“Laki-laki muda, Komando Trikora
Mari Macan Tutul, mari Irian Barat
Mama sudah bilang, anak jang kau pergi
Nanti kau pergi, kau mati disana
Aduh mama eee, ikut Komando Trikora
Untuk membebaskan Irian Barat
Tandanya setia pada Negara
Nekat karena benderaku,
Merah Putih warnanya.”
Catatan Perjalanan Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan di Babo** (Bag. 4)
Baca juga catatan perjalanan bagian lain disini
USAI Perang Pasifik yang memporakporandakan Babo, 15 tahun kemudian Babo mulai ditata seperti kondisi semula. Belanda kembali menguasai Babo dan menata pemerintahan disana. Hingga tahun 1960, Babo menjadi kota yang ramai lagi. Orang-orang mulai berdatangan kembali dan tinggal di Babo.
Denyut perekonomian dan aktifitas masyarakat kembali normal. Tempat tinggal yang hancur dibangun kembali, begitu juga fasilitas umum bagi masyarakat. Hanya saja, tata ruang Babo sedikit mengalami perubahan. Jalan-jalan tidak seperti semula, saat sebelum pecah Perang Pasifik. Bahkan, ada jalan yang lokasinya bergeser dari tempat semula.
Begitu juga bangunan lain semisal gereja dan pastori. Bila pada sebelum Perang Dunia II terletak di dekat Kantor Distrik lama, maka kini sudah tidak berada di tempat semula. Banyak perubahan terjadi sepanjang 15 tahun itu. Akhirnya, Babo juga memasuki masa TRIKORA. Seperti terjadi di tempat lainnya –terutama Sorong, Fakfak dan Kaimana– di Babo pun banyak yang ingin bergabung ke pangkuan NKRI.
Pihak keamanan Belanda atau KNIL yang pada masa Perang Pasifik di Babo melarikan diri dengan kapal NNGPM ke Australia dan bergabung dengan tentara Australia –dan kemudian dikirim untuk menggempur Jepang di Morotai, telah diganti dengan personel baru lagi. Hingga tahun 1960 itu ada belasan prajurit KNIL yang kembali ditugaskan di Babo.
Mengenal Definisi Pejuang Trikora
Lima belas tahun sejak menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1982 tentang Penghargaan bagi Pejuang Pembebasan Irian Barat dari Penjajahan Belanda. Keppres tersebut ditetapkan di Jakarta pada 1 September 1982.
Di dalam Keppres tersebut, diatur definisi mengenai Pejuang Tri Komando Rakyat (TRIKORA), yang dibagi menjadi Periode Persiapan, Periode Trikora dan Periode PEPERA. Dalam Keppres mantan Panglima Operasi Mandala yang diamanatkan melaksanakan Operasi TRIKORA untuk membebaskan Irian Barat itu juga diatur tata cara pemberian penghargaan bagi para Pejuang TRIKORA.
Bagi Pejuang yang sebelumnya telah mendapatkan penghargaan serupa karena ikut dalam Operasi TRIKORA –baik periode Persiapan, TRIKORA maupun PEPERA– dikecualikan dari penghargaan ini. Nominal uang penghargaan dan piagam disesuaikan dengan klasifikasi yang telah ditentukan: milai dari Golongan I-A hingga III-C.
Begitu juga, pemberian Penghargaan pun dilakukan secara berbeda. Ada yang diberikan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) bagi personel ABRI/TNI; oleh Kepada Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN) bagi pegawai negeri sipil dan terakhir oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bagi yang tidak termasuk pada dua klasifikasi di atas.
Periode Persiapan adalah periode antara 17 Agustus 1956 hingga 18 Desember 1961. Periode TRIKORA dimulai sejak 19 Desember 1961 hingga 1 Mei 1963. Sedangkan Periode PEPERA dimulai sejak 1 Mei 1963 hingga 19 November 1969. Batasan umur saat terlibat minimal 16 tahun dan partisipasi minimal satu bulan, juga menjadi persyaratan.
Pejuang dan Sukarelawan Trikora di Babo
Bila kita mengunjungi Babo, maka di Lapangan TRIKORA akan kita jumpai Tugu Pejuang TRIKORA Distrik Babo. Lokasi Tugu itu berada persis di depan Penginapan Risaturi. Bila memperhatikan struktur bangunan dan lokasinya, tempat ini dipastikan merupakan pusat pemerintahan lama atau pusat pemerintahan di masa Belanda.
Hal ini dibenarkan oleh keterangan narasumber, di antaranya Abdul Rasyid Fimbay, Jumat Manuama dan Abdillah Fimbay. Sebab, ada kebiasaan dari Belanda untuk menempatkan lokasi pemerintahannya dalam satu kawasan. Misalnya, rumah kepala pemerintahan (hoofd van platselijk bestuur), kepala polisi (hoofd van politiewoning), asrama polisi (politiebarak), dan rumah obat (een polikliniek) dan rumah mantri (mantriwoning).
Menurut keterangan dalam prasasti di Tugu Pejuang TRIKORA tersebut, ada beberapa nama yang gugur dan meninggal serta menjadi sukarelawan TRIKORA. Mereka yang gugur merupakan prajurit TRIKORA, di antaranya Praka Wos Rumaserang, Praka Gerson Esuru, Praka H.A. Fimbay dan Praka A. Keliobas. Sedangkan yang meninggal adalah Pratu Arsad Kilian, Pratu Andy Dullah Niru dan Salim Fimbay (bekas personel KRI Macan Tutul).
Surat Keputusan yang mencantumkan nama-nama tersebut sebagai Pejuang TRIKORA ditandatangani oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat No. KPTS-1182/10/1963 tanggal 7 Oktober 1963. Saat itu, Jenderal Abdul Harris Nasoetion yang menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Sedangkan untuk nama-nama sukarelawan TRIKORA dan tergabung dalam Gerakan Rakyat Irian Barat (Grib), tercatat sebagai berikut:
1. Abdul Kadir R. Fiawe;
2. Rubaya Alkatiri;
3. Rahban Puara;
4. Abut Naury;
5. Idris Manuama;
6. Said Kamisopa;
7. Udin Kamisopa;
8. Hamis Rumagesan;
9. Suraji Manuama; dan
10. Salim Rafideso.
Perjuangan mereka yang gugur atau kemudian meninggal dalam Operasi TRIKORA di Babo mirip dengan pejuang TRIKORA di tempat lainnya. Mereka mengalami masa-masa sulit, yang bahkan tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bagi paratroop atau prajurit yang diterjunkan dengan parasut, kadang penderitaan itu lebih hebat lagi. Selain harus tersangkut di pepohonan yang tinggi selama berhari-hari, mereka juga terpisah dari teman-temannya.
Berhari-hari hidup sendiri di tengah belantara Papua, tentu akan menimbulkan dampak psikologis. Banyak prajurit TRIKORA yang kemudian mengalami halusinasi. Seolah mereka melihat suatu perkampungan yang indah, padahal itu adalah jurang yang terjal. Persediaan makanan kadang juga menipis atau habis sama sekali. Tidak jarang, untuk menyambung hidup, mereka harus memakan tumbuhan atau hewan liar yang ada. Bahkan, ada cerita miris, sepatu kulit mereka direbus untuk dapat dimakan.
Pejuang Trikora Bukti Nasionalisme di Babo
Menurut folklore yang berkembang di masyarakat Babo dan kawasan sekitarnya, Bung Karno pernah berada di Gunung Nabi untuk melakukan pembicaraan khusus dengan perwakilan orang-orang Papua. Itulah sebabnya, menurut narasumber di Babo, orang asli Papua yang berada di kawasan ini –yang memiliki sosio-kultur yang sama– kemudian mendukung perjuangan Bung Karno dalam Operasi TRIKORA tersebut.
Seperti di tempat lainnya di Tanah Papua, nama Bung Karno memiliki kharisma dan seolah menjadi legenda. Folklore Bung Karno ada di Boven Digoel (Merauke), di Ayamaru (Maybrat) dan di Gunung Nabi (kini, Kaimana). Mereka meyakini bahwa Bung Karno pernah berada di beberapa lokasi tersebut. Secara antropologis, bila 90% orang percaya, maka itu menjadi sebuah fakta.
Bahkan, sesuai sifat folklore, Bung Karno pun dikatakan dan dilekatkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya melakukan perjalanan kaki dari Ayamaru ke Teminabuan selama 12 jam lamanya; mengalahkan ular naga di Dana Framu (Ayamaru, Maybrat); menerima keris dari marga Werbete di Gunung Nabi dan lain sebagainya.
Terlepas dari itu semua, nampak bahwa semangat nasionalisme di tempat-tempat itu sangat tinggi termasuk di Babo. Semangat nasionalisme yang muncul sejak masa TRIKORA bahkan jauh sebelumnya ini hendaknya dapat terus dipupuk untuk kemajuan pembangunan di daerah tersebut. Menghargai jasa para Pejuang dan Sukarelawan TRIKORA di Babo sama artinya dengan menghargai jasa para Pahlawan kita. [selesai]
**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan yang juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI). Domisili di Manokwari, Papua Barat.