JAKARTA, jurnalpapua.id – Namanya Reformator Usom Nathaniel Anthonius Maidepa, namun ia populer dengan sapaan yang lebih singkat, Runa Maidepa.
Prinsipnya dalam berkiprah untuk turut andil dalam membangun daerahnya, layak menjadi inspirasi bagi putra-putri Papua, khususnya anak tujuh suku Teluk Bintuni, Papua Barat.
Saat ini, Runa Maidepa menjadi bagian dari orang penting di operasional LNG Tangguh dengan jabatan sebagai Project Operations Site Manager. Posisi itu Runa bilang, diperolehnya setelah melewati perjalanan cukup panjang. Belajar dan berlatih. Tak cukup hanya mengandalkan status sebagai Anak Asli Tujuh Suku sebagai pemilik ulayat tempat beroperasinya LNG Tangguh.
“Ini adalah industri berisiko tinggi, membutuhkan orang-orang yang berkomitmen dan memiliki keterampilan tinggi. bp memiliki standar yang tinggi dan bagaimana cara memenuhi standar itu adalah memulainya dengan belajar secara tekun,” ungkap Runa, dalam sebuah kesempatan interview media, belum lama ini.
Sejatinya bekerja di perusahaan migas bukanlah impiannya. Saat masih kuliah, ia berencana meniti karir di PT Freeport. Untuk mewujudkan mimpinya itu, Runa sudah memilih perusahaan tambang emas di Timika, Papua ini sebagai tempat praktik kerja lapangan selama tiga bulan saat penyusunan skripsi.
Di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Runa memilih jurusan bidang geologi. Ia berpikir, setelah lulus dari kampus itu pada tahun 2001, Runa akan berkarir di perusahaan pertambangan tersebut.
“Superintendent disana benar-benar ingin saya bergabung dengan mereka, karena saat itu tidak ada ahli geologi Papua (di Freeport),” kata pria yang kini telah berusia 50 tahun.
Namun semua mimpi itu berubah setelah seorang adik kelas di UGM, meneleponnya dan menceritakan tentang adanya kesempatan di sebuah perusahaan minyak dan gas yang akan mendirikan kegiatan operasi di kampung halaman ayahnya, Teluk Bintuni.
Keputusan yang diambil Runa dari sebuah panggilan telepon tersebutlah yang kemudian membawanya bekerja pada perusahaan migas di Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan kecil di laut Karibia.
“Ayah saya berasal dari Distrik Idoor di Teluk Bintuni, dan banyak paman dan sepupu saya yang masih tinggal di Babo. Jadi saya merasa mereka pasti akan bangga jika saya bekerja di Teluk Bintuni,” katanya, selain juga menambahkan bahwa ia merasa bertanggung jawab untuk membantu daerahnya berkembang.
Karirnya di perusahaan migas mulai ditapaki pada awal tahun 2000, ketika bp secara aktif merekrut penduduk asli Papua untuk dilatih sebagai operator bagi kilang Tangguh LNG yang saat itu sedang dikembangkan.
Pada tahun 2002, Runa adalah satu dari delapan orang Papua di Batch 3 yang dilatih secara intensif sebagai operator trainee dalam Papuan Development Trainee Programme.
Dalam pelatihan selama dua setengah tahun tersebut, Runa dan rekan-rekannya digembleng bekerja untuk kegiatan operasional di fasilitas bp di Laut Jawa, dimana ia bekerja di Bravo Central Station (BCS).
Operator LNG Tangguh memiliki komitmen yang tercantum dalam dokumen Amdal, bahwa tahun 2029, sebanyak 85 % pekerja di Tangguh LNG berasal dari Papua dan Papua Barat. Papuan Development Trainee Programme dan program pemagangan teknisi Tangguh, menjadi bagian dari upaya memenuhi komitmen itu.
Sejak beroperasi di Teluk Bintuni pada tahun 2009, hingga saat ini Tangguh telah memproduksi lebih dari 1.500 kargo LNG dan merupakan produsen LNG terbesar di Indonesia. Saat ini, 99% dari pekerja operasi Tangguh LNG merupakan orang Indonesia dan 72% di antaranya berasal dari Papua dan Papua Barat. Kini telah terdapat lebih dari 110 pemuda pemudi asal Papua dan Papua Barat yang telah bekerja di Tangguh sebagai teknisi bersertifikasi internasional.
“Setelah itu saya ditawari posisi sebagai ahli geologi di tim Eksplorasi. Saya hanya bertahan kurang dari dua bulan sebelum saya meminta untuk kembali ke operations,” kata Runa seraya tertawa.
Rupanya setelah bekerja di BCS, ia merasa pekerjaan di operations jauh lebih menarik. Segera setelah Tangguh LNG mendapatkan keputusan investasi akhir pada tahun 2004, Runa dan para trainee lainnya dikirim untuk belajar menjadi operator kilang LNG di PT. Badak NGL yang berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur. Mereka tinggal selama dua setengah tahun.
Pada tahun 2006 saat konstruksi Tangguh sudah jauh lebih maju, Runa sebagai bagian dari tim Gas Production Facility (GPF), dikirim ke Tangguh untuk membantu mempersiapkan kedatangan anjungan VRB yang baru dibangun dari Cilegon di Jawa Barat.
“Pengalaman saya yang paling berkesan adalah saat pertama kalinya saya mengalirkan gas dari sumur VRB-01. Sejak saya bekerja di Offshore North West Java, saya mengimpikan saat ketika Tangguh memiliki fasilitas lepas pantai dan saya menjadi orang pertama yang mengoperasikan sumurnya, “kata Runa.
Tangguh mulai beroperasi pada tahun 2009, dan sejak saat itu, Runa berperan dari seorang teknisi lapangan, operator ruang kontrol, pengawas sumur, hingga berperan ganda sebagai manajer instalasi lepas pantai dan pemimpin tim pasokan gas yang bertanggung jawab atas anjungan dan fasilitas penerima di darat.
Runa menjadi tertarik dengan posisi di bp Trinidad dan Tobago (BPTT) saat Tangguh area operations manager saat itu, yang juga mentor Runa, menyebutkan kemungkinan adanya kesempatan tersebut kepadanya.
Sebelumnya Runa memang telah mencantumkan minatnya akan penugasan internasional di dalam rencana pengembangan diri. Dengan adanya proyek pengembangan Tangguh, maka ini dirasa saat yang tepat untuk mengambil kesempatan tersebut.
Runa memulai tugasnya di BPTT pada bulan Juli 2016 sebagai operations team leader yang memimpin tim di berbagai anjungan, dengan anggota multinasional yang berjumlah mulai dari delapan hingga 10 orang, tidak termasuk kontraktor. Sebagian waktunya juga dihabiskan bekerja di kantor BPTT di Queen’s Park, Port of Spain.
“Hal yang paling sulit adalah bahasa. Orang disana berbahasa Inggris, tapi dengan aksen yang sangat kental yang biasa disebut ‘Trini-English’. Mereka juga sering memperpendek kata, sama seperti yang dilakukan orang Papua, sehingga membuat orang luar lebih sulit untuk mengerti. Saya sering bercanda, mengatakan kepada mereka ‘you’re not using the proper English man’,” katanya.
Di luar itu, ia tidak merasakan kesulitan lain karena orang Trinidad dan Tobago juga makan nasi. Tugas Runa di BPTT berlangsung hingga tahun 2018, dengan rotasi kerja setiap empat minggu.
“Saya suka bila ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, waktu sepertinya terbang dan tiba-tiba sudah waktunya pulang. Jika banyak waktu luang, saya merasa berat karena waktu akan terasa lambat,” katanya.
“Hidup saya penuh berkah, saya diberkati dengan keluarga saya, dan diberkati untuk bertemu dengan orang-orang yang semuanya berperan dalam hidup saya, dari sejak saya muda hingga sekarang. Anda selalu bisa belajar dari orang yang Anda temui,” kata Runa.
Bagi generasi muda Papua, ia mengatakan bahwa tidak ada cara lain untuk maju dalam hidup selain dengan belajar dan belajar. “Tidak ada jalan lain. Bahkan sekarang, dalam pekerjaan, kita masih ada pelatihan, selalu ada sesuatu yang baru untuk dipelajari.”
“Jika Anda mendapat kesempatan, jangan disia-siakan – karena itu adalah kesempatan emas, tidak akan datang dua kali. Jadi jika sejak awal Anda tidak yakin, lebih baik tidak mengambilnya dan beri kesempatan kepada orang lain. Industri ini membutuhkan orang yang mau bekerja keras dan professional,” tukasnya. JP03