TELUK WONDAMA, jurnalpapua.id – Aliansi Peduli Masyarakat Adat dan Lingkungan Papua Barat, mengadukan F.H R, Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat, Ketua Koperasi Masyarakat ‘Kami Nassey’ dan manajemen PT Kwoor Arta Jaya (PT KAJ) ke Balai Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) wilayah Maluku dan Papua.
Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat dan Ketua Kopermas Kami Nassey dilaporkan terkait dugaan pemalsuan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor No. 13/Menhut-II/2014 tentang Pelepasan Kawasan Hutan. Surat ini diterbitkan untuk PT Berkat Setiakawan Abadi (PT BSA), namun dipalsukan sebagai SK untuk Pelepasan Kawasan Kutan Kopermas Kami Nassey.
Sedangkan PT KAJ, perusahaan milik keluarga Kardinal ini ikut dilaporkan karena perannya sebagai kontraktor yang menjalin kerja sama dengan Kopermas Kami Nassey untuk menjalankan bisnis kayu di Kampung Werianggi Kabupaten Teluk Wondama.
PT Kwoor Artha Jaya merupakan perusahaan yang salah satunya fokus pada bisnis kehutanan. Komisaris perusahaan ini adalah Rob Raffael Kardinal, anak dari salah seorang politisi yang duduk di kursi DPR RI. Sedangkan direktur PT KAJ dijabat oleh Roberth Yo, yang juga tercatat sebagai Manager Kopermas Kami Nassey.
Kopermas Kami Nassey diduga merupakan Koperasi Ilegal karena tidak memiliki Badan Hukum yang sah dan tidak terdaftar baik pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Dinas Perindagkop) Kabupaten Teluk Wondama maupun pada Kementerian Koperasi dan UMKM.
“Laporan pengaduan tersebut berisi temuan lapangan adanya dugaan pemalsuan Izin Menteri Kehutanan untuk pelepasan kawasan hutan dan adanya Kopermas ilegal yang sedang beroperasi di Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat,” kata Sulfianto Alias, Ketua Perkumpulan Panah Papua kepada media ini, Senin (6/9/2021).
Selain Panah Papua, yang juga turut melaporkan praktik illegal tersebut ke Balai Gakkum Wilayah Maluku Papua ini adalah Darius Ayamiseba, Perwakilan Mahasiswa Kabupaten Teluk Wondama, Silas Kalasuat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manokwari, Yulius Woy, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manokwari St. Thomas Villanova, Nawawi Rumakey (Pergerakan Mahasiwa islam Indonesia (PMII) Cabang Manokwari.
Kemudian ada juga Yosepha Faan, Ketua Pemuda Katolik Provinsi Papua Barat, Sam Ulimpa, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi, Nerius Damianus Sai, Ketua Perkumpulan Mongka Papua serta Damianus Walilo, Ketua Perkumpulan Nayak Sobat Oase.
Kopermas ‘Kami Nassey’ beroperasi di Kampung Werabur, Distrik Nikiwar, Kabupaten Teluk Wondama dengan andil mengembangkan perkebunan pala di wilayah tersebut.
Jangan Memicu Konflik Antarmasyarakat Adat
Sam Ulimpa dari Aliansi Maysrakat Adat Nusantara mengatakan, Gakkum KLHK harus meninjau kembali secara detail izin daripada Kopermas itu, dan berani berani mengungkap pelaku atau aktor dibalik Kopermas ini.
Selain itu, Gakkum harus memastikan bahwa jangan sampai terjadi konflik antarmasyarakat, dan memberikan perlindungan hak masyarakat adat terhadap hutan dan ruang kelolanya.
“Kita lihat pengalaman di tempat lain di Papua, banyak modus perusahaan yang menggunakan atas nama masyarakat sehingga antarmasyarakat adat dan pemerintah atau lembaga lembaga pendamping sering terjadi konflik,” tukasnya.
Terkait dugaan pemalsuan itu, Darius Ayamiseba selaku Perwakilan Mahasiswa dari Kabupaten Teluk Wondama menuding Pemerintah Daerah tidak serius dalam menangani proses perizinan bahkan ada kepentingan dibalik perizinan tersebut.
“Harapan kami ke depan bahwa Penegak Hukum (Gakum) KLHK harus menghadirkan pihak pemerintah daerah yang memberikan izin ini kepada pihak Kopermas dan pemerintah daerah selaku pemberi izin harus bertanggung jawab,” ujar Darius.
Pernyataan senada juga disampaikan Yulius Woy, perwakilan OKP Cipayung khususnya PMKRI Cabang Manokwari, GMNI Cabang Manokwari dan PMII Cabang Manokwari. Pihaknya mendukung penuh hak masyarakat adat dalam menjaga hutan adat.
“Kami juga mendesak agar pelaku penebangan ilegal dan pejabat di pemerintah daerah yang mengeluarkan izin segera diproses hukum. Kami berharap kepada Gakkum KLHK untuk segera menindaklanjuti pengaduan ini,” tegasnya.
Temuan lain Aliansi adalah ditemukan adanya aktifitas penebangan dan pemanfaatan kayu pada hutan lindung yang juga merupakan kawasan moratorium berdasarkan instruksi Presiden Republik Indonesia. Kawasan tersebut tidak dapat dilakukan penerbitan izin apalagi untuk menjalankan usaha hasil hutan kayu.
Menurut Peggy Sarumi, perwakilan mahasiswa Kabupaten Teluk Wondama menambahkan, berdasarkan informasi dari masyarakat di Kampung Werianggi, dalam menjalankan bisnis kayu hutan, perusahaan hanya membayar terkait jalan untuk logpond. Sedangkan marga pemilik ulayat belum mendapat haknya (biaya kompensasi penebangan) sehingga mereka melakukan pemalangan.
“Masyarakat pemilik ulayat merasa resah terhadap kehadiran perusahan tersebut. Kami berharap Gakkum ada tindak lanjut mengenai persoalan ini dan meminta Gakkum untuk melakukan pengecekan lapangan terkait persoalan ini. Gakkum juga kami diminta untuk penyelidikan surat perjanjanjian kerja antara Kopermas dan masyarakat adat setempat,” kata Peggy.
F.H R, Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat saat dikonfirmasi wartawan media ini terkait pengaduan tersebut, masih akan melihat berkas-berkas terkait permasalahan tersebut, untuk memberikan klarifikasi.
“Nanti besok…kami lihat berkas dulu baru berikan klarifikasi,” kata F.H R melalui percakapan WA. JP03