JURNALPAPUA.ID – Ingat! Ko masuk gereja.. Jangan saling tuduh.. jangan saling curiga-curiga.. kalau (ada yang) mati itu bukan karena suanggi, tapi tuhan yang panggil.. jadi kasi tinggal itu suanggi.. buang jauh-jauh.. mengerti! Ini sa kasi…
Petuah-petuah bijak itu diucapkan Robert Manibuy, generasi ketiga Suku Wamesa yang mendiami Teluk Bintuni. Sebuah alkitab diserahkan kepada Melianus Yetti, tokoh adat di Kampung Pasamai. Keduanya sama-sama mengenakan busana adat, bertelanjang dada, hanya berbalut kain merah sebagai pengganti celana.
Robert dan Melianus bukan sedang bermain drama. Kedua tokoh ini sedang mereka ulang hikayat masa lampau, bagaimana agama Katolik masuk ke dataran Teluk Bintuni, yang didiami Suku Sougb.
Peragaan sejarah ini cukup menarik perhatian masyarakat dan rombongan keuskupan Manokwari Sorong serta para pejabat daerah Kabupaten Teluk Bintuni ketika hendak memasuki area peresmian Gereja Santo Paskalis di Kampung Pasamai Distrik Manimeri, Senin (17/5/2021).
Prosesi ini diawali dengan arak-arakan masyarakat yang mengusung Robert Manibuy dengan tandu berbentuk perahu. Saat berpapasan dengan masyarakat yang dipimpin Melianus Yetti, Robert yang mengenakan mahkota burung cendrawasih dan membawa noken, turun dari perahu untuk menyampaikan ajaran agama.
Kepada media ini, anggota DPRD Provinsi Papua Barat ini berkisah, prosesi itu adalah reka ulang dari babad masa lampau, bagaimana agama Katolik menyebar di suku Sougb.
Saat itu, kata Robert, tetenya (kakek) yang bernama Frans Manibuy, datang ke dataran Bintuni untuk menyebarkan agama Katolik. Dari pesisir utara sisar matiti, Frans yang mendapat sebutan Korano, datang mengunakan perahu dayung melalui Kali Manimeri.
“Secara umum bahwa agama masuk di Papua tentu semua orang sudah mengetahui. Tapi untuk masuk ke daerah masing-masing, tentu ada yang membawa lagi. Agama Katolik di Bintuni, dibawa oleh tete saya disebut dengan korano. Jadi prosesi ini adalah untuk menceritakan kembali kejadian masa lampau,” urai Robert.
Saat tiba di daratan, Korano Frans Manibuy bertemu sekelompok orang Suku Sougb yang tinggal di perkampungan. Adat mereka saat itu lagi keras, saling membunuh. “Dengan membawa ajaran agama Katolik, tete saya mengajak untuk mari sama-sama hidup dalam damai,” tukasnya.
Kenapa ada perbedaan agama di Kampung Pasamai dan Kampung Atibo, yang jaraknya relatif bertetangga? Kata Robert, ini karena ajaran agama yang juga dibawa oleh David Manibuy, kakak dari Frans Manibuy.
Jika Korano Frans menyebarkan ajaran agama katolik melalui jalur sungai Manimeri, David yang memiliki keyakinan protestan, mengajarkan imannya itu melalui Kali Yakati.
“Jadi contoh dari agama keluarga di Bintuni ini, sudah ada sejak jaman tete nenek kami. Meski tete Korano Frans dan tete David memiliki keyakinan agama yang berbeda, mereka juga bisa akur, hidup rukun dalam satu keluarga,” kata Robert. JP01