Bahaya! Perairan Kota Sorong Terkontaminasi Mikroplastik

0
322
Sampah plastik yang memenuhi peraian di Kota Sorong. Foto:Ist/ESN
Spread the love

* Aktivis lingkungan dari Ecoton dalam Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) melakukan uji mikroplastik di perairan Kota Sorong. Hasilnya, rata-rata ditemukan 148 partikel mikroplastik dari fragmentasi sampah plastik yang mencemari sungai di Kota Sorong.  Mikroplastik yang wujudnya identik dengan plankton, berpotensi dimakan oleh ikan.

* Banyaknya sampah yang terhambur di perairan sungai, tak lepas dari rendahnya kesadaran masyarakat atas kebersihan lingkungan, serta buruknya manajemen pengelolaan sampah oleh pemerintah Kota Sorong.

* ESN dan GPSK menuntut tanggungjawab produsen yang mengemas produknya dengan kemasan plastik, ikut bertanggungjawab dalam mengendalikan sampah yang ada di Kota Sorong.

AKTIVIS lingkungan yang tergabung dalam program Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) dan berkolaborasi dengan komunitas Generasi Peduli Sungai Klamono (GPSK), membunyikan alarm tanda bahaya untuk masyarakat Kota Sorong, Papua Barat. Perairan yang ada di Kepala Burung Tanah Papua ini, sudah terkontaminasi mikroplastik dengan rata-rata 148 partikel.

Dampak kontaminasi mikroplastik ini selain mengancam ekosistem perairan dan keanekaragaman hayati laut, juga menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Sorong yang kerap mengkonsumsi ikan.

Karenabentuk mikroplastik sama dengan plankton. Ikan menganggap mikroplastik itu adalah makanannya. Artinya, semakin banyak sampah plastik masuk ke laut akan semakin besar terbentuknya mikroplastik dan makin besar peluang ikan makan plastik.

Tingginya partikel mikroplastik di perairan Kota Sorong ini, terungkap pasca dilakukan penelitian air pada empat sungai; tiga di Kota Sorong (sungai Remu Kelurahan Malawei Distrik Sorong Manoi, sungai Klawuyuk dan sungai Klawalu di Sorong Timur) dan satu di sungai Klamono, Kabupaten Sorong sebagai pembanding.

Dody Aleman Wamblesa, Koordinator GPSK meneliti sample air Sungai Remu menggunakan mikroskop portable. Foto: ESN/Ist

Tim kolaborasi ESN dan GPSK mengambil sample air sungai sebanyak 50 liter di setiap lokasi. Contoh air itu kemudian diamati menggunakan mikroskop portable dengan pembesaran hingga 400 kali.

“Hasilnya, ditemukan mikroplastik rata-rata 148 partikel mikroplastik di sungai-sungai dalam Kota Sorong. Sedangkan pada lokasi kontrol di Sungai Klamono, hanya ditemukan 4 partikel dalam 100 liter air,” ungkap Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecologial Observation & Wetland Conservation (Ecoton) kepada jurnalis media ini, Senin 7 November 2022.

Prigi menjadi peneliti ESN bersama Aminuddin Muttaqin, alumni Teknik Lingkungan UPN dan pasca sarjana Biologi Unair meneliti perairan Kota Sorong selama 4 hari, sejak 4 November. Dalam ekspedisinya, Prigi memiliki misi mengunjungi 68 sungai di Indonesia.

Dari riset sungai di Kota Sorong, lokasi yang kadar kontaminasi mikroplastiknya tertinggi adalah sungai Klawalu, dengan jumlah mikroplastik sebesar 215 partikel mikroplastik (PM) dalam 100 liter air. Kandungan mikroplastik terbanyak kedua di sungai Klawuyuk (165 PM/100 L), serta sungai Remu  (112 PM/100 L).

Sungai Klamono yang posisinya berada di hulu, dianggap masih bersih dari polusi mikroplastik dibanding sungai – sungai di Kota Sorong. Kondisi ini juga karena jumlah penduduk yang bermukim di bantaran sungai Klamono, tidak sepadat di bantaran sungai di Kota Sorong.

Jenis mikroplastik paling dominan adalah Jenis Fiber (54%) atau benang-benang yang umumnya berasal dari serat tekstil atau bahan benang pakaian yang umumnya berjenis polyester. Sedangkan terbanyak kedua adalah jenis fragmen pecahan plastik (38%), dan terbanyak ketiga adalah mikroplastik jenis film atau filament (6%) yang umumnya berasal dari jenis plastik bening, tas kresek plastik, plastik wrapping atau plastik pembungkus.

Jenis paling sedikit yang ditemukan adalah granula (2%) yang berasal dari microbeads atau mikroplastik butiran yang berasal dari scrub, pemutih wajah, bahan kosmetik dan bahan odol serta sabun cair.

Dari temuan mikroplastik ini kata Prigi, menunjukkan buruknya pengelolaan sampah plastik di Kota Sorong.Tim ESN dan GPSK menemukan banyak sampah plastik jenis sachet, botol plastik dan packaging yang ditemukan di selokan-selokan kota.

Dody Aleman Wamblesa, koordinator GPSK mensinyalir, terhamburnya sampah ini juga dipicu minimnya sarana tempat sampah di kompleks pemukiman warga, tidak adanya sistem layanan penjemputan sampah dan ketersediaan sarana TPS  3R (Reduce, Reuse, Recycle).

“Tidak ada pengelolaan sampah dan penyediaan sarana tempat sampah yang memadahi oleh Pemerintah, sehingga masyarakat membuang sampahnya ke sungai atau di bakar,”tukasnya.

Namun problem sampah tak melulu soal pelayanan yang diberikan pemerintah daerah. Kesadaran masyarakat dan tata kelola sampah di level bawah, menjadi langkah penting yang bisa ditempuh. Seperti yang dilakukan Rahmat Fajar, Ketua RT 01 RW 05 Kelurahan Remu Selatan Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong.

Setiap pagi ia memberdayakan lima warganya untuk mengumpulkan sampah dari rumah-rumah penduduk yang mayoritas bermukim di bantaran sungai Remu. Tak kurang dari setengah ton sampah dihimpun dalam kontainer Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang ada di kompleks, kemudian diangkut ke TPA di Bambu Kuning.

Fajar memberikan sanksi sosial bagi warga yang kedapatan membuang sampah di sungai; tidak melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan. Atas kesepakatan bersama juga, Fajar mengutip iuran sebesar Rp 15 ribu per KK setiap bulan, sebagai uang kebersihan dan membayar honor petugas lingkungan.

Rahmat Fajar, Ketua RT01/RW05 Kelurahan Remu Selatan Distrik Sorong Manoi, berbincang dengan petugas kebersihan lingkungan.

“Saya selalu sampaikan ke masyarakat, membuang sampah di sungai menjadi salah satu penyebab banjir. Kalau sudah banjir, masyarakat juga yang terdampak dan dirugikan,” kata Fajar.

Mikroplastik di Lambung Ikan

Minimnya sarana dan layanan penjemputan sampah di rumah-rumah penduduk, diperburuk masifnya penggunaan plastik sekali pakai.  Tidak ada pengendalian penggunaan plastik sekali pakai seperti kantong plastik (kresek), sedotan, kemasan sachet, styrofoam, serta botol air minum sekali pakai dan popok. Barang-barang ini masif digunakan karena dianggap praktis dan ekonomis.

Imbasnya, sampah barang pabrikan  itu menumpuk di perairan yang berpotensi merusak ekosistem air dan ancaman kesehatan. Sampah plastik akan terfragmentasi menjadi mikroplastik yang identik dengan plankton. Potensi mikroplastik di konsumsi ikan cukup tinggi. Dari penelitian Ecoton terhadap 220 ikan karang yang ditangkap di Ternate, 183 ekor diketahui terpapar mikroplastik

Adanya mikroplastik dalam lambung ikan harus menjadi peringatan serius pada manusia untuk mengendalikan meledaknya jumlah mikroplastik di perairan. Prediksi United Nation Environment Programme (UNEP) jumlah sampah plastik di laut akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan.

Hasil survey yang pernah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2013, indeks kepedulian lingkungan penduduk Indonesia saat ini masih dibawah 0,5 dari skala 0 – 1. Artinya, kesadaran masyarakat masih rendah dalam partisipasi pengendalian sampah. Masih banyak dijumpai penduduk membakar sampah dan membuang sampah plastik di badan air meskipun ada larangan untuk tidak membuang sampah di sungai.

Produk Sachet PT Unilever Mendominasi

Faktor lain penyumpang membeludaknya sampah plastik di perairan Kota Sorong, adalah minimnya peran Produsen dalam ikut mengolah sampahnya. Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75/2019 sudah jelas mengatur roadmap pengurangan sampah plastik kelaut hingga 70% pada tahun 2025. Salah satu yang ditekankan, mendorong produsen penghasil sampah plastik yang tidak bisa diolah secara alami, harus ikut mengelola 30% jumlah sampah yang dihasilkan.

Prigi Arisandi (kiri) dan Dody Aleman Wamblesa menunjukkan kemasan produk saat brand audit sampah di muara Sungai Remu, Kota Sorong. Foto:Ist/ESN

GPSK dan tim peneliti ESN melakukan brand audit, dengan mengumpulkan 211 keping sampah dari kemasan produk pabrikan yang di temukan di perairan Sorong. Sedikitkan lima nama produsen besar yang kemasan produknya 70 persen mendominasi tumpukan sampah.

“Kami menemukan 5 produsen kebutuhan sehari-hari yang sampahnya memenuhi perairan pesisir Kota Sorong kelima produsen itu adalah Unilever, Wings, Mayora, Danone dan Nestle. Khusus untuk Unilever, jenis sampah yang ditemukan adalah jenis sachet multilayer yang sulit di daur ulang karena lapisan plastiknya berlapis-lapis,” ungkap Prigi Arisandi.

Kata Prigi, setiap produsen yang kemasan produknya tidak bisa diproses secara alami, maka produsen harus bertanggung jawab mengelola sampah yang dihasilkan agar tidak mencemari lingkungan. Kewajiban ini sesuai dengan Undang Undang pengelolaan sampah nomor 18/2008, mewajibkan Extended Produsen Responsibility atau tanggungjawab perusahaan untuk ikut mengelola sampah yang dihasilkan dan tidak bisa diolah secara alami.

Sampah plastik jenis sachet merupakan jenis sampah plastik yang sulit didaur ulang karena plastiknya berlapis-lapis dengan jenis polimer yang berbeda. Saat di perairan, sachet akan terpapar panas sehingga mudah terpecah menjadi serpihan atau remah-remah plastik kecil dibawah 5 mm. “Ini yang disebut mikroplastik,” ungkap Prigi Arisandi, alumni Universitas Airlangga Surabaya, jurusan Biologi ini.

Mikroplastik yang identik plankton akan sangat berbahaya bagi lingkungan karena sifatnya yang menyerap polutan air seperti logam berat, pestisida, klorin dan detergen. Jika mikroplastik yang wujudnya identik dengan plankton ini ditelan oleh ikan, maka bahan polutan ini akan dilepaskan di lambung ikan.

Kehadiran partikel mikroplastik dalam lambung ikan ini yang bisa mengganggu hormon ikan atau lazim disebut senyawa pengganggu hormone ikan. Akibatnya, pada lingkungan perairan yang banyak ditemukan mikroplastik, ditemukan ikannya mengalami intersex atau dalam satu tubuh terdapat dua kelamin.

“Untuk keselamatan bersama, kami mendesak lima produsen besar pemilik brand ini bertanggungjawab,” tukas Dody Aleman Wamblesa.

Sebelum kondisi lebih buruk terjadi, ESN dan GPSK mendorong Pemerintah Kota Sorong untuk memprioritaskan pengendalian sampah plastik yang masuk ke perairan. Caranya; menyediakan sarana sampah di fasum maupun pemukiman di kelurahan; harus ada sarana pengelolaan sampah pada tiap kelurahan dan distrik; membuat regulasi larangan atau pengurangan penggunaan plastik sekali pakai (kantong kresek, sedotan, sachet, styrofoam, botol air minum sekali pakai dan popok).

“Kami juga mengajak kelompok-kelompok masyarakat untuk ikut menjaga agar tidak ada warga yang membuang sampah plastik sembarangan,” kata Dody, sarjana Teknik Geologi Universitas Cendrawasi Jayapura, Papua ini.

Yang tidak kalah penting, ESN dan GPSK akan mendorong produsen seperti Unilever, Nestle, Wings, Indofood, Mayora, Coca Cola dan Santos untuk ikut mengelola sampah bungkus plastik (packaging) yang tercecer di Kota Sorong.

Ekspedisi Sungai Nusantara

Indonesia memiliki roadmap pengurangan sampah plastik ke laut hingga 70% pada tahun 2025. Namun hingga kini, sampah-sampah dari sungai tak terkendali masuk ke perairan pesisir. Belum ada upaya serius pemerintah daerah untuk ikut mengurangi volume sampah plastik yang masuk ke laut.

Fakta-fakta itu ditemukan Prigi Arisandi, dalam perjalanannya melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) sejak 25 Maret 2022. Dimulai dari Kantor Ecoton di Gresik, Jawa Timur, Prigi yang melakukan perjalanan naik sepeda motor bersama Amiruddin Muttaqin, videografer Ecoton.

Prigi Arisandi (kanan) dan Aminuddin Aliman, tiba di Kawasan Tugu Merah Kabupaten Sorong, Papua Barat dalam perjalanan ESN-nya. Foto: ESN/Ist

Ekspedisi diawali dengan menuju Lampung, Sumatera Barat, kemudian ke Titik Nol Indonesia di Aceh. Dari Sumatera, Prigi dan Aminuddin menuju Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara dan pada 4 Nopember 2022 roda sepeda motornya menapak Sorong.

Aktivitas yang dilakoni selama ekspedisi, melakukan uji kualitas air menggunakan 20 parameter fisika kimia (DO Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut dalam air; Kadar Phospat, Klorin bebas, Logam Berat Mangan, Tembaga, Besi, Merkuri dan beberapa logam berat).

Tim ESN juga melakukan verifikasi implementasi PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup dimana mensyaratkan bahwa sungai di Indonesia harus nihil sampah plastik. ESN juga ingin mendorong agar Pemerintah Daerah ikut melakukan perang sampah plastik sekali pakai.

“Pemerintah memiliki roadmap pengurangan sampah plastik yang luber ke laut hingga 70% pada tahun 2025. Upaya ini sebagai aksi agar Indonesia tidak lagi disebut negara penyumbang pencemaran sampah plastik terbesar kedua di dunia,” ungkap Prigi.

Dari setiap tujuan perjalanan, ESN mendorong lahirnya komunitas-komunitas penjaga sungai Indonesia, dengan memberikan pelatihan terkait uji kualitas air dan praktik langsung partisipasi masyarakat dalam mengendalikan kerusakan sungai. Langkah ini sebagai upaya untuk bersama-sama masyarakat memperhatikan kualitas air sungai dan memperjuangkan hak atas air yang bersih.

Tim ESN mendokumentasikan kondisi eksisting sungai-sungai Indonesia yang sedang terancam akibat aktivitas tambang, perkebunan sawit dan pencemaran sampah plastik untuk menjadi film dokumenter. (tantowi djauhari)

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here