Suku Sumuri dan Hidupnya di Persimpangan

0
322
Pelabuhan di Distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni.
Spread the love

Oleh : Econ Waprak Masipa – Wakil Ketua Komite Transformasi dan Investasi Suku Sumuri

PADA umumnya orang mengira bahwa kemiskinan dan penderitaan itu sebatas menyangkut harta kekayaan. Orang yang tidak memiliki harta disebut sebagai orang miskin dan kemudian hidupnya dianggap menjadi menderita.

Padahal penderitaan tidak saja dirasakan oleh orang miskin tetapi juga oleh siapa saja, termasuk orang yang memiliki kekayaan melimpah. Banyak orang mengira bahwa orang kaya selalu bergembira dan bahagia. Padahal bisa jadi justru sebaliknya, yaitu menderita dengan kekayaannya,

Seperti halnya masyarakat Suku Sumuri, salah satu suku asli dari 7 suku pemilik ulayat di Kabupaten Teluk Bintuni. Kekayaan yang ada di atas tanah ulayat Suku Sumuri, menjadi harapan yang tidak pasti. Kami tidak  Menyalahkan Orang lain

Penderitaan itu letaknya di batin suku Sumuri , atau di dalam hati setiap orang  Sumuri. Oleh karena tidak kelihatan, maka tidak semua orang tahu bahwa orang Sumuri  sedang menderita. Orang biasanya hanya mampu melihat aspek lahir atau yang tampak, sehingga hanya sebatas mengira saja.

Dikiranya, oleh karena tampak memiliki banyak harta, atau banyak uang, maka selalu bergembira. Anggapan itu ternyata tidak selalu benar.

Ada kalanya orang seberang , dan bahkan pejabat tinggi sekalipun juga merasakan kegembiraan  melihat hati Suku Sumuri. Menderita oleh karena tekanan pekerjaan yang sedemikian berat, yakni apa yang dilakukan dirasakan tidak bisa memuaskan banyak orang, banyak kritik, cemoohan, dan lain-lain.

Orang Sumuri mengalami keadaan seperti itu akan lebih menderita oleh karena perasaannya itu tidak diketahui oleh orang lain. Keadaan itu persis orang yang sedang sakit gigi. Rasa sakitnya bukan main, tetapi orang lain tidak mengetahuinya.

Orang Sumuri  harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan bahkan jika mungkin bisa membantu orang lain sekalipun masyarakat Sumuri hidup di bawah kekayaan  asapnya api gas Kilang LNG .

“Dulu orng tua kami kasih tanah dan hidup, karena berharap kami hangan makan di daun lagi tetapi makan di atas piring sama-sama satu meja. Namun semua hanya hayalan mereka, entah apa salah mereka. Sampai harapan mereka bukan untuk kami”.**

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here