kecil modern di belantara Papua. Posisinya hampir sama bahkan mengalahkan Pulau Doom dan Pulau Biak yang lebih dahulu ditata dengan baik sebagai pusat pemerintahan. Bedanya, Babo bukanlah pusat pemerintahan. Hanya karena ada NNGPM, Babo menjadi maju.

Salah satu indikator bahwa di Babo telah mencapai kemajuan pada tahun 1938 itu adalah adanya penerangan listrik, lapangan golf, lapangan bola tenis (badminton), bioskop (club house), supermarket, perbengkelan, lapangan terbang (airfield), lapangan terbang air (seaplane) lengkap dengan hanggar dan pelabuhan.

Bahkan, jalan-jalan di Babo sudah mulai dibangun dan terhubung. Jalanan yang sebelumnya sederhana ditingkatkan menjadi jalanan aspal. Bahkan di beberapa lokasi, ada rel kereta kecil (lori) untuk mengangkut barang. Tangki air dan minyak juga dibuat untuk memenuhi kebutuhan penduduk Babo yang diperkirakan terus meningkat setelah berjalannya eksplorasi di Wasian.

Kota Modern di Belantara Papua

Pada bulan November 1938 itu, Babo mencapai puncak kemeriahannya. Pada suatu tanah lapang, dibangun sebuah gapura dengan dinding dari kawat duri yang diikatkan pada tiang kayu. Sebanyak lima kawat duri itu mengelilingi lokasi acara peringatan 40 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina. Sebutan untuk acara saat itu adalah pasar malam atau gelegenheid van het 40-jarig regeringsjubileum van koningin Wilhelmina.

Banyak perlombaan dan festival yang ditampilkan selama acara pasar malam dalam beberapa hari itu. Panjat pinang berhadiah (mastklimmen), merupakan salah satunya. Ada beberapa pohon pinang yang ditancapkan di lokasi acara pasar malam, yang di atasnya digantungkan hadiah-hadiah. Jumlah pohon pinang itu sebanyak lima batang.

Kuda lumping (dans met rieten paarden als onderdeel) alias menari dengan kuda buluh juga menjadi salah satu pertunjukan yang dihadirkan dalam perayaan 40 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina tersebut. Sebanyak lima penari kuda lumping menunjukkan kelihaian mereka saat atraksi makan beling dan menahan lecutan pecut tali yang kasar dan keras itu.

Karena di Babo juga ada penduduk China, maka Barongsai pun ditampilkan. Dalam bahasa Belanda disebut sebagai Draak, gemaakt door de vliegdienst als onderdeel atau pertunjukan layangan yang diperagakan oleh perusahaan penerbangan KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij).

Berikutnya ada juga festival perahu atau Feestkano als onderdeel sebagai bagian dari perayaan 40 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina. Sebuah prototipe perahu buatan dihias dengan aneka rumbai lalu orang-orang masuk ke dalamnya dengan mengangkat perahu itu sebatas pinggang, sambil berjalan dengan kaki mereka.

Topografi dan demografi Babo pada 1935

Semua perkembangan yang terjadi di Babo pada tahun 1938 itu, tentu saja tidak lepas dari peran Dr. A.H. Colijn dan dua orang temannya yang dikenal sebagai ahli geologi dan perminyakan. Temuan mereka akan sumber cadangan minyak dan emas di Tanah Papua, mendorong mereka menempatkan pangkalannya di Babo. Pertimbangannya, Sungai Kasira yang besar dan berada di tengah-tengah antara Jef Lio, Kasim, Wasian, Klamono dan Wisselmeren adalah lokasi strategis.

Sejak saat itu, ratusan bahkan ribuan orang dari luar Papua pun didatangkan ke Babo. Mereka terdiri dari orang kulit putih (Belanda), China, Jawa, Ambon, Manado, Batak dan Dayak. Secara khusus, Dr. Colijn memang membawa beberapa orang Dayak untuk membantu tim survei mereka di Tanah Papua. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila saat perayaan 40 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina, aneka suku bangsa berjubel di Babo.

Sedangkan orang asli Papua, yang berasal dari suku-suku sekitar, baru belakangan bergabung dalam proyek NNGPM tersebut. Perubahan tradisi dari mengayau menjadi pekerja, telah merubah pola hidup suku-suku asli Papua. Selama berbulan-bulan, mereka membantu “tuan merah” (sebutan untuk Belanda di Babo). Pekerjaan kasar mulai dari menarik pepohonan di sungai dan membawa barang-barang proyek adalah tugas mereka.

Secara bertahap terjadi perubahan yang cepat terhadap suku-suku asli Papua ini. Sekarang, mereka mulai mengenal mata uang. Dengan mata uang itu, mereka berbelanja di kios-kios yang ada di Babo. Mereka heran, benda mungil yang mereka pegang, dapat ditukar atau dibelanjakan dengan barang-barang yang kadang baru pertama mereka lihat seumur hidup. Untuk diketahui, pada saat itu, di Babo telah ada pasar atau kios.

Di beberapa lokasi yang terbilang dataran tinggi atau bukit, dibangun perumahan dan perkantoran untuk pengurus dan pekerja NNGPM. Bagi tenaga kuli pribumi, lokasinya terpisah dengan lokasi perumahan pekerja asing. Begitu juga untuk orang-orang yang masih bujang, berbeda lokasinya. Sebuah rumah sakit didirikan di dekat komplek perumahan pekerja asing tersebut, lokasinya di dekat landasan udara (aviation ground).

Lokasi pemerintahan juga dipisahkan dengan lokasi proyek NNGPM. Sebagaimana halnya di tempat lainnya, Belanda biasanya membangun pusat pemerintahan secara terpusat atau dalam satu kawasan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula bila di Babo juga dibuat seperti itu. Rumah sekaligus kantor pejabat pemerintah (een bestuurkantoor), rumah obat (een polikliniek) dan rumah mantri (mantriwoning), rumah kepala polisi (hoofd van politie woning) selalu berada dalam satu kawasan.

Media Hiburan Penduduk Babo di Tahun 1938

Selain perayaan dan festival tahunan, saat itu di Babo juga ada hiburan mingguan. Sebuah bioskop memutar film tiap minggu sekali. Dalam peta yang dibuat oleh intelijen Amerika, bioskop itu disebut sebagai gedung club house. Dengan adanya listrik yang stabil, Babo menjadi kota di tengah belantara Papua yang dapat menikmati hiburan setiap minggu. Stasiun radio juga sudah tersambung dengan Batavia (Jakarta) dan Ambon.

Untuk hiburan lainnya, beberapa surat kabar sudah masuk dan menjadi bacaan penduduk Babo. Salah satunya adalah surat kabar mingguan berbahasa Jawa, yaitu Panjebar Semangat yang diterbitkan di Bubutan, Surabaya tiap hari Sabtu (weekblad basa Jawa adhedhasar kebangsan diwetokake saben Dina Sabtoe). Surat kabar ini banyak dibaca oleh pekerja proyek NNGPM di Babo yang berasal dari Jawa.

Biasanya surat kabar ini memuat ucapan dan tali kasih antara pekerja proyek di Babo untuk keluarga mereka di Jawa, khususnya Surabaya. Dengan adanya kapal motor yang rutin melayani pelayaran dari Jawa, Makassar, Ambon dan Babo, maka sirkulasi surat kabar ini nyaris tiba tepat waktu. Ataupun bila terlambat, hanya satu minggu saja setelah terbit.

Ucapan selamat hari Raya, merupakan salah satu yang biasa dimuat dalam surat kabar Panjebar Semangat. Sesuai namanya, surat kabar ini memang seolah menjadi penyebar semangat bagi orang-orang yang berbeda atau dipisahkan oleh lokasi yang berjauhan. Contohnya, antara anggota keluarga yang di Babo dengan keluarga yang di Surabaya.

Bagi mereka yang beragama Islam, hidup di Babo tidak akan merasa kesulitan. Sebab, saat itu, banyak suku-suku asli Papua yang sudah beragama Islam di Babo dan sekitarnya. Sebut saja marga Fimbay, Manuama dan Fiawe. Apalagi, banyak juga keturunan Arab asal Ambon yang telah menetap di Babo, seperti Alkatiri. Keberadaan masjid juga sudah ada, termasuk gereja dengan pastorinya.

Misalnya Sutardji, karyawan NNGPM asal Surabaya yang ditempatkan di Wasian, Babo itu menyampaikan ucapan selamat hari raya. “Ngaturaken sadaja kalepatan ing dinten Ariadi. Lan njoewoen goeng ing pangaksama.” (Menyampaikan semua permohonan maaf atas kesalahan pada Hari Raya ini. Dan mohon dimaafkan).

Begitu juga Soebardi, menyampaikan ucapan yang sama. Untuk ucapan Soebardi, tidak dituliskan lagi dalam surat kabar itu melainkan disingkat dengan Pf. Pr. 1 Syawal 1867. Itu artinya bahwa jenis dan bentuk ucapan yang ingin disampaikan melalui Panjebar Semangat itu sama dengan ucapan sebelumnya dari Sutardji.

Sedangkan untuk orang asing (Eropa), selain ada golf, badminton juga hoki. Bahkan, kaum perempuan Eropa memiliki hobi baru menjadi botanis amatiran. Diantar penduduk lokal, mereka mencari anggrek hutan yang indah dan menarik hati. Banyak tanaman endemik di Babo, termasuk buah merah dan tanaman lain yang langka. **

**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan yang juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI). Domisili di Manokwari, Papua Barat. Catatan ini selesai ditulis di Arfai, Manokwari (Papua Barat) pada Kamis, 10 November 2022 pkl. 04:24 WIT menjelang Shubuh.

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here