DEZELFDE STRAAT DIE NAAR HET ZIEKENHUIS LEID*)
(Jalan yang Sama yang Menuju ke Rumah Sakit)
“Mijn aanstelling bij de Nederlandse Augustijner Missie in Papoea kwam niet als een verrassing en accepteerde ik als een uitnodigend avontuur. Twee jaar voor mijn priesterwijding was besloten dat ik daarheen zou gaan, en mijn seminarieprogramma werd toen uitgebreid met culturele antropologie, taalstudie, een medische cursus, enz.”
Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
PADA 2020 lalu, Pater Anton Tromp, O.S.A. atau lengkapnya Pater Anton Bartolomeus Maria Tromp, O.S.A. genap memasuki 50 tahun (golden jubilee) pelayanan missi di Tanah Papua. Lelaki kelahiran Belanda pada 20 Maret 1945 itu, menerima panggilan kerasulan untuk di Tanah Papua sejak 1970. Saat kewafatannya pada Senin, 8 Mei 2023, Pastor Ton –demikian ia dipanggil– genap berusia 78 tahun.
Nama Bartolomeus yang melekat pada nama lengkapnya berasal dari bahasa Arami, bar tolmay. Kata itu berarti “Putra Tolmay”. Bartolomeus dikenal juga dengan sebutan Natanael dalam Injil Yohanes Pasal 2. Bartolomeus berasal dari Kota Kana, Provinsi Galilea, Israel Utara.
Menurut kisah, Bartolomeus wafat di Albanopolis, Armenia. Bartolomeus merupakan pelindung bagi Armenia, penyamak kulit, penjahit sepatu, penjual buku dan penjual daging.
Sedangkan nama Maria, tentulah nama Bunda Maria, yang dalam bahasa Ibrani berarti: “wanita bangsawan”, “saleh” dan “bintang laut”. Pastilah Bunda Maria yang dimaksud adalah matrekokos atau theotokos dari Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru, ada beberapa sosok yang disebut Maria. Misalnya, Maria Betania, Maria Magdalena dan Maria Kleofas.
Menurut tuturan Pater Tromp sendiri, panggilannya ke Tanah Papua, bukanlah sesuatu yang istimewa. Mengapa? Dalam salah satu tulisannya, Pater Ton menulis: “Mijn aanstelling bij de Nederlandse Augustijner Missie in Papoea kwam niet als een verrassing en accepteerde ik als een uitnodigend avontuur. Twee jaar voor mijn priesterwijding was besloten dat ik daarheen zou gaan, en mijn seminarieprogramma werd toen uitgebreid met culturele antropologie, taalstudie, een medische cursus, enz.”
Pater Ton menyatakan, “Penunjukan saya ke Misi Augustinian Belanda di Papua tidak mengherankan, dan saya menerimanya sebagai sebuah petualangan yang menantang. Dua tahun sebelum pentahbisan imamat saya, telah diputuskan bahwa saya akan pergi ke sana, dan program pendidikan seminari saya kemudian diperluas hingga mencakup antropologi budaya, studi bahasa, kursus kedokteran dan lain-lain.”
Karena saat itu Pater Ton masih baru berusia 24 tahun, maka beliau banyak belajar dengan membaca buku-buku mengenai Papua dan juga menggali pengalaman dari para missionaris senior.
Dalam kata-kata Pater Ton sendiri disebutkan: “Voor mijn inburgering in West-Papoea heb ik veel gelezen en geluisterd naar ervaren zendelingen. Ik probeerde geen vooroordelen te hebben, open te staan, gewoon ‘aanwezig’ te zijn en alles in me op te nemen. Meer luisteren dan praten, en meer vragen dan antwoorden.”
Berdasarkan hasil kesepakatan antara Provinsial dan Keuskupan Manokwari, maka setelah tiga atau empat tahun ditugaskan di Bintuni, Papua Barat, Pater Ton akan melanjutkan pendidikan lagi. Tentu saja suatu pendidikan yang akan membantunya dalam pekerjaan missi di Tanah Papua. Akhirnya gelar Master Sosiologi pun diraih oleh Pater Ton dari The Asian Social Institute Manila, Filipina.
Awal Pelayanan di Teluk Bintuni
Pater Ton dikenal sebagai seorang pendidik dan pekerja keras. Meskipun beliau bukan orang pertama yang merintis, namun kiprah dalam bidang pendidikan dikenal secara luas di Tanah Papua khususnya di Vogelkop (Kepala Burung).
Saat pertama kali ditugaskan sebagai missionaris di Teluk Bintuni, Ordo Santo Agustinus (Augustinian) memang sudah berkembang. Beberapa pendahulunya telah berkarya disini.
Pater Ton berjumpa dengan Pater Bernandus Noords, O.S.A. Selama hampir empat tahun, Pater Ton menjadi asisten Pastor Paroki di tengah hutan kawasan Teluk McCluer, Teluk Bintuni.
Dalam kata-katanya sendiri, Pater Ton menerangkan: “When I arrived, it was straight to a jungle parish for me – three and a half years in 1970-1973 as the assistant parish priest in Bintuni, at the MacCluer Gulf, the southern part of the so-called Bird’s Head on any map of Indonesia.
The pastor there was Fr Ben (Bernardus) Noords O.S.A., the only European in the area. He already had been there for eight years. It was unfortunate that Bintuni in those years was the only parish/mission in the diocese that had no Religious Sisters.
Bintuni was then a town of approximately 3,000 people (now 15,000). As outstations, there were about thirty villages, twenty of them Catholic, with approximately another 15,000 people. It is a coastal town at the mouth of the Bintuni River near the Bintuni Bay or MacCluer Gulf. From Bintuni we had to minister to about twenty villages located along the rivers of the north and south coast of Bintuni Bay.
Some villages could only be reached by boat, and others only by trekking through the jungle. The people had dug-out wooden canoes. The Church had its own motorboat with a pair of thirty-horsepower engines, and it could carry about fifty tons of freight. The government, police and military had no boat; they had to ask for assistance from the Church.”
Terkait dengan sarana transportasi, Pater Ton menggambarkan sebagai berikut:
“Sebuah kapal perintis dari Sorong akan singgah sekitar dua bulan sekali. Keuskupan Katolik di Papua Barat memiliki pesawat ringan sendiri, pada tahun-tahun itu tiga atau empat Cessna 185 beroperasi sebagai Associated Mission Aviation (AMA). Sebuah pesawat Cessna datang ke Bintuni sekali atau dua kali setiap dua bulan. Pendeta harus memotong landasan rumput (800 kali 40 meter) setiap dua atau tiga minggu.”
Menurutnya, tidak ada layanan listrik di Bintuni. Namun, kompleks gereja memiliki generatornya sendiri; selain itu, dua toko Cina memiliki satu-satunya generator lain di distrik tersebut. Juga tidak ada pasokan air umum (PDAM); kita harus menggali sumur sendiri, menampung air hujan, atau mengambil air minum dari sungai terdekat, seperti yang dilakukan setiap desa.
Mengenai makanan, Pater Ton menyebutkan bahwa makanan lokal, atau makanan pokoknya adalah sagu (tepung pohon sagu) dan ubi jalar, ubi dan singkong; punya banyak ikan, dan sesekali babi atau rusa. Beras diimpor, tetapi tidak cukup untuk bisa makan setiap hari. Semuanya sangat terbatas, misalnya, karena tidak memiliki gula selama beberapa bulan, maka batang tebu pun diolah menjadi gula.
“Kami mencoba mengunjungi setiap desa setidaknya setiap tiga bulan sekali. Gaji untuk para guru (juga untuk para guru di sekolah negeri) diberikan oleh pastor paroki selama kunjungannya ke desa-desa. Pendeta juga membawa perbekalan untuk guru-keluarga dan katekis (apa saja yang dapat Anda pikirkan, dari parang besi dan kapak hingga pakaian dalam, dari permen hingga kail, dll).”
Menurut Pater yang gemar membaca dan menulis reportase tersebut, bagian dari pekerjaan penggembalaan terdiri dari perdagangan, berurusan dengan persediaan makanan, konstruksi dan pemeliharaan mesin dan bangunan.
Sebagian waktu dihabiskan untuk komunikasi, berjalan-jalan di hutan, bepergian dengan perahu, memotong rumput di lapangan terbang, memperbaiki mesin pemotong rumput dan generator, berurusan dengan solar dan minyak tanah (sering dikirim dengan pesawat terbang).
Ordo Santo Agustinus (O.S.A) di Tanah Papua
Yesuit Belanda Cornelis Le Cocq d’Armandville (1844–1896) adalah orang pertama yang membawa iman di Nederlandse New Guinea pada abad ke-19. Atas permintaan beberapa kepala suku dari Irian untuk membuka sekolah secara khusus, ia mendirikan sekolah pertama di dekat Fak-Fak, yang berasal dari Kepulauan Kei.
Sayangnya, pekerjaan misionarisnya terhenti setelah kematiannya dan baru dilakukan lagi setelah Perang Dunia Pertama oleh para Fransiskan (OFM) dan misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Lusinan sekolah dengan demikian didirikan di sekitar Fak-Fak, Kokas dan Babo dengan guru-guru yang berasal dari perguruan pelatihan Langgur di Kepulauan Kei.
Pada awal abad ke-20, sebagian besar orang Papua disebut bukan Kristen atau Muslim, tetapi kampung-kampung yang sudah memeluk Islam mempertahankan kepercayaan yang diperoleh melalui para pedagang dari Maluku (Ambon atau Ternate).
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, banyak perubahan terjadi. Pada tahun 2019, 73 Agustinus bekerja di Papua. Diantaranya 27 imam, 3 diaken, 3 bruder dan 12 bruder. Usia rata-rata jauh lebih rendah daripada di Eropa: ada 16 anggota antara 40 dan 74 tahun dan 57 anggota antara 19 dan 39 tahun. 7 calon (postulan) belum dihitung dalam hal ini.
Kecuali Pater Ton Tromp, semuanya berasal dari Indonesia, tetapi tidak semuanya lahir di Papua Barat. Rumah induk Kongregasi Suster Agustinian Ketapang terletak di Kalimantan (Borneo). Jemaat memiliki lebih dari 100 anggota. Ada 14 Agustinian dari Ketapang, empat di antaranya adalah orang asli Papua.
Ordo Agustinian memiliki tujuh rumah di Papua-Barat, termasuk biara di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah pertama yang didirikan oleh Agustinian Belanda, Augustinianum di Sorong, sekarang menjadi milik Keuskupan Sorong. Selanjutnya, dua sekolah Agustinian didirikan dengan bantuan sumbangan dari Belanda, yang dimiliki oleh vikariat Agustinian.
Sekolah itu berlokasi di Manokwari: SMA Villanova School Manokwari-Susweni dengan fasilitas asrama (untuk kelas 10-12) dan untuk siswa termuda SMP Villanova School Manokwari-Maripi dengan fasilitas asrama untuk kelas 7-9. Pater Ton Tromp rutin menulis buletin tentang suka duka mengelola sekolah-sekolah di Manokwari tersebut.
Dezelfde Straat Die Naar Het Ziekenhuis Leid
Saat mengamati foto langka Pater Ton yang Penulis dapatkan dari sumber Belanda, seolah foto itu menjadi suatu nubuatan akan tanda kepulangannya ke Sorga. Dalam foto itu ditampilkan Pater Ton sedang berada dekat sebuah mobil Toyota berwarna biru didampingi oleh seorang mirip orang Papua.
Dalam keterangan foto itu, terdapat tulisan “Dezelfde Straat die Naar het Ziekenhuis Leid” (Jalan yang Sama yang Menuju Rumah Sakit). Tidak ada keterangan dimana lokasi foto jadul tersebut diambil, tetapi kemungkinannya itu di salah satu rumah Paroki Agustinian di Sorong atau Manokwari atau malah di Nijmegen, Belanda.
Setelah mendengar kabar kewafatan Pater Anton (Ton) Bartolomeus Maria Tromp, O.S.A, pada Senin, 8 Mei 2023, penulis pun teringat dengan foto itu. Foto itu memang langka dan satu-satunya dalam sumber dokumentasi Belanda itu. Selain tak ada keterangan titi mangsa dan juga lokasi, foto itu juga secara singkat hanya menyebut kata-kata tersebut.
Berdasarkan keterangan pada poster kewafatan Pater Anton Tromp, O.S.A., jenazah beliau –setelah dilakukan Misa Requiem selama tiga hari berturut-turut– akan dimakamkan di Biara yang terdapat di Komplek SMP Villanova Maripi, Manokwari. Ini menggenapi tulisan yang terdapat pada foto langka beliau, “Dezelfde Straat die Naar het Ziekenhuis Leid” (Jalan yang Sama yang Menuju Rumah Sakit). **
*) Ditulis untuk mengenang awal pelayanan R.P. Anton Bartolomeus Maria Tromp, O.S.A. selama 53 tahun di Papua Barat.
**) Penulis merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI) Jakarta. Sementara tinggal di Manokwari, Papua Barat.