Elemen Masyarakat 7 Suku Teluk Bintuni Tuntut Timsel Komisioner Bawaslu Akomodir Aspirasi OAP

0
156
Ketua LMA 7 Suku, Marten Wersin (atas), dan para tokoh pemuda dan masyarakat yang menyuarakan aspirasi terkait seleksi calon anggota Bawaslu Teluk Bintuni.
Spread the love

BINTUNI, jurnalpapua – Elemen masyarakat tujuh suku Kabupaten Teluk Bintuni menuntut tim seleksi komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2023-2028, agar mengakomodir aspirasi Orang Asli Papua (OAP) dalam menetapkan komisioner Bawaslu Teluk Bintuni.

Sedikitnya terdapat lima poin aspirasi elemen masyarakat adat dan pemuda Kabupaten Teluk Bintuni yang disampaikan melalui Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Tujuh Suku.

Kelima poin aspirasi tersebut adalah ;

  1. Komisioner Bawaslu Teluk Bintuni periode 2023-2028, harus merepresentasikan anak-anak 7 suku
  2. Harus ada perwakilan agama
  3. Kuota 3 kursi untuk masyarakat 7 suku, 1 kursi untuk orang papua pendatang dan 1 kursi untuk suku nusantara
  4. Agar Timsel Calon Anggota Bawaslu membuka identitas dan rekam jejak bakal calon anggota yang telah lulus tes ke publik, agar tidak ada penyelenggara siluman atau titipan
  5. Apabila poin tersebut diatas tidak diakomodir, elemen masyarakat tujuh suku akan melakukan aksi besar-besaran sekaligus melakukan pemalangan kantor Bawaslu.

Aspirasi ini dibacakan Marten Wersin, Ketua LMA 7 suku didampingi sejumlah perwakilan elemen masyarakat, Selasa (1/8/2023).

“LMA Tujuh Suku dan beberapa organisasi yang bersuara ini,  tidak punya kepentingan atau agenda politik apapun. Ini murni kami menyuarakan hak-hak tujuh suku,” kata Maren Wersin.

Sebelumnya, Agustinus Orosomna, Ketua Forum Anak-anak Asli Tujuh SUku Peduli Otsus (Forapelo) menyampaikan, aspirasi masyarakat tujuh suku ini belajar dari penetapan hasil seleksi Komisioner KPUD Teluk Bintuni yang tidak mengakomodir keberadaan Orang Asli Papua, khususnya masyarakat tujuh suku.

Disampaikan Agus, saat rekrutmen calon anggota KPUD Teluk Bintuni, terdapat 7 OAP dari tujuh suku. Namun saat proses seleksi berjalan dan penetapan 10 orang yang lolos dari 20 nama sebelumnya, keberadaan OAP dari tujuh suku sudah tidak ada lagi. Begitu juga saat penetapan dari 10 orang menjadi 5 orang komisioner terpilih.

“Itu yang membuat kita sebagai orang asli di tanah ini, merasa di anak tirikan. Tidak dihargai sama sekali. Sehingga merujuk dari kejadian itu, perekrutan anggota Bawaslu Teluk Bintuni, maka sebagai penggiat otsus, anak muda yang mengawal otsus di Teluk Bintuni, minta kepada ketua Tim Pansel Papua Barat agar memperhatikan aspirasi kami. Itu sebagai rujukan bagaimana menghargai eksistensi Otsus di Tanah Papua,” urai Agustinus Orosomna.

Sedangkan Kenny Alexander Kindewara, Ketua KNPI Kabupaten Teluk Bintuni mengaku, dalam beberapa minggu terakhir dirinya mendapatkan masukan dari para pemuda yang ada di distrik hingga kabupaten, yang menyuarakan hak-hak anak tujuh suku terkait seleksi anggota Bawaslu.

“Maka itu sebagai Ketua KNPI saya meminta kepada Ketua Bawaslu Teluk Bintuni, Bawaslu Papua Barat dan Bawaslu RI agar bisa mendengar aspirasi kami para pemuda. Hari ini kami pemuda tidak mau lagi ada persoalan tentang lembaga yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni. Saya memohon Ketua Bawaslu RI mengambil keputusan yang bijak agar tidak terjadi keributan di Teluk Bintuni. Kami ingin hidup damai,” kata Kenny.

Manfret Yerkohok, perwakilan pemuda katolik Teluk Bintuni menambahkan, latar belakang munculnya tuntutan ini adalah proses penetapan anggota Bawaslu Teluk Bintunim, yang tidak ada representasi masyarakat tujuh suku.

“Kami minta Bawaslu RI, kasus yang terjadi di KPUD Teluk Bintuni tidak terulang di Bawaslu Teluk Bintuni. Bawaslu harus mengakomodir, minimal tiga orang tujuh suku masuk dalam komisioner, bukan maksimal. Sehingga kami juga mengambil bagian dalam sistem penyelenggaraan pemilu di daerah ini. Kami adalah tuan di negeri ini. Kepentingan elit Jakarta atau siapapun, jangan pernah mengorbankan harkat dan martabat kami tujuh suku. Kami mohon dengan hormat Bawaslu RI menghargai dan mengakui harkat dan martabat kami masyarakat tujuh suku,” tandas Manfret.

Suara perempuan terkait proses seleksi calon anggota Bawaslu Teluk Bintuni disampaikan Rofiana Agofa. Menurutnya, perempuan tujuh suku juga memiliki hak dalam penetapan calon anggota Bawaslu Teluk Bintuni. “Kami meminta agar perempuan diberikan kesempatan dalam penetapan komisioner bawaslu,” kata Rofiana.

Falentinus Iba, perwakilan suku Sougb menekankan kepada tim seleksi anggota Bawaslu Teluk Bintuni periode 2023-2028, agar memperhatikan keterwakilan tujuh suku dan papua lainnya.”Kami tidak punya ambisi di tempat lain, kami hanya ingin berperan aktif di negeri kami sendiri. Tolong dari 10 nama ini, ketika di tetapkan 5 nama, harus ada orang Papua di situ. Tiga dari Papua tujuh suku, 1 papua lainnya dari 1 suku nusantara,” kata Falentinus.

“Jika hal ini tidak akomodir secara baik, saya atas nama suku Sougb, akan adakan aksi dalam bentuk apapun. Kami akan berjuang, agar kami tidak menjadi minoritas di negeri kami sendiri,” tukasnya.

Seperti diketahui, Tim Seleksi Calon Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat telah mengumumkan hasil tes kesehatan dan wawancara bakal calon angota Bawaslu Kabupaten/Kota se Provinsi Papua Barat melalui surat bernomor 046/TIMSEL-BAWASLU/KAB.PB/07/2023, tertanggal 31 Juli 2023.

Dalam pengumuman tersebut, terdapat 10 nama hasil seleksi bakal calon anggota Bawaslu Kabupaten Teluk Bintuni, yakni Yohannes, Bonefasius Remetwa, Supiah Tokomadoran, Ivon Kaderia Nimbafu, Ali Akbar Fimbay, Ali Kwaikamtelat, Adelbertha Eka Kridyaningsih wayuri, Jhon Felix Putnarubun, Rudi Horenius Baru serta Didimus Kambia. JP01

Google search engine

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here