Melipat Waktu Perburuan Sagu ala Pertamina Kilang RU VII

0
112
Nahum Katumlas, anggota kelompok masyarakat pengolah sagu 'Persekutuan Kaum Bapak' Kampung Klayas, Distrik Seget Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, membawa keluar mud sagu menuju tempat penampungan, Kamis (30/11/2023).
Spread the love
  • -Sentuhan Pertamina Kilang membuat perubahan signifikan. Masyarakat tak lagi menebang pohon sagu dan membelahnya secara manual menggunakan kapak, tapi sudah beralih pakai gergaji mesin. “Kalau kami kerja seperti ini, satu pohon bisa habis sehari. Satu bulan, kami bisa hasilkan 60 sampai 70 tumang sagu,”-

NAHUM Katumlas tengah memikul potongan pohon sagu, saat berpapasan dengan saya di jalan setapak sedikit berlumpur. Tanpa alas kaki, langkahnya cukup lincah bergegas menuju tepi jalan besar tempat mengumpulkan batang sagu, sebelum diangkut ke sentra pengolahan sagu.

Pertemuan pada Kamis, 30 November 2023 itu terjadi di belantara Dusun Sagu, Kampung Malaban Distrik Seget, Kabupaten Sorong Papua Barat Daya. Sejatinya waktu sudah cukup siang, hampir jam 12 WIT. Namun rimbunnya pepohonan, menjadikan sinar matahari tak terasa terik. Daun kering yang jatuh ke lahan gambut itu, masih basah oleh air hujan yang turun semalam.

Jangan bayangkan di Dusun Sagu ini banyak berdiri rumah penduduk, lazimnya sebuah dusun yang menjadi wilayah administratif paling bawah setelah desa. Ini seperti yang tertulis di Pasal 8 Ayat 4 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; “Dalam wilayah desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa.”

Trada (tidak ada,-red) Om. Trada rumah. Di dalam itu hutan sagu. Makanya masyarakat dong (mereka –red) bilang Dusun Sagu,” ucap Nahum kepada saya, saat kami berbincang di tempat penampungan batang sagu.  

Nahum Katumlas, anggota kelompok pengolah sagu ‘Persekutuan Kaum Bapak” Kampung Klayas, Distrik Seget Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Bagi Orang Asli Papua (OAP), hutan adalah area meramu. Tempat yang menyediakan segalanya, mulai sumber makanan, obatan-obatan hingga budaya. Begitu juga Nahum dan komunitas masyarakat suku Moi Lemas pada umumnya, mereka banyak menggantungkan kebutuhan hidup dari hutan dan juga Dusun Sagu.

Suku Moi Lemas adalah salah satu dari 7 sub Suku Lemas, masyarakat asli pemilik ulayat di Distrik Seget. Sebagai distrik tertua di Kabupaten Sorong, wilayah ini termasuk dalam kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) yang terbatas akses terhadap berbagai fasilitas.

Jarak Distrik Seget dengan Aimas, Ibu Kota Kabupaten Sorong sekira 74 kilometer, atau sejauh 93 kilometer jika diukur dengan posisi Kota Sorong. Terdapat dua alternatif untuk menuju Seget, jalur laut dan jalan darat, dengan jarak tempuh sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan. Mengutip data sorongkab.bps.go.id, luas wilayah distrik ini mencapai 893,81 km2.

Selain Kampung Malaban, di Distrik Seget terdapat 8 kampung lain, yakni Kampung Seget, Pulau Kasim, Wasingsan, Wayenkede, Wewenagu, Mobi, Kasimle dan Kampung Klayas. Nama kampung yang tertulis terakhir, adalah pemekaran dari Kampung Malaban.

Nahum Katumlas dan anak istrinya, kini tinggal di Kampung Klayas yang berjarak sekira 3 kilometer dari kampung induk. 19 tahun silam, Nahum menjadi salah satu tokoh pemuda yang ikut merintis berdirinya Kampung Klayas, bersama 9 Kepala Keluarga (KK) lain dari Kampung Malaban.

Wempi Katumlas adalah orang pertama yang menjabat Kepala Kampung Klayas saat awal dibabat. Kala itu, wilayah baru yang berada di atas tanah adat Marga Katumlas ini masih bernama Dusun Naseb. Kondisinya masih hutan belantara. Mujur ada perusahaan minyak yang beroperasi di wilayah Seget, yang membantu membuka akses jalan menggunakan alat berat.

Setelah ada jalan, kata Wempi, bangunan yang pertama didirikan adalah gereja. Kerja gotong royong itu terjadi pada 2006.

“Dari situ kami mulai proses bagaimana Naseb ini bisa menjadi kampung. Kita mulai berusaha bergerak dengan swadaya. Kami punya dana ganti rugi, kami bangun punya rumah-rumah darurat. Ada enam rumah yang kami bikin pada saat itu,” ungkap Wempi, mengurai kembali kisah masa lampaunya.

Wempi Katumlas, Kepala Kampung Klayas Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Tahun 2008, Wempi mulai membangun 13 unit rumah layak huni setelah kembali mendapat uang ganti rugi dari ekspansi wilayah operasi perusahaan asing tersebut. Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, hingga akhirnya pada 27 April 2010, Dusun Naseb berubah nasibnya menjadi Kampung Klayas.

Pemilihan Klayas sebagai nama kampung, kata Wempi, di ilhami oleh sebuah sungai kecil yang ada di tempat itu. Nama Klayas, merupakan penggabungan dari dua hal yang saling bertautan. Dalam bahasa lokal, Kla memiliki arti ‘Air’, dan Yas berarti ‘Daun yang Hanyut di Sungai’.

Sejak resmi berdiri hingga tahun 2015, sebagai tokoh perintis, Wempi didaulat menjadi Kepala Kampung. Pada 2016 posisinya digantikan Benyamin Katumlas, keponakannya, yang terpilih sebagai Kepala Kampung Klayas hingga tahun 2022.

“Kemudian tahun 2022 ada pemilihan lagi, dan saya terpilih sebagai Kepala Kampung sampai saat ini,” tukas Wempi.

Kampung Pengolah Sagu

Cikal bakal Kampung Klayas yang awalnya hanya 9 KK, saat ini jumlah penduduk yang tercatat sebanyak 96 KK atau 272 jiwa, dan tersebar di 3 wilayah RT.  Luas Kampung Klayas diperkirakan lebih dari 4 hektare, menyisir bibir pantai sejauh 9 kilometer.

Wempi bilang, mata pencaharian warganya mayoritas nelayan, berkebun dan pergi ke hutan menokok sagu. Hanya beberapa warga yang berprofesi sebagai tenaga pendidik di SD YPK Klayas, atau mereka yang bekerja di perusahaan yang beroperasi di wilayah itu.

Menokok sagu, menjadi tradisi turun temurun masyarakat Seget untuk mendapatkan bahan makanan pokok. Nahum Katumlas, warganya Wempi mengenang, mulai terlibat aktivitas di dalam Dusun Sagu sejak ia masih remaja. Orangtuanya memberi pelajaran berharga, bagaimana cara memenuhi kebutuhan pangan keluarga saat ia beranjak dewasa, memiliki istri dan anak.

Nahum masih ingat, bagaimana dia harus berangkat pagi menuju Dusun Sagu, bersamaan munculnya matahari. Dari rumahnya di Kampung Klayas, Nahum berjalan kaki menuju Kampung Malaban yang berjarak sekira 3 kilometer.

“Nanti tiba di sini (kampung Malaban), torang harus pi (pergi) masuk lagi ke Dusun Sagu. Aaa…Tidak jauh. Tra (tidak) sampe 1 jam kapa,” kata Nahum, dengan dialek Papuanya yang khas. Kapa adalah partikel kata yang lazim digunakan dalam dialek Papua, sebagai penegas di akhir kalimat percakapan. Kapa merupakan ucapan ringkas dari dua kata; Kah dan Apa.

Drama bagaimana proses perburuan Sagu itu juga diungkap Arkilaus Katumlas, warga Kampung Klayas, kerabat Nahum. Katanya, untuk menghasilkan tepung sagu setengah karung bekas kemasan beras, butuh waktu seharian di dalam hutan.

Saat masuk Dusun Sagu, masih ada proses memilih pohon sagu yang sudah berumur, ada isi dan bisa di tebang. Ciri  khas batang sagu yang sudah ‘masak’ dan layak panen, memiliki diameter lebih dari 35 cm dengan panjang tinggi batang antara 8 hingga 15 meter. Tidak bisa terlalu muda, atau sudah kelewat tua. Jika di pucuk pohon sagu sudah keluar bunga ‘tanduk rusa’, tandanya batang itu sudah mau mati. Tidak banyak sari pati yang tersimpan di dalam batang.

“Tidak bisa kita sembarang tebang. Harus pilih memang,” tukas Arkilaus.

Usai merobohkan pohon sagu terpilih, dilanjut mengupas pelepahnya untuk dibuat goti. Goti adalah tempat memeras hela (serat selulosa batang sagu) dan mengendapkan tepung sagu. Pembuatan goti tidak selalu berdekatan dengan pohon sagu yang sudah tumbang, tapi menyesuaikan keberadaan kolam atau sumur untuk mendapatkan air untuk memeras hela.

“Kalau goti su (sudah) jadi, baru tong (kita) belah batang sagu dan nani (tokok) untuk jadikan hela. Dari situ baru tong peras di goti,” urainya.

Goti, tempat memeras hela secara tradisional di Dusun Sagu Kampung Malaban, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Proses ekstraksi tepung sagu dari air perasan hela, berlangsung sekitar 3 jam. Dalam sehari, total waktu yang terserap dalam perburuan sagu itu tak kurang dari 10 jam. “Itu juga satu hari itu, kami paling sedikit saja yang kami bawa pulang, karena waktunya sudah habis. Setengah karung kami bawa pulang untuk makan satu hari. Besok lagi kembali,” ungkapnya.

Dengan cara tradisional seperti itu, satu pohon sagu yang ditumbangkan, baru habis di tokok selama satu bulan. Total tepung yang dihasilkan, antara 15 sampai 20 tumang. Tumang adalah anyaman daun sagu yang dibentuk menyerupai keranjang, yang lazim digunakan untuk menyimpan tepung sagu setelah ditiris.

Drama perburuan ini terekam baik dalam radar PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit VII Kasim, ketika perusahaan itu melakukan kajian dengan pola pendekatan penghidupan berkelanjutan (Sustainability Livelihood Approach/SLA). 

Perusahaan yang mengolah crude lokal produksi daerah kepala burung Papua ini, beroperasi sejak Juli 1997. Dibangun di atas areal seluas kurang lebih 80 hektare, Pertamina Kilang Kasim bersebelahan dengan Kasim Marine Terminal (KMT) Petro China.

Kajian SLA di Kampung Klayas pada Februari 2021 ini,untuk mengetahui 5 aset atau modal utama (Sumberdaya Alam; Sumberdaya Manusia; Sosial; Finansial; Infrastruktur), sebelum Pertamina Kilang Kasim menentukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam kemasan program Corporate Social Responsibility (CSR).

Kajian dilakukan dengan analisis kualitatif, dan metode pengambilan sampel dengan purposive sampling serta dilanjutkan dengan metode snowball. Berdasarkan hasil kajian, diketahui modal tertinggi yang dapat dioptimalkan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Kampung Klayas, adalah Modal Sumberdaya Alam.

“Maka dalam penyusunan program CSR Pemberdayaan Masyarakat Kampung Klayas, PT Kilang Pertamina Internasional RU VII Kasim mengacu pada hasil kajian SLA yang telah dilakukan,” kata Dodi Yapsenang, Area Manager Communication, Relation, CSR & Compliance RU VII Kasim yang saya temui pada akhir November 2023. Kini Dodi sudah punya jabatan baru sebagai Area Manager Communication, Relations & CSR PT KPI Unit Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kampung Klayas merupakan salah satu wilayah yang berada di Ring 1 Pertamina Kilang Kasim. Akses menuju Kampung Klayas, hampir seluruhnya masih berupa jalan tanah yang akan sulit dilalui ketika hujan. Hanya kendaraan-kendaraan khusus saja yang dapat melintas. Sebagai salah satu wilayah terdekat kilang, perusahaan tersebut punya kewajiban membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasi.

Kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007, yang menyebut; setiap perusahaan yang berbadan hukum wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Panduan pelaksanaan tanggung jawab ini, juga tertuang dalam ISO 26000; sebuah dokumen panduan internasional mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atas aktivitasnya yang berdampak pada lingkungan.

Program CSR yang digulirkan Pertamina Kilang Kasim, terbagi dalam empat kelompok; Sosial, Infrastruktur, Peningkatan Kapasitas dan Pemberdayaan Masyarakat. Dari keempatnya, perusahaan condong pada program empowerment atau pemberdayaan masyarakat.

Ini merupakan improvisasi dan perbaikan dari praktik CSR yang sebelumnya cenderung melakukan kegiatan charity atau karitatif. Pada kegiatan pemberdayaan masyarakat, tujuan akhirnya adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri tanpa adanya ketergantungan dengan perusahaan.

Sentra Pengolahan Sagu Kampung Klayas bantuan dari PT Pertamina Kilang Internasional RU VII Kasim.

Tahun 2021, Pertamina Kilang Kasim menggandeng NGO Wahana Visi Indonesia, untuk bergerak di lapangan. Sejumlah warga dikumpulkan menjadi satu kelompok, dan diberikan pelatihan pengolahan sagu secara modern. Bangunan sebagai sentra pengolahan sagu, didirikan bersamaan digulirkannya bantuan mesin parut batang sagu, mesin potong serta motor gerobak roda tiga.  

“Kami ada 1 kelompok dengan anggota 10 orang. Kami ini sudah yang sekarang bergerak mengelola rumah produksi sagu,” kata Arkilaus, yang didapuk sebagai Ketua Kelompok

Sentuhan Pertamina Kilang ini membuat perubahan signifikan. Masyarakat tak lagi menebang pohon sagu dan membelahnya secara manual menggunakan kapak, tapi sudah beralih pakai gergaji mesin. Potongan batang sagu yang mereka sebut mud, dipikul ke tempat penampungan yang ada di pinggir jalan besar, untuk diangkut menggunakan motor gerobak roda tiga ke rumah produksi.

Satu pohon sagu di Malaban, rata-rata dipotong menjadi 10 sampai 12 mud. 1 mud kurang lebih sama dengan 1 meter.

Tiba di rumah produksi, mud di belah lagi kecil-kecil agar bisa masuk mesin parut untuk dijadikan hela (serbuk). Tugas memeras hela, ditangani mama-mama yang masuk sebagai anggota kelompok. 

“Kalau kami kerja seperti ini, satu pohon bisa habis sehari. Satu bulan, kami bisa hasilkan 60 sampai 70 tumang sagu,” kata Arkilaus.

Arkilaus Katumlas, Ketua Kelompok Pengolah Sagu ‘Persekutuan Kaum Bapak’ Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong Papua Barat Daya.

Sagu dan Budaya Papua

Sagu (Metroxylon sagu Rottb), merupakan sumber pangan yang stoknya cukup melimpah di Tanah Papua. Pohon ini tumbuh liar di hampir seluruh dataran rendah areal rawa, tepi sungai maupun lahan gambut. Sagu tumbuh dengan curah hujan 2.500-3.000 mm per tahun.

Saya kutip dari http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka, Mochammad Bintoro, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) menyebut, luasan lahan sagu Indonesia saat ini mencapai 5,2 juta hektare atau lebih dari 60 persen cadangan sagu global. Dari jumlah itu, 4,75 ha lahan sagu terdapat di Papua dan Papua Barat. Sisanya terdapat di Maluku, Riau, Kepulauan Riau dan Mentawai.

Cadangan sagu di Papua merupakan yang terbesar di dunia, namun selama ini yang dimanfaatkan tidak sampai 1 persen. Sebagian besar mati sia-sia.

Potensi pati sagu Papua ini sudah melebihi volume impor gandum nasional yang menurut data United States Department of Agriculture (USDA) pada tahun 2017/2018 mencapai 11,5 juta ton. Kata Bintoro,  jika industri tepung terigu mau memakai tepung sagu 10 persen saja sebagai campurannya, hal itu sudah bisa menghemat devisa negara.

Sebagai bahan pangan olahan, Bintoro bilang, pati sagu saat bisa diolah menjadi mi, kue, campuran bakso dan sosis. Industri soun di Cirebon, Jawa Barat, sudah lama menggunakan sagu. Di pasar global, tepung sagu diminati Jepang dengan mengimpornya dari Malaysia.

“Dari aspek kesehatan, tepung sagu juga bebas gluten sehingga baik untuk konsumen berkebutuhan khusus,” kata dia.

Bukan hanya menjawab kebutuhan bahan pangan dalam negeri, industri sagu nyatanya lebih ramah lingkungan dibandingkan industri berbasis hasil hutan lainnya, seperti sawit atau pengolahan kayu. Perkebunan sawit yang mono kultur, harus dilakukan pembersihan lahan bahkan juga dengan pengeringan gambut.

Sebaliknya, tanaman sagu justru tumbuh subur di lahan gambut maupun rawa-rawa. Regenerasi sagu juga tergolong cepat karena hidup berumpun. Setelah dipanen, di rumpun yang sama akan tumbuh anakan dua tahun kemudian, dan siap dipanen lagi. Secara alami sagu bisa tumbuh dengan tanaman lain tanpa pupuk pabrikan, pestisida maupun jenis obat tanaman lainnya.

Dalam menjaga Dusun Sagu Kampung Malaban dari kepunahan, sejak tahun 2020 Pertamina Kilang Kasim mengembangkan bibit sagu untuk ditanam kembali di hutan yang telah ditebang.

“Selain meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, konsep ini juga telah membuka wawasan masyarakat terkait produksi yang bertanggung jawab,” kata Ferdy Saputra, Area Manager Commrel, CSR & Compliance PT KPI RU VII Kasim, dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke saya, 25 Juli 2024.

Secara perkiraan Ferdy bilang, luas Dusun Sagu Kampung Malaban sekitar 100 hektare. Perkiraan ini mengacu pada area jelajah masyarakat Klayas, yang masuk ke dalam hutan sejauh maksimal 1 kilometer dari belantara yang terbentang sepanjang 2 kilometer.

Nahum Katumlas, anggota kelompok masyarakat pengolah sagu ‘Persekutuan Kaum Bapak’ Kampung Klayas Distrik Seget, Kabupaten Sorong, membawa mud di Dusun Sagu Kampung Malaban, Distrik Seget pada Kamis (30/11/2023).

Di kalangan mayoritas masyarakat Papua, sagu dikenal sebagai makanan pokok yang dipertahankan hingga kini. Dalam jamuan pesta maupun acara adat, masakan papeda yang diolah dari tepung sagu, tak pernah absen di atas meja. Sagu tak pernah terpisahkan dari budaya masyarakat Papua.

“Bagi masyarakat Papua, sagu tidak hanya sumber makanan pokok tetapi juga memberikan seperangkat emik, sumber pengetahuan dan sistem religi,” kata Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dalam risetnya yang saya dikutip dari https://www.researchgate.net/, Suroto menyebut, budaya sagu di Papua sudah dikenal sejak masa prasejarah. Ini dibuktikan dengan artefak yang berkaitan dengan budaya sagu di situs-situs hunian prasejarah, berupa wadah gerabah untuk menyimpan pati sagu dan gerabah untuk memasak sagu.

Budaya sagu juga masih berlangsung hingga saat ini di Papua, hal ini terlihat pada tradisi menokok sagu, rumah gaba-gaba (rumah tradisional) yang menggunakan batang pelepah sagu sebagai dinding dan kulit batang sagu sebagai lantai. Kulit batangnya juga dipakai untuk jalan dan kayu bakar, kerajinan berbahan daun sagu, briket arang sagu, dan kuliner sagu.

Tumbuhan ini juga menjadi penanda identitas, batas wilayah, hingga berfungsi dalam ritual dan adat. Sagu bahkan selalu ada dan memegang peran kunci dalam setiap ritual atau festival yang diadakan etnis-etnis di dataran rendah Papua. Hasil penelitian menunjukan bahwa sagu merupakan tanaman penting orang Papua.

Kemandirian Ekonomi Masyarakat

Sentuhan Pertamina Kilang Kasim dalam mengolah sagu di Kampung Klayas, diakui Nahum Katumlas, membawa perubahan signifikan atas pola tradisional yang telah berjalan secara turun temurun. Melalui program Pemberdayaan Masyarakat ini, Pertamina Kilang Kasim melakukan dorongan yang berdampak pada roda perekonomian masyarakat berputar lebih laju.

“Dengan jarak jauhnya kami mencari sagu akhirnya itu sudah dekat. Dalam arti su ada mesin, ada (motor) roda tiga. Hasilnya juga sudah memuaskan dari awalnya kami masih manual. Sampai saat yang ada ini kami bisa merasa puas, karena hasilnya itu lebih bagus,” ungkap Nahum.

Jika dulunya satu pohon sagu baru habis di tokok selama satu bulan, saat ini Nahum bilang, sudah ia dituntaskan hanya dalam waktu satu pekan. Hasil tepung sagu yang diperoleh pun lebih maksimal. Dari setiap 5 mud batang sagu, tepung yang dihasilkan rata-rata 10 sampai 20 tumang. “Kalau sampai habis satu pohon, itu bisa 50 tumang,” tukasnya.

Salah satu langkah yang ditempuh Pertamina Kilang Kasim dalam membantu Nahum dan  kelompoknya memasarkan hasil produksi sagu, adalah membentuk supply chain dalam area Distrik Seget maupun di luar Distrik Seget.

Sejak tahun 2023, olahan sagu telah dikirim ke Kota Sorong untuk dijual di Pasar Remu. Kelompok telah dihubungkan kepada pengepul sagu di Kota Sorong. Satu tumang dibanderol Rp 50 ribu.

Ferdy Saputra, Area Manager Commrel, CSR & Compliance PT KPI RU VII Kasim menyebut, tahun ini pihaknya mendorong produktivitas produk lokal di Distrik Seget melalui skema interconnected village, yang mana setiap kampung akan memiliki 1 produk unggulan (one village one product) untuk mewujudkan ketahanan pangan lokal di Distrik Seget.

Arkilaus Katumlas, Ketua Kelompok Rumah Sagu “Persekutuan Kaum Bapak” Kampung Klayas menyebut, hasil penjualan tepung sagu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anggotanya. Di Kampung  ini baru ada 1 kelompok, dengan 10 orang anggota, laki-laki dan perempuan dengan pembagian tugas yang berbeda. Anggota laki-laki bekerja menebang pohon sagu di hutan hingga memarut batang sagu di rumah sentra pengolahan, sedang anggota perempuan, memeras hela di goti.

Seorang mama Papua, anggota kelompok masyarakat pengolah sagu Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, memeras hela di Sentra Pengolahan Sagu Kampung Klayas, Kamis (30/11/2023).

Uang dari penjualan hasil produksi, tidak semuanya dibagikan habis ke anggota. Tapi disisihkan sebagian, untuk biaya operasional berikutnya. Biaya pembelian BBM mesin potong (chainsaw), motor roda tiga maupun mesin parut batang sagu, semua sudah diamankan lebih dulu. Termasuk uang simpanan untuk perbaikan mesin jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan, dan juga uang gula kopi yang menjadi logistik penyokong selama proses produksi.

Arkilaus berucap syukur atas apa yang ia dan kelompoknya terima dari Pertamina Kilang Kasim, yang telah membantu kemudahan dalam mengolah sagu.

“Pribadi saya sendiri mungkin saya tidak bisa ambil barang ini (peralatan pengolah sagu,-red). Saya perlu uang banyak untuk bisa beli. Tapi saya rasa minta banyak terima kasih kepada Pertamina, dengan bantuan ini semua dibantu oleh Pertamina, apa ee… mesin maupun bahan bakar, mereka support untuk membantu kami dalam pekerjaan ini,” kata Arkilaus.

Proses pengolahan sagu yang cepat dengan hasil melimpah di Kampung Klayas, tak pelak membuat girang kaum ibu di wilayah itu. Endemina Katumlas, seorang mama Papua yang tinggal di Kampung Klayas mengenang, dulu terbilang susah mendapatkan tepung sagu di pasar tradisional Klayas. Padahal, tak jauh dari tempat itu banyak tumbuh pohon sagu.

Pasalnya, masyarakat yang pergi ke hutan untuk tokok sagu, lazimnya hanya cukup untuk dimasak dan dimakan sekeluarga. Selain di olah menjadi papeda, Endemina bilang, biasa mengolah tepung sagu menjadi Sagu Lempeng, kue-kue kering untuk cemilan sembari minum teh.

“Maka dari itu kita bersyukur untuk kegiatan yang ada sekarang dari Pertamina, bisa bantu kita sampai hasil yang ada ini. Dulu kita setengah mati, kita jalan jauh ke hutan sampai capek. Mungkin cuma satu kali jalan, karena dusun sagu ini jauh,” kata Endemina, yang juga Bendahara Kampung Klayas, saat berbincang dengan saya pada 30 November 2023.

Pasar tradisional Kampung Klayas, Distrik Seget Kabupaten Sorong Papua Barat Daya, yang menjadi salah satu sarana menjual tepung sagu hasil olahan kelompok pengolah sagu ‘Persekutuan Kaum Bapak’.

Dalam rangka diversifikasi produk yang dihasilkan dari pengolahan sagu serta memberikan nilai tambah terhadap produksi sagu yang ada, Pertamina Kilang Kasim melatih masyarakat untuk memproduksi sagu kering, yang merupakan salah satu makanan khas Papua.

“Kami juga melatih masyarakat mengkreasikan kembang goyang sagu (kue berbahan dasar sagu,-red),” kata Ferdy Saputra, Area Manager Commrel, CSR & Compliance PT KPI RU VII Kasim.

Diversifikasi ini juga bertujuan untuk menanggulangi permasalahan masa simpan sagu yang terbatas, dan sulitnya mobilisasi sagu dengan tumang. Dengan dijadikan produk olahan, masa simpan menjadi lebih panjang

Kehadiran Pertamina Kilang Kasim dengan program pemberdayaan masyarakat, diakui Wempi Katumlas telah membawa banyak perubahan pola hidup dan ekonomi warganya. Wempi membandingkan kondisi saat pertama kali ia ditunjuk sebagai Kepala Kampung saat Klayas baru terbentuk pada tahun 2015, dengan kondisi Kampung Klayas saat ini ketika ia kembali dipercaya menjabat.

Sebagai perintis berdirinya Kampung Klayas, Wempi merasakan sendiri bagaimana kiprah Pertamina Kilang Kasim memperhatikan kebutuhan masyarakat. Awalnya, kata Wempi, perusahaan ini membantu buku dan tas untuk anak-anak yang masih duduk di bangku SD YPK Klayas. Saat sekolah ini kekurangan guru, Pertamina Kilang Kasim menyiapkan tenaga pengajar dari luar untuk mengisi.

Bagi anak-anak Kampung Klayas yang melanjutkan pendidikan ke SMP maupun SMA, Pertamina Kilang Kasim memberikan bantuan longboat sebagai sarana transportasi ke ibukota distrik di Seget. 

“Kalau untuk kesehatan, yang sa tahu juga ada itu dari Pertamina Kilang. Ada bantuan makanan tambahan kapa itu untuk anak-anak balita. Intinya, bantuan di sesuaikan dengan programnya mereka,” kata Wempi.

Di sektor ketahanan pangan, selain pendampingan dan bantuan alat pengolah sagu, Pertamina Kilang Kasim juga membantu pengadaan bibit sayuran dan benih ikan air tawar untuk dikelola masyarakat Klayas.

Maria Kamumpat, seorang warga Kampung Klayas Distrik Seget Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, merapikan bibit cabai bantuan dari PT KPI RU VII Kasim, Rabu (29/11/2023).

Perhatian yang terus bergulir dari Pertamina Kilang Kasim, diharapkan Wempi membuat warganya bisa berubah dan berkembang. Sebab, tidak selamanya perusahaan akan membantu masyarakat secara terus menerus dengan bantuan yang sama.

“Selama ini banyak sekali bantuan dari Pertamina. Seperti bantuan bibit-bibit sayur, ikan dan lain sebagainya, kalau misalnya itu tidak dimanfaatkan dalam arti dikelola secara baik oleh masyarakat, ya pasti tidak akan berhasil juga. Artinya ini kembali ke masyarakat sendiri, kalau masyarakat tidak sambut itu dengan artinya semangat untuk memperoleh hasilnya? Karena tidak mungkin artinya secara bantuan itu diberikan terus kalau kita tidak memanfaatkan, kita tidak kembangkan dia, apalagi seperti masalah ketahanan pangan ini,” urai Wempi.

Di sisi lain, atas program yang sudah berhasil di jalankan masyarakat, Wempi berharap Pertamina Kilang Kasim lebih giat lain melihat kebutuhan masyarakat ke depan. Tidak terbatas pada bantuan atas program yang ada, namun ditingkatkan pada program lain melalui CSR, sehingga ada perubahan lebih baik terhadap masyarakat. Kalau ini jalan, Wempi bilang, artinya kehadiran perusahaan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Kata Wempi, “Saya secara pribadi bahkan sebagai Kepala Kampung mewakili warga masyarakat Kampung Klayas, mengucapkan banyak terima kasih sekali, banyak banyak terima kasih, karena kenapa, Pertamina selama ini nih sekalipun berada di wilayah adat ini sudah berapa tahun, mereka punya bantuan terhadap masyarakat ini sebenarnya luar biasa”.

 “Terima kasih banyak buat Pertamina atas bantuan, perhatian, kepedulian yang selama ini berjalan secara baik.  Hanya kembali kepada warga saya, harus sadar dan mereka mau untuk dikembangkan, mereka mau untuk mereka sendiri juga merasakan itu dan mereka juga harus sambut itu dengan baik sehingga Pertamina juga semangat untuk membantu masyarakat dengan semangat,” ucap Wempi, mengakhiri perbincangannya dengan saya, 29 November 2023. (Tantowi Djauhari)

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here