“BRAAKKKK….!!”
“Auu… Tolooong …..!!”
Suara sesuatu yang terjatuh diikuti erangan minta tolong itu mengagetkan Carolin Tjeaupe. Berjalan tertatih menggunakan krek, ia bergegas menuju sumber suara. Ia tinggalkan begitu saja sisa pakaian yang belum kelar dicuci.
Perempuan renta yang menderita Poliomyelitis pada kaki kanannya ini, mendapati Dolfinus Sembor tersungkur di teras rumah. Suaminya itu mengerang kesakitan, sambil tangannya memegangi pinggang. Satu buah kursi usang tergeletak tak jauh dari posisinya terkapar, bersama beberapa potong pakaian yang masih basah.
“Bapa kenapa ka?” tanya Caroline dengan gugup.
Caroline berteriak memanggil anak-anaknya, untuk minta bantuan mengangkat suaminya itu.
Sembor baru saja terjatuh dari kursi usang yang dijadikan pijakan kaki, saat hendak menggantungkan pakaian pada tali jemuran. Pensiunan PT Pertamina ini sedang membantu istrinya menjemur baju-baju yang sudah selesai dicuci.
Bagi Sembor, pekerjaan seperti itu sudah tidak asing. Dia biasa berbagi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dengan Carolin Tjeaupe. Bukan tanpa alasan jika Sembor melakoni pekerjaan itu. Sebagai laki-laki, ia tak tega jika menyaksikan Carolin harus bersusah payah menyelesaikan sendiri pekerjaan dengan kondisi fisiknya yang cacat.
Dolfinus Sembor lahir di Nabire, 16 April 1940. Usianya terpaut 8 tahun dengan Caroline Tjeaupe, yang lahir d Distrik Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan pada 28 Agustus 1948. Keduanya mengikat janji suci membangun rumah tangga sejak November tahun 1962. Enam orang anak menjadi buah hati dari perkawinan ini.
“Kami menikah di Klamono,” kata Sembor, saat berbincang dengan jurnalis Teropongnews pada Rabu, 7 Oktober 2020 lalu.
Klamono adalah salah satu distrik di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Nama Klamono cukup melegenda, sebagai cikal bakal industri hulu migas di Papua Barat, khususnya Sorong. Saat mempersunting gadis pujaan hatinya, Sembor sudah tercatat sebagai pegawai di perusahaan minyak di yang mengais peruntungan di tempat itu.
Meski usianya hampir satu abad, ingatan Sembor masih cukup tajam untuk berkisah tentang perjalanan karirnya di perusahaan minyak itu. Mulai saat masih di miliki asing, hingga beralih dikuasai sebagai perusahaan negeri. Menceritakan proses pembuatan tato bergambar hati pada lengan kirinya pun, Sembor masih fasih.
“Bapa gambar dulu dengan kotoran panci (jelaga,Red), lalu ditusuk-tusuk pake duri jeruk. Sakit. Darahnya sampe keluar. Waktu itu usia Bapa masih sekitar 8 tahun,” kenangnya.
Dolfinus Sembor adalah Orang Asli Papua (OAP) yang menjadi generasi awal keberadaan PT Pertamina EP Asset 4 Papua Field, yang masih hidup. Teman-teman seangkatannya, sudah mendahului menghadap sang pemilik jagat.
Kalau saja ia tidak terjatuh saat membantu istrinya menjemur pakaian, fisiknya masih tangguh untuk beraktifitas. Musibah pada akhir tahun 2019 lalu itu, membuatnya berjalan tertatih menggunakan krek. Tulang pinggangnya bermasalah.
Di Pertamina, Sembor bertugas sebagai ahli stroom di jawatan mekanik electrical. Karir di perusahaan minyak itu sudah ditapaki sejak 23 September 1956. Tahun ini pula yang kemudian melekat pada nomor pegawainya; 560827.
Meski lahir di Nabire, masa kecil Sembor dihabiskan di Kampung Miei, Distrik Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Dia mengikuti orangtuanya yang ditugaskan sebagai Kepala Distrik. Ketika baru menuntaskan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), sosok Sembor masuk dalam incaran NV Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) untuk direkrut sebagai tenaga kerja.
Setelah meminta ijin ke orangtua, Dolfinus Sembor remaja diboyong ke Sorong. Saat itu usianya sudah 16 tahun. Oleh kompeni Belanda, Sembor di sekolahkan di Jongens Vervolk School, sekolah lanjutan tingkat II untuk remaja laki-laki.
Sembor juga masih digembleng di sekolah kejuruan jaman belanda selama tiga tahun, sebelum akhirnya bekerja dengan full time. Sesuai dengan bidang keahliannya, Sembor bertanggungjawab terhadap seluruh kebutuhan elektrikal di kantor NNGPM, baik di kantor Sorong maupun di sektor hulu di Klamono.
Dalam ingatannya, hampir tiga bulan berjalan lamanya dia harus pulang pergi naik helicopter dari Sorong ke Klamono, untuk mengubah system electrical pompa angguk di 70 sumur minyak yang tersebar di sejumlah titik.
“Sebenarnya bisa juga di tempuh dengan jalan darat, tapi butuh waktu yang lama. Sedangkan saya harus bekerja tepat waktu, mulai jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Jalan menuju Klamono masih hutan belantara, belum seperti sekarang,” kenang Sembor.
Sembor baru menetap tinggal di Klamono setelah menikah dengan Carolin. Karir Sembor masih tetap berlanjut ketika tahun 1965 NNGPM diserahkan ke SPCO, perusahaan minyak asal Inggris. Saat itu, kata Sembor, hasil minyak yang dihasilkan mulai tidak maksimal.
NNGPM adalah perusahaan minyak yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda bersama Shell Petroleum Company (SPCO), Stanvac (sebelum Indonesia merdeka perusahaan ini bernama NV Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij/NKPM) dan FarEast Pacific Investment Co, anak perusahaan Caltex. Pada tahun 1935, mereka berpatungan untuk menyedot minyak dari perut bumi Nieuw Guinea, sebelum akhirnya daerah ini berubah nama menjadi Papua.
Di kutip dari situs Oil and Gas Management Center, usaha patungan ini selanjutnya dikelola SPCO, karena mereka telah melakukan survey sejak tahun 1928. Pemerintah kolonial waktu itu memberikan hak konsesi khusus selama 25 tahun, dan hasilnya, pada tahun 1938 ditemukan lapangan minyak Klamono, Wasian, Mogoi, dan Sele.
Dari ladang minyak itu, NNGPM pada tahun 1948 sempat memproduksi minyak hingga 4000 bpod di wilayah Kepala Burung Papua ini. NNGPM juga menjadi cikal bakal dari keberadaan Pertamina EP Asset 4 Papua Field di Klamono.
Data lain yang dikutip dari Wikipedia tentang Sejarah Perminyakan di Indonesia, seluruh saham NNGPM dan SPCO sudah beralih ke tangan pemerintah melalui Perusahaan Negara (PN) Perusahaan Tambang Minyak Negara (Permina) pada tahun 1964. Saham perusahaan asing itu dibeli setelah pada tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dengan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), organisasi Negara-negara pengekspor minyak.
Pengambil alihan saham ini juga sebagai tindaklanjut dari pengambilalihan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi, melalui perjanjian New York 1963. Dikutip dari Wikipedia, berdasarkan PP No. 27/1968 tertanggal 20 Agustus 1968, PN Permina dan PN Pertamin dimerger menjadi satu perusahaan bernama PN Pertamina (Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Nasional).
Dengan bergulirnya UU No. 8 Tahun 1971, sebutan perusahaan menjadi Pertamina. Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status hukumnya menjadi PT Pertamina (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003, berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tertanggal 23 November 2001.
Di Papua, keberadaan Pertamina kini bukan sekedar perusahaan eksplorasi. Ada divisi pengolahan (Pertamina RU/Refinery Unit) dan divisi penjualan (Pertamina MOR/Marketing Operation Region). Sumur-sumur minyak peninggalan Belanda itu, diteruskan oleh Pertamina EP.
“Sekarang sumur minyak di Klamono ada sekitar 207, tapi yang aktif hanya sekitar 132 sumur,” kata Rivan, Humas PT Pertamina EP Asset 4 Papua Field. (tantowi djauhari)