PAPUA, jurnalpapua.id – Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Papua, perlu dikaji ulang dan ditunda pelaksanaannya. Tujuan pemekaran yang disebut untuk kesejahteraan masyarakat, terbantahkan dari pembentukan DOB sebelumnya.
Saran penundaan pelaksanaan DOB Papua ini mereka tuliskan dalam ‘Briefing (keterangan ringkas) Terkait Pembentukan Daerah Otonomi Baru Papua’.
Rencana pembentukan DOB oleh DPR dan Pemerintah tidak mempertimbangkan aspek penting, yakni kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan proyeksi perkembangan di masa depan.
Data faktual terhadap pemekaran yang dilakukan di Papua sebelumnya menunjukan kondisi bahwa asumsi dasar suatu pemekaran akan berdampak terhadap kualitas hidup dan perekonomian masyarakat terbantahkan.
Daerah yang mengalami pemekaran sebelumnya justru memiliki kualitas hidup yang rendah dan menjadi wilayah konflik.
“Pemerintah harus melakukan penundaan dan meninjau ulang rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), setidaknya hingga adanya kajian yang komprehensif dan Putusan MK mengenai Judicial Review Revisi UU Otsus Papua,” tulis briefing tersebut, seperti dilansir dari Betahita.id.
Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Public Virtue Research Institute (PVRI) beranggapan, fakta yang terjadi menunjukkan tidak ada hubungan antara DOB dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua
MRP dan PVRI menyitir peneliti BRIN, Cahyo Pamungkas, yang menyampaikan seharusnya Otsus dan pembangunan dapat menjadikan kabupaten/kota yang didominasi oleh penduduk non-Papua dengan Indeks Pembangunan Manusianya tinggi, bisa mencapai 70-73.
Namun, wilayah-wilayah yang didominasi oleh masyarakat Papua, IPM-nya masih rendah. Artinya, ada kesenjangan pembangunan.
Data BPS, beberapa daerah yang dilakukan pemekaran sebelumnya (2008) tidak menunjukan adanya kemajuan. Misalnya Kabupaten Nduga, memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di antara seluruh kabupaten sejak 2016-2021, dengan angka 2021 sebesar 32,84. Begitu pula di Intan Jaya yang masih berada di 5 terbawah.
Faktor kemampuan ekonomi juga menunjukkan pendapatan asli daerah (PAD) calon ibu kota tiga provinsi baru masih fluktuatif. Tiga ibu kota ini adalah Provinsi Papua Selatan, Kabupaten Nabire untuk Provinsi Papua Tengah, serta Kabupaten Jayawijaya untuk Provinsi Papua Pegunungan masih fluktuatif.
Kemudian apabila melihat daerah pemekaran sebelumnya seperti Kab. Nduga, hanya memiliki PAD sebesar 1,11% dan Lanny Jaya sebesar 1,56% dari total pendapatan daerah (2018).
Selain itu hingga saat ini belum ada kajian memproyeksikan perkembangan Papua di masa depan. Tanpa ada kajian terlebih dahulu, termasuk terkait dengan kebijakan Daerah Otonomi Baru, maka dikhawatirkan bahwa situasi Papua justru bertambah semakin kurang kondusif.
Faktor-faktor ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pemekaran DOB dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Apalagi rencana ini diformulasi dengan tergesa-gesa.
“Rencana pembangunan Papua sangat menitikberatkan pada aspek ekonomi dan fisik saja, tidak ditemukan indikator dalam konteks demokrasi atau penegakan hukum. Agenda untuk menghadirkan demokrasi substantif bagi pembangunan papua tidak tercermin dalam kebijakan hari ini,” tulis briefing tersebut.
Rencana pembentukan DOB oleh DPR dan Pemerintah tidak mempertimbangkan aspek penting, yakni kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan proyeksi perkembangan di masa depan.
Faktor kesatuan sosial budaya, DOB tiga provinsi di Papua berbeda halnya dengan usulan dari Gubernur Papua Lukas Enembe di mana pembentukan DOB mendasarkan pada wilayah adat di Papua yaitu Tabi, Saireri, Lapago, Meepago, Anim HA, Domberai, dan Bomberai.
Faktor kesiapan sumber daya manusia juga dikesampingkan pemerintah dan DPR. Selama ini kantor pemerintahan di Papua kekurangan sumber daya manusia, apalagi dari orang asli Papua. JP03