JURNALPAPUA.ID – “Jadi sekarang kalian maunya gimana?” tanya Toro dengan nada tinggi.
“Atau begini saja. Kita semua buka baju. Saya buka baju, kalian buka baju. Kita saling pukul, sampai siapa yang masih bisa tegak berdiri,” ucapnya mulai kesal.
“Ya tidak begitu pak. Kita ini kan ingin mencari jalan terbaik,” sahut salah seorang narapidana.
“Kalau mau begitu, ya harus nurut sama saya,” tukas Toro.
Percakapan tersebut, terjadi sekitar tahun 2009 silam di ruang pertemuan terbuka Rumah Tahanan Kelas I Surabaya di Medaeng, Waru Sidoarjo. Toro adalah sapaan akrab untuk pemilik nama Slamet Prihantara Bc.IP, S.H, M.Si, yang saat itu menjabat Kepala Rutan Medaeng.
Toro sedang mendamaikan dua kelompok preman penghuni Rutan Medaeng, yang saat itu sedang bersitegang. Kelompok John Kei Cs dan kelompok preman Surabaya yang bersekutu dengan kelompok Madura.
Sejak dipindahkan ke Rutan Medaeng, John Kei dan anak buahnya yang saat itu sedang berperkara di Tual, Maluku, menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok preman Surabaya Madura. John Kei dinilai terlalu di istimewakan oleh Kepala Rutan, karena membiarkan rambutnya tetap panjang dan selalu berkacamata.
Agar persoalan itu tidak berlarut-larut, Toro mempertemukan kedua kelompok itu dalam satu ruang pertemuan. Masing-masing duduk dalam posisi yang terpisah dengan jarak beberapa meter.
“Kalau mau diatur, kalian harus membuat suasana dalam rutan ini tenang, aman dan nyaman. Jangan bikin keributan. Kalian harus rukun,” kata Toro.
Pejabat yang kini menjadi Kepala Kanwil KemenkumHAM Papua Barat ini lantas mempersilakan kelompok Surabaya Madura bertanya langsung, apa alasan John Kei tidak mau dipangkas rambut panjangnya, dan selalu berkacamata.
Pertanyaan itu yang kemudian dijawab John Kei, bahwa rambut panjangnya itu yang menjadi saksi sebuah momen dengan Toro, sebelum dia dipertemukan kembali di Rutan Medaeng.
Sedang soal kacamata yang tak pernah lepas selama di dalam Rutan, John Kei beralasan bola matanya tidak bisa terkena sinar secara langsung, karena silau.
“Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi bersitegang. Bahkan saat saya membuat panggung hiburan di dalam rutan, mereka berjoget bersama. John Kei sampai nangis karena saya suruh naik panggung, nyanyi dangdut sambil joget,” kenang Toro.
Sosok Toro yang mengawali karir sebagai pegawai Lapas Kelas IIB di Singkawang, Kalimantan Barat pada 1987 ini, cukup disegani di kalangan penghuni Lapas maupun Rutan. Bahkan karena pola pembinaan terhadap narapidana yang kadang keras, menjadikan Toro dianggap sebagai orangtua yang membimbing anak-anak nakalnya. Toro mendapat julukan ‘Bapaknya Preman’ Indonesia.
Bagi Toro, dunia preman bukanlah barang baru dalam hidupnya. Selama meniti karir di KemenkumHAM, Toro pernah menjadi Kepala Keamanan di Rutan Putussibau Kalimantan Barat, Rutan I Salemba, Lapas I Cipinang.
Jabatan sebagai Kepala Rutan juga disandangnya ketika menjabat di Rutan Majalengka, Pondok Bambu, Surabaya (Medaeng) dan Rutan Salemba. Sedangkan di Lapas, Toro pernah menjabat sebagai Kalapas di Bekasi, Denpasar, Lampung dan Lapas Kelas I Cipinang.
Tak heran jika kemudian Toro banyak bertemu dan mengenal tokoh-tokoh kriminal, seperti Hercules dan John Refra alias John Kei. Dimanapun Toro bertugas, ia selalu berupaya mendamaikan antarkelompok preman yang berseteru, tak terkecuali kelompok Hercules dan John Kei.
“Padahal kita tahu bagaimana perseteruan dua kelompok ini. Tidak pernah akur. Tapi Alhamdulillah saya bisa merukunkan mereka dalam suatu momen yang damai, tidak ada perseteruan,” kata Toro kepada jurnalis media ini.
Kunci dari takluknya para tokoh kriminal ini, katanya, adalah membina mereka dengan hati yang tulus. Toro selalu memposisikan sebagai seorang bapak yang menasehati anak-anaknya agar berubah menjadi baik.
Meski kadang Toro bersikap keras terhadap mereka, ternyata ada hikmah yang muncul dibalik tindakannya itu. “Beliau-beliau itu menempatkan saya menjadi orang yang dituakan,” ujar Toro.
Kata kunci yang selalu ia tekankan kepada mereka, Toro ingin menyaksikan mereka menjadi orang-orang yang berguna secara positif bagi kehidupan orang lain. Toro tidak ingin keluarga mereka ikut menanggung beban sosial dari masyarakat, karena aib yang ditimbulkan dari ulah orangtuanya.
“Bila perlu sekolahkan anak-anak kalian ke luar negeri supaya bisa terhindar dari tekanan kejiwaan karena adanya omongan, cercaan ataupun sindiran dari masyarakat yang tidak menyukai dunia kriminal,” kata Toro, mengulang nasihatnya kepada tokoh-tokoh ini.
“Kalau itu ternyata tidak dihiraukan, maka tidak menutup kemungkinan akan berjumpa saya lagi di penjara. Maka resikonya anda tahu kan. Kekencangan yang patut dari saya akan kalian rasakan,” pungkas Toro, mengenang ancamannya kepada ‘anak-anaknya’ itu. JP01