JAKARTA, jurnalpapua.id – Presiden Joko Widodo melantik Hadi Tjahjono sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dalam resufle kabinet yang dilakukan Rabu (15/6/2022), menggantikan Sofyan Djalil.
Terkait pergantian menteri ini, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhammad Ichwan mengatakan, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto memiliki sederet tugas yang perlu diselesaikan hingga akhir masa jabatannya.
Pertama, dari catatan JPIK, saat ini terdapat 751 konflik agraria yang 432 di antaranya belum rampung.
“Menteri ATR/BPN baru harus menyelesaikan tunggakan sengketa tanah di berbagai daerah mulai sengketa antara pemerintah dan masyarakat hingga antara pihak swasta dan masyarakat,” kata Ichwan, seperti dilansir dari Tempo.co.
Hadi Tjahjanto dilantik oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi Menteri ATR/BPN dalam reshuffle kabinet hari ini menggantikan Sofyan Djalil. Mantan panglima TNI AU itu diberi tugas menyelesaikan sengketa lahan dan membereskan sertifikat tanah milik rakyat.
Ichwan menuturkan persoalan penyelesaian sengketa lahan harus dilakukan dengan mekanisme reforma agraria. Dia menilai sejak Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) disahkan, pelaksanaan reforma agraria itu belum berjalan.
“Malah pemerintah membuat aturan-aturan baru yang sering menimbulkan konflik tanah di beberapa daerah. Pelaksanaan reforma agraria selama ini jauh dari rasa keadilan sesuai Undang-Undang Dasar 1945. Kita bisa menyaksikan banyak korban dari kalangan warga akibat konflik agraria,” katanya.
Catatan kedua, JPIK melihat konflik masyarakat dengan koorporasi masih banyak terjadi. Pendekatan penyelesaian atas konflik itu pun selalu menggunakan aparat keamanan yang dinilai membuat rakyat berada di posisi yang lemah.
“Ketika terjadi konflik, masyarakat dan korporasi tidak berdiri setara. Masyarakat umumnya berada pada posisi yang lemah. Sedangkan korporasi ini selalu melibatkan aparat keamanan,” kata Ichwan.
Catatan ketiga, dia mengatakan Hadi perlu melakukan kajian ulang terhadap pemberian izin konsesi dan melakukan audit menyeluruh untuk hak guna usaha (HGU) perusahaan, khususnya sawit, yang terindikasi melanggar aturan. Pelanggaran itu misalnya menelantarkan lahan HGU sehingga tidak produktif, menimbulkan konflik perkepanjangan dengan masyarakat sekitar, perusahaan tidak bayar pajak, dan perusahaan menanam lahan di luar izin.
“Saat ini ada sekitar 3,5 juta hektare kebun sawit illegal masuk kawasan hutan. Kalau hal ini tidak segera ada penegakan hukumnya, dampak buruknya akan terjadi deforestasi permanen pada areal tersebut yang berakibat berkurangnya keaneka ragaman hayati, emisi karbon dan hilangnya hutan, dan sumber air dan pangan masyarakat,” ucap dia.
Catatan keempat, JPIK akan mendorong agar Hadi segera memberantas mafia tanah. Upaya pemberantasan mafia tanah di Indonesia sampai saat ini dianggap belum memuaskan.
“Kami mendorong pemberantasan secara menyeluruh, termasuk mengevaluasi para petinggi Kementerian ATR/BPN dan membersihkan kementerian dari oknum-oknum,” kata dia. JP03